Ibnu Arabi I Ilmu Tafsir menjadi salah satu ilmu yang representatif dalam upaya mengungkap makna Al-Qur’an. Pasalnya, ilmu ini menjadi penjelas atas lafadz-lafadz ayat Al-Qur’an. Sejalan dengan hal tersebut, ilmu Tafsir mengalami perkembangan yang pesat dari masa ke masa, mulai dari masa Rasulullah Saw, masa sahabat, masa tabi’in sampai era saat ini.
Pun corak penafsiran Al-Qur’an sangatlah beragam, seperti tafsir ilmi, tafsir adabi, tafsir falsafi, tafsir ijtima’i dan tafsir sufi-isyari. Menurut Kusroni, munculnya beragam corak penafsiran Al-Qur’an dipicu oleh berkembangnya budaya dan pengetahuan umat Islam (Kusroni, 2017:138).
Selain itu, setiap tokoh penafsir memiliki spesialisasi keilmuan khusus. Inilah yang kemudian mewarnai produk penafsirannya, karena kecenderungannya dalam menjelaskan makna Al-Qur’an melalui teropong keilmuan yang dikuasainya.
Ibnu ‘Arabi misalnya, sebagai seorang sufi dia menjelaskan dan menafsirkan makna ayat Al-Qur’an dengan pemaknaan sufistik. Metode demikian tidak ditemukan pada tokoh penafsir yang lain, karena setiap penafsiran memiliki metodenya sendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Biografi dan Karya Ibnu ‘Arabi
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Ta’i adalah nama lengkapnya, dan dikenal dengan sebutan Ibnu Arabi. Dia memiliki gelar sebagai Muhyiddin (orang yang menghidupkan kembali agama) dan Syekh Al-Akbar (tuan terbesar). Lahir pada tahun 1165 M dalam budaya Moor Spanyol Andalusia, kala itu menjadi pusat pertumbuhan pemikiran Yahudi, Kristen, dan Islam. Karya-karya ilmiah dan filosofisnya ditransmisikan ke Eropa Utara.
Pencapaian spiritual Ibnu ‘Arabi terlihat sejak usia dini. Ia dikenal karena kapasitas visionernya yang hebat serta menjadi guru yang hebat. Dia berkelana secara luas di dunia Islam dan meninggal di Damaskus pada 1240 M.
Dia menulis lebih dari 350 karya termasuk Fusus al-Hikam, sebuah pemaparan tentang makna batin dari kebijaksanaan para Nabi dan Futuhat al-Makkiyyah, sebuah ensiklopedia pengetahuan spiritual yang luas tentang penyatuan dan pembedaan dalam tiga untaian tradisi, nalar dan wawasan mistis. Dalam Diwan dan Tarjuman al–Ashwaq-nya, dia juga menulis beberapa syair terbaik dalam bahasa Arab.
Tulisan-tulisan yang luas tersebut memberikan eksposisi yang indah tentang kesatuan wujud, realitas tunggal dan tak terpisahkan yang secara bersamaan melampaui dan dimanifestasikan dalam semua citra dunia. Ibnu ‘Arabi menunjukkan bagaimana manusia dalam kesempurnaan adalah gambaran lengkap dari realitas, dan bagaimana manusia benar-benar mengenal esensial diri mereka, maka ia mengenal Tuhan.
Berakar kuat dari Al-Qur’an, karyanya bersifat universal, menerima bahwa setiap orang memiliki jalan unik menuju kebenaran. Kebijaksanaannya menawarkan banyak hal kepada kita di dunia modern dalam upaya memahami apa artinya menjadi manusia.
Definisi Tafsir Sufistik
Tafsir Sufistik merupakan salah satu alternatif pemaknaan terhadap kandungan Al-Qur’an yang terdalam. Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Tafsir wa Al-Mufassirun memberikan pengertian, bahwa Tafsir Sufistik adalah upaya pemaknaan terhadap Al-Qur’an dengan melakukan penakwilan atas ayat-ayat berdasarkan isyarat yang tersirat di balik teks dan tidak menafikan makna zahirnya (Adz-Dzahabi, 2000:352).
Sejalan dengan definisi tersebut, penafsiran Al-Qur’an secara sufistik bertujuan untuk menggali kedalaman makna ayat sehingga mampu mengekstraknya dalam bentuk arti yang bersifat bathiniyah. Aspek bathiniyah ini diharapkan dapat memberikan isyarat-isyarat kebatinan dan spiritual yang berdampak positif pada jiwa manusia.
Meski begitu, makna zahir tidak kemudian di buang begitu saja. Terkait hal ini Prof. Abdul Mustaqim memberikan penjelasan bahwa teks memuat dua aspek yaitu lafadz dan ma’na. Lafadz adalah redaksi yang membungkus makna, sedangkan ma’na adalah kandungan arti yang ada dalam lafadz (Abdul Mustaqim, 2018:3). Bagi tafsir sufistik, pemaknaan ayat melampaui dua aspek tersebut, karena yang ingin dicapai adalah makna terdalam yang bersifat isyarah khafiyah.
Pijakan Epistemologis
Ibnu ‘Arabi bukanlah orang pertama yang menakwilkan Al-Qur’an secara sufistik. Sebelumnya telah ada beberapa tokoh sufi senior yang menafsirkan Al-Qur’an secara sufistik, seperti Al-Muhasabi, Al-Junaid, Abu Thalib Al-Makki dan Al-Ghazali. Setiap tokoh sufi ini memiliki metode khusus masing-masing dalam menafsirkan Al-Qur’an, serta memiliki pemahaman tersendiri tentang nash yang ditafsirkan.
Ibnu Arabi berhutang budi atas jasa para tokoh-tokoh sufi senior. Namun, Ibnu Arabi berbeda dari tokoh-tokoh sufi senior tersebut. Ia memiliki wawasan pengetahuan yang luas, sangat akrab dengan turats-turats keislaman, baik secara pemikiran maupun spiritual. Ia memanfaatkan keluasan ilmunya dalam takwil Al-Qur’an dan hadis, dimana cara ini tidak dilakukan oleh tokoh-tokoh sufi lain.
Makna Zahir dan Makna Batin
Ibnu ‘Arabi menggunakan dua metode dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu pemaknaan secara zahir dan batin. Dua metode ini sebagai asas teorinya dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an. Makna Batin seringkali disebut dengan makna kedua atau makna majazi dan kadang juga disebut “al-isyarah”.
Ibnu ‘Arabi mengatakan, “Perkataan sufi dalam menjelaskan Al-Qur’an merupakan isyarat yang menunjukkan pada letak-letak maksud firman Allah. Isyarat-isyarat ini tidak dapat diketahui oleh banyak kalangan bahkan dari para fuqaha.”
Oleh sebab itu, mereka yang tidak sepaham dengannya akan terburu-buru menginkarinya dan menuduh orang yang mengatakan seperti itu adalah orang kafir. Lebi lanjut Ibnu ‘Arabi mengutarakan; “Bagi ashabul isyarat, setiap ayat adalah satu tempat yang memiliki dua sisi. Satu sisi mereka melihatnya dalam diri mereka sendiri, dan satu sisi yang lain mereka melihatnya dari luar mereka.”
Allah berfirman: “sanurihim ayatina fil afaqi wa fi anfusihim.”
Ibnu ‘Arabi menjelaskan ayat ini dengan makna bahwa ayat-ayat Allah satu sisi menunjuk pada aspek zahir yang dinyatakan dengan afaq, karena hukumnya diterapkan pada anggota badan. Di sisi yang lain, menunjuk pada aspek batin atau kebatinan seorang hamba yang dinyatakan dengan anfusihim, karena hukumnya diterapkan pada hati. Sisi yang pertama adalah aspek syariah, sedangkan sisi kedua adalah aspek hakikat.
Dalam waktu yang lain, Ibnu ‘Arabi menyebut makna batin dengan sebutan “al-hikmah” berlawanan kata dengan “al-kitab” (yang bermaksud aspek zahir dari syariat). Ini merupakan dua hal yang berlawanan sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an: “Rabbana wab’ast fihim rasulan minhum yatlu ‘alaihim ayatika wa yu’allimuhumul kitaba wal hikmata.” Ibnu Arabi memaknai ayat ini dengan; ajari mereka aspek luar (zahir) dan dalam (batin) dari syariat.
…
Terkadang makna batin disebut dengan “al-fahmu” berlawanan kata dengan “al-ilmu”. Ilmu berkaitan dengan pengetahuan yang diketahui, sedang fahmu atau pemahaman adalah menyadari sebuah kebenaran dan esensinya. Fahmu merupakan karunia dan petunjuk Tuhan sebagai keuntungan bagi hamba selain ilmu.
Firman Allah; “anzala min as-sama’i maan fasaalat awdiyatan biqodriha”.
Sebagai besar penafsir yang hanya berpegang pada makna zahir akan memaknai ayat tersebut dengan mengatakan bahwa sesungguhnya diantara nikmat Allah kepada hambanya ialah turunnya hujan dari awan yang dengannya hewan-hewan, tumbuhan dan lembah-lembah dapat hidup.
Ibnu Arabi menakwilkan potongan ayat diatas, yaitu; “yang dimaksud dengan al-ma’ adalah ilmu, as-sama’ adalah dunia atas. Maka makna ayat diatas adalah Allah menurunkan ilmu ilahi dari dunia tertinggi kepada hati orang-orang pilihan dari golongan nabi-nabi dan wali.
Demikian dapat dilihat bahwa mufassir memaknai lafadz-lafadz secara hakiki, disisi lain muawwil (penakwil) memaknai lafadz secara majazi. Ibnu ‘Arabi menganggap makna zahir hanya sebagai simbol atau tanda dari makna batin (Abu Al-‘Ula Afifi, 1954:9).
Atas dasar ini, Ibnu ‘Arabi menganggap pemahaman seorang wali teradap Al-Qur’an merupakan bagian yang integral dari Al-Qur’an.
Editor: Marjuki Al Mujakir