Berbicara tentang sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghairu tasyri’iyyah merupakan diskursus yang menarik untuk dikaji dalam ranah ilmu hadis. Dalam penamaan istilah tersebut, yang menonjol adalah sunnah ghairu tasyri’iyyah.
Istilah sunah ghairu tasyri’ memang masih diperdebatkan. Ada yang pro yang memberikan beberapa definisi dan ada yang kontra yang menganggap istilah sunnah ghairu tasyri’iyyah itu tidak dikenal pada masa salaf al-salih.
Sebagian Ulama menganggap bahwa hal tersebut merupakan rekayasa kaum modernis dan rasionalis. Namun, setelah dilakukan kajian yang mendalam, ada beberapa ulama yang mendukung pemahaman tentang adanya sunnah ghairu tasyri’iyyahiyyah.
Namun, mereka berbeda-beda dalam mendefinisikan sunnah ghairu tasri’iyah itu sendiri. Sebab, tidak ada rambu-rambu yang jelas yang bisa dijadikan pedoman untuk distingsi antara sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyah.
Maka dari itu, masing-masing memiliki standar yang berbeda dan tidak ada kesepakatan bersama dalam memberikan satu definisi yang jelas (jami’ mani’) (Imam, 2013).
Definisi
Sunnah ghairu tasyri’iyyah memiliki beberapa istilah yang dipakai para ulama yang dapat di katagorikan yaitu sunah yang tidak harus diteladani (sunnah laisa fihi uswah). Sunah yang tidak harus ditiru (laisa fihi ta’assin). Sunah yang tidak harus diikuti (la biha iqtida’). Sunah yang tidak mengandung taqarrub kepada Allah (laisat bi qurbah), la istimsaka bih, dan lain-lain.
Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa sunnah ghairu tasyri’iyyah adalah sunah Nabi yang tidak memiliki ketetapan hukum yang mengikat (Imam 2013).
Pembagian Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah
Al-Dahlawi membagi sunnah ghairu tasyri’iyyah menjadi beberapa ketegori.
Pertama, Ilmu-ilmu tentang pengobatan (medis).
Contoh:
عَنْ عَبْدِ الله، قالَ قالَ رَسُولُ الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ “ عَلَيْكُمْ بالشِّفَاءَيْنِ الْعَسَلِ وَالْقُرْآنِ
Dari Abdullah bin Umar, bersabda Rasulullah Saw, “Hendakalah kalian menggunakan dua obat penyembuh yakni madu dan Al-Qur’an (HR. Imam Hakim dan disahihkan oleh Imam Ad-Dzahabi).
Kedua, ilmu-ilmu yang didapatkan melalui pengalaman.
Contoh:
وَإِنَّ خَيْرَ أَكْحالِكُمُ الإثمدُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
Sebaik-baik celak kalian adalah itsmid. Ia menerangkan pandangan dan menumbuhkan bulu mata (HR. Abu Dawud: 3878, An-Nasa’iy: 5113, Ibnu Majah: 3497, dan disahihkan oleh Syaikh Albaniy dalam shahih sunan Abu Dawud).
Ketiga, berbagai topik yang biasa Nabi bicarakan layaknya pembicaraan orang kebanyakan.
Keempat, segala hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya juz’iyyah (temporal) dan bukan sebagai kebijakan yang berlaku selamanya bagi seluruh umat, seperti hadis tentang ramal.
Contoh:
Penaklukan Mesir. Nabi Saw mengumumkan kepada sahabatnya bahwa mereka akan menaklukkan Mesir. Dan ini dicapai oleh Amr bin Aas pada tahun ke-16 Hijriyah. Yaitu lima tahun setelah Nabi SAW wafat.
Kelima, segala hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan Nabi dan bukan masalah ibadah (ritual keagamaan), misalnya cara tidur Nabi, cara berjalan, cara berpakaian, dan lain-lain.
Contoh:
عَنْ أَبِي رِمْثَةَ قالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ بُرْدَانِ أَخْضَرَانِ
Artinya: Abu Rimtsah berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW berkhutbah dengan memakai dua selendang yang berwarna hijau.” (HR An-Nasa’i).
Apakah Mengamalkan Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah Mendapat Pahala?
Sunnah ghairu tasyri’iyyah menurut Ad-Dahlawi dan para ulama yang Pro terhadap klaim sunah tersebut, menganggap bahwa sunah jenis ini tidak memiliki otoritas dalam syariat.
Oleh sebab itu, maka sunnah tersebut tidak ada sangkut paut dengan konsep pahala dan amal. Namun mereka berpendapat bahwa, jika sunah tersebut diamalkan semata-mata karena taqlid kepada Rasulullah Saw dan tidak membebani dirinya, maka sunah tersebut bernilai sebuah ibadah. Pendapat tersebut di dasarkan atas ibadah karena di anggap telah mengikuti Rasulullah (Arifin and Hasbi 2019).
Seperti contohnya, Rasulullah senantiasa mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan rumahnya. Kemudian, menggunakan kaki kiri ketika masuk kamar mandi. Selanjutnya, Rasulullah senang menggunakan pakaian putih. Atau, Rasulullah tidak suka makanan yang berbau menyengat.
Maka, jika sunah tersebut diamalkan berdasarkan karena mengikuti rasul tanpa ada beban, maka hal tersebut bersifat sebuah Ibadah.
Pentingnya Memahami Sunnah Tasyri’iyyah dan Ghairu Tasyri’
Di era sekarang, kecenderungan sebagian umat Islam adalah memberikan tekanan kepada sunah yang bersifat permanen (al-tsawabit)ketimbang dinamis (al-mutaghayyarat). Oleh sebab itu, pemahaman tipologi sunnah tasyri’iyyah dan ghoiru tasyri’iyyah sangatlah efektif.
Karena, tidak semua yang datang dari Nabi Muhammad Saw adalah bersifat tsabit. Namun, ada hal-hal yang bersifat mutaghayyarot. Maka, keduanya harus dipahami dengan baik. Selain itu juga, agar sebuah kelompok tidak selalu mem-bid’ah-kan kelompok lainnya.
Karena pemahaman sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah bukan hanya mengacu pada pola verbal, tetapi juga mengacu pada nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya.
Daftar Rujukan
Arifin, Johar, and Muhammad Ridwan Hasbi. 2019. “Klasifikasi Sunnah tasyri’iyyah Dan Ghairu Tasyri’iyah Prespektif Pemikiran Ahmad Syah Wakiyullah Al-Dahlawi.” Jurnal An-Nida’: Jurnal Pemikiran Islam 43 (01): 17–37.
Imam, Muhammad Aniq. 2013. “Problematika Sunnah tasyri’iyyah Dan Gairu Tasyri’iyah.” Addin 7 (2): 381–404.
Editor: Yahya FR