Oleh: Pramono U. Tanthowi*
-Bahtiar Effendy- Salah satu episode paling menarik dalam sejarah panjang relasi Islam dan negara di Indonesia adalah dasawarsa terakhir era Orde Baru, ketika peran dan pengaruh Islam politik mengalami penguatan yang sangat signifikan. Hal itu sangat kontras dengan pengalaman dua dasawarsa awal Orde Baru, atau bahkan terhitung sejak akhir era Sukarno.
Selama periode yang panjang tersebut kekuatan partai-partai Islam, sebagai kendaraan utama Islam politik, telah mengalami pelemahan secara terstruktur dan sistematis. Seorang pengamat menulis fenomena ini sebagai sebuah proses “peminggiran” (Karim: 1998). Pelemahan itu disebabkan karena kedua rezim beranggapan bahwa partai-partai Islam merupakan penantang paling potensial yang terus berupaya merongrong ideologi nasional. Sebagai akibat pelemahan tersebut, muncul perasaan yang meluas di kalangan ummat Islam sendiri bahwa mereka adalah kelompok outsiders (menurut Istilah McVey: 1983) yang jumlahnya hanya minoritas (menurut istilah Wertheim: 1986).
Namun arah angin politik berubah drastis sejak pertengahan kedua dasawarsa 1980-an. Ummat Islam yang tadinya hanya menjadi penonton dan berada di pinggiran arena politik, tiba-tiba mendapatkan dirinya berada di tengah panggung utama. Jika selama beberapa waktu sebelumnya aspirasi politik mereka selalu menemui jalan buntu (Don Emmerson dalam tulisannya pada 1981 menggunakan istilah “impasse”), secara perlahan pola hubungan antagonistik tersebut menunjukkan kecenderungan perubahan ke arah yang lebih akomodatif (Liong: 1988).
***
Fenomena itu ditandai dengan, misalnya, disahkannya UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama pada Desember 1989, berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada Desember 1990, berdirinya Bank Muamalat Indonesia (yang secara eksplisit menggunakan prinsip Syari’ah) pada 1991, disahkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada 1991, dihapuskannya judi skala nasional dalam bentuk SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) pada 1993, meningkatnya jumlah Anggota DPR/MPR dari kalangan Muslim sebagai hasil Pemilu 1992, banyaknya jumlah Menteri dalam Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), dilepaskannya banyak tahahanan politik (tapol) Muslim, dan lain-lain.
Perubahan sikap rezim yang membuat kebijakan menguntungkan ummat Islam ini tentu saja cukup mengagetkan, karena menandai sebuah perubahan mendasar dari kebijakan Orde Baru yang sejak lama menjauhkan agama (Islam) dari politik. Perubahan kebijakan Suharto yang menawarkan kekuasaan yang cukup besar untuk patronase politik kepada ummat Islam ini berhasil menghancurkan salah satu stereotip yang lekat dengan Orde Baru: Suharto sejak lama dianggap sebagai pembela “kejawen” dan Pancasila, namun tiba-tiba memberi peluang politik yang besar bagi ummat Islam. Hampir tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa Suharto seberani itu meninggalkan salah satu pakem politik rezim Orde Baru dengan menyeponsori lobi Islam dalam negara.
Tafsir-Menafsir
Fenomena yang lantas sering disebut sebagai kebangkitan politik kaum santri (Tanthowi: 2005) tersebut menimbulkan perdebatan akademik yang sangat menarik di antara para pengamat. Diskusinya dipantik oleh pertanyaan: apakah faktor utama yang mendorong terjadinya kebangkitan politik Islam tersebut? Apakah perkembangan tersebut mewakili sebuah titik balik dalam proses depolitisasi Islam yang telah menjadi karakter dasar Orde Baru sejak kelahirannya? Apakah hal tersebut disebabkan oleh perubahan aliansi politik elit di lingkaran Suharto, atau merupakan hasil dari proses transformasi strategi politik Islam yang didukung dengan menguatnya kelas menengah Muslim?
Ketidaksepakatan di antara para indonesianis maupun di kalangan cendekiawan Muslim sendiri dalam memahami perubahan-perubanan politik tersebut melahirkan, sekurang-kurangnya, tiga arus pemikiran. Arus pertama melihat kebangkitan politik Islam tersebut dari akar sosiologis, yakni dinamika sosial sebagai akibat dari berkembangnya kelas menengah santri baru. Mobilitas sosial vertikal ini bukanlah akibat dari akumulasi modal ekonomi, namun utamanya melalui tangga pendidikan modern. Pendekatan ini direpresentasikan dengan sangat baik oleh Bob Hefner (1995), Nakamura (1993), Syafi’i Anwar (1992, 1995), Kuntowijoyo (1986, 1993), Fachry Ali (1991, 1995), dan Aswab Mahasin (1996, 2000).
Secara singkat, argument ini mengatakan bahwa berkat pembangunan ekonomi sejak awal Orde Baru memungkinkan pemerintah untuk menyediakan layanan pendidikan yang massif sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ketersediaan layanan pendidikan ini ternyata mampu menyerap secara besar-besaran para pelajar dan mahasiswa dari masyarakat luas, yang sebagian besar dari mereka berlatar belakang Muslim. Tentu wajar, sebab mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam.
***
Terserapnya anak-anak santri ke dalam berbagai lembaga pendidikan juga disebabkan kecilnya peluang yang tersedia bagi pengusaha pribumi-Muslim untuk mentransformasikan dirinya ke dalam ekonomi modern. Alih-alih memberi peluang bagi mereka untuk mengambil peran dalam proses restrukturisasi sosial-ekonomi-politik pada perkembangan awal Orde Baru, Suharto memang lebih banyak memberikan akses bagi para “usahawan klien”. Oleh karena itu, jika ingin tetap terlibat dalam proses transformasi maka mereka memilih untuk mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah modern, dan melalui cara itu mereka masuk ke dalam keanggotaan kelas menengah.
Para pengamat mulai melihat perkembangan anak-anak santri ini pada diri para tokoh mahasiswa penggerak gerakan mahasiswa 1966. Satu setengah dasawarsa kemudian mereka muncul di birokrasi dan di lingkungan tenaga profesi. Sebagian juga di bisnis modern, panggung budaya, perguruan tinggi, juga di ormas dan parpol (terutama Golkar). Pendeknya, mereka muncul di berbagai lembaga dan jenis kerja modern. Mereka lantas mengisi lapisan tengah dalam strata sosial baru, yang sering disebut sebagai kelas menengah.
Di dalam lapisan menengah-atas dari kelompok sosial ini dapat ditemukan banyak anggota DPR, staf ahli Menteri, para pejabat eselon atas kementerian, dan posisi-posisi penting lain di berbagai Lembaga negara dan BUMN. Banyak dari mereka adalah aktivis mahasiswa Muslim yang secara jeli meniti karir hingga mencapai posisi strategis melalui sistem patronase. Sebagian lain adalah hasil rekrutmen baru yang menanjak posisinya melalui jaringan alumni dan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan, yang kesemuanya lekat dengan kultur santri.
Mungkin rezim Orde Baru tidak menyadari bahwa telah terjadi proses transformasi sosial vertikal besar-besaran yang melibatkan anak-anak santri tersebut. Sebab Suharto merasa telah berhasil melakukan proses depolitisasi bagi kekuatan-kekuatan Islam politik sejak awal Orde Baru. Namun dengan banyaknya anak-anak santri menempati posisi penting di berbagai Lembaga negara strategis, maka Suharto tidak punya pilihan selain mengakomodasi berbagai aspirasi politik mereka yang tahu-tahu telah terkonsolidasi dengan baik sejak akhir 1980-an.
***
Nah, berbeda dengan argument pertama di atas, arus pemikiran kedua melihat kebangkitan politik Islam sejak akhir 1980-an sebagai fenomena pergesekan dan sirkulasi di lingkungan elit politik Orde Baru. Pergesekan elit tersebut membuat Suharto memanfaatkan kalangan Islam sebagai sumber daya dan basis dukungan politik baru guna menghadapi kalangan militer yang mulai berani menantang kekuasaanya. Pendekatan ini dengan baik direpresentasikan oleh para Indonesianis asing, seperti Bill Liddle (1995, 1996), Adam Schwarz (1994), dan Michael Vatikiotis (1998).
Liddle, seraya membantah tesis Hefner, tidak mempercayai telah terjadi proses Islamisasi di tengah masyarakat luas maupun di lingkungan birokrasi, serta tidak percaya pula bahwa politik santri sedang mengalami pasang naik. Sebaliknya, Liddle menyatakan bahwa kemesraan antara Islam dan negara pada periode itu sekedar menunjukkan peralihan basis politik Suharto setelah kekuasaannya semakin renta dan hubungannya dengan petinggi militer mulai dingin.
***
Dalam konteks demikian, keberadaan ICMI dipandang Liddle tidak lebih sebagai sebuah contoh baru munculnya pola strategis di dalam politik Orde Baru, di mana Suharto memilih pemimpin-pemimpin Golkar di luar hirarki komando militer, yang secara personal loyal kepadanya, yang mampu menjalankan agendanya untuk mewujudkan mayoritas absolut Golkar.
Bagi arus pemikiran ini, warna Islam dalam kepemimpinan baru militer dan Golkar terutama harus dilihat dari sudut kepentingan Suharto sendiri, yakni sebagai sumber daya politik baru yang memperkuat posisinya vis-à-vis pesaing potensialnya. Dengan kepemimpinan baru tersebut, Suharto dapat mengharapkan jaminan kemenangan Golkar pada Pemilu 1997, dan memastikan pemilihan dirinya kembali pada Sidang Umum MPR 1998. Pentingnya desain seperti ini adalah memiliki daya tarik bagi massa (pemilih Muslim yang berjumlah besar) namun kendalinya masih berada di tangan Suharto. Jika diletakkan dalam kerangka lebih luas, langkah Suharto ini merupakan hal baru dari pola strategi kontrol politik yang berulang, yang telah berjalan sejak akhir 1960-an.
Bagi arus pemikiran kedua, merupakan sebuah kesalahan jika melihat fenomena ini hanya dari sudut kebangkitan kesadaran keagamaan saja. Dalam hal ini, bahkan Schwartz menyatakan bahwa langkah Suharto ini mirip dengan langkah yang diambil Sukarno ketika mengakomodasi aspirasi PKI, untuk mengimbangi jajaran militer yang mulai tidak senang terhadap kepemimpinannya. Dengan posisinya yang terancam tidak terpilih kembali, yang diakibatkan oleh meningkatnya kekecewaan kalangan militer, menurut Vatikiotis, langkah Suharto dengan memberikan peran yang lebih besar kepada ummat Islam tampak sebagai upaya menggenggam satu-satunya kartu yang masih ada di tangannya. Dengan demikian, kemunculan ICMI tampak sebagai upaya Suharto untuk memainkan “kartu Islam” dalam keseimbangan politik baru.
Di Mana Posisi Bahtiar Effendy?
Di tengah perdebatan di antara dua arus pemikiran seperti di atas, lantas di mana posisi Bahtiar Effendy? Sebagai seorang sarjana yang menyelesaikan studi doktoralnya di Departemen Ilmu Politik dari Ohio State University dan menulis disertasi di bawah bimbingan langsung Bill Liddle, Bahtiar Effendy memiliki pandangan yang berbeda dengan pembimbingnya dalam melihat fenomena kemesraan Islam dan negara di akhir era Orde Baru. Dalam disertasinya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), Bahtiar Effendy mengembangkan argumen baru yang berbeda dengan dua arus pemikiran di atas. Sejalan dengan beberapa sarjana lain seperti Dawam Rahardjo (1991), Rusli Karim (1985, 1999), dan Greg Barton (1999), ia melihat kebangkitan politik Islam di penghujung Orde Baru sebagai konsekuensi dari proses panjang transformasi pemikiran dan praktik politik Islam yang telah berlangsung sejak 1970-an.
Inti dari gagasan Bahtiar Effendy melihat bahwa berbagai kenyataan mengecewakan pada awal Orde Baru, di mana Suharto mulai memperlihatkan gejala depolitisasi ummat Islam, mendorong sejumlah pemikir dan aktivis generasi baru Islam mengayunkan langkah-langkah remedial sejak 1970-an untuk mengembangkan format baru politik Islam. Menurut Bahtiar Effendy, generasi baru pemikir Muslim ini percaya bahwa meskipun pergulatannya mengambil bentuk-bentuk politik, namun akar persoalannya bersifat teologis, dalam pengertian bahwa penafsiran terhadap Islam mempengaruhi dan membentuk pemikiran dan aktivisme politik ummat Islam. Upaya-upaya tersebut terutama dilakukan melalui berbagai pernyataan ide dan aksi politik yang dipandang lebih sesuai dengan realitas keragaman sosio-kultural dan keagamaan di Indonesia.
Dalam kerangka seperti itu, transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia, menurut Bahtiar Effendy, berkisar pada tiga wilayah penting. Pertama, pembaruan teologis yang mengfokuskan diri pada pencarian dasar-dasar teologis baru yang memungkinkan terciptanya sintesis paling baik antara Islam dan negara. Kedua, pembaruan politik/birokrasi yang bertujuan untuk menjembatani hubungan antara kalangan Islam dan pemerintah sehingga kecurigaan politik dan ideologis dapat dikikis secara perlahan. Ketiga, transformasi sosial-ekonomi dengan perhatian utama melakukan pemberdayaan sosial-ekonomi dan politik masyarakat kelas bawah, baik yang ada di daerah urban maupun rural.
***
Kemunculan intelektualisme Islam baru, bagi arus pemikiran ini, sama sekali bukanlah reaksi oportunistik terhadap realitas kebuntuan politik yang ada. Namun, gerakan pembaruan pemikiran Islam ini dapat dipandang mewakili upaya yang memberikan harapan bagi penyelesaian atas masalah disharmoni relasi antara Islam dan negara yang terus menguat sejak awal Orde Baru. Terhadap pemerintah, pembaruan teologis yang mereka kembangkan berhasil memberikan penjelasan yang rasional bahwa Islam dan Pancasila memang kompatibel dan Islam adalah agama yang mengandung nilai-nilai yang mendukung pembangunan dan mendorong partisipasi masyarakat. Terhadap masayarakat luas, gagasan teologis mereka berhasil menciptakan citra baru bahwa Islam tidak melulu berwajah politik, namun agama yang ramah.
Terlepas dari perdebatan tentang motifnya, peluang politik yang diberikan Suharto sejak akhir 1980-an sungguh sangat menggiurkan bagi kalangan Muslim. Setelah dua puluh tahun hanya diberi peran pinggiran, ummat Islam mulai diberi peran dan ruang yang lebih dari cukup. Dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Luar Negeri (2015-2020) yang meninggal dunia pada 21 November 2019 yang lalu itu, telah berjasa secara akademik dalam memberikan sudut pandang baru, yang berbeda dari berbagai perspektif yang telah ada sebelumnya, dalam melihat fenomena yang tampak jelas di mana faktor Islam dalam politik telah menguat secara signifikan. Dan kebangkitan politik santri itu terus memainkan peran penting di episode-episode setelahnya. Baik pada saat kejatuhan Suharto maupun selama era reformasi hingga sekarang ini.
Selamat jalan, Mas Bahtiar. Semoga seluruh warisan intelektual Mas Bahtiar terus mengalirkan pahala hingga Hari Akhir nanti.
*Anggota KPU RI (2017-2022), Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah (2015-2017).