Tafsir

Ummah Wasath, Doktrin Keterpilihan Umat Islam

3 Mins read

Umat Islam dalam al-Baqarah, 2: 143 ditegaskan sebagai ummah wasath (ummatan wasatha). Ummah adalah kumpulan orang yang dihimpun oleh suatu ikatan berupa agama, waktu dan tempat. Ummah dalam ayat itu menunjuk kepada kumpulan orang yang dihimpun oleh ikatan agama dan menjalankan peran atau tugas tertentu (litakunu syuhada’ ‘alan nas). Dengan tugas ini kumpulan itu menjadi kelompok yang membentuk perikehidupan berbudaya dan dikenal dengan masyarakat. Jadi pengertian ummah dalam ayat tersebut adalah masyarakat.

Adapun wasath dalam bahasa berarti tengah dan digunakan dengan pengertian adil dan pilihan. Dengan demikian ummatan wasatha adalah masyarakat tengah, adil dan pilihan Apabila ketiga kualitas ini digabung maka pengertiannya bisa masyarakat tengah dan adil sehingga menjadi masyarakat pilihan. Penggabungan ini bermakna bahwa umat Islam menjadi masyarakat pilihan karena berada di tengah dan adil di antara dua kecenderungan ekstrim dalam gerakan sosial-politik dan kebudayaan, misalnya gerakan kanan dan kiri dan kebudayaan materialisme dan spiritualisme. Kualitas pilihan ini menjadi tanda keberadaan umat Islam dan karenanya menjadi identitas yang diidealkan bagi mereka sebagai masyarakat.

***

Penegasan identitas umat Islam sebagai ummatan wasatha dikemukakan dengan ungkapan wa kadzalika (seperti itulah) ja’alnakum (Kami buat kamu sekalian menjadi). Ungkapan ”seperti itulah” menurut az-Zamakhsyari- menunjuk kepada tindakan Allah yang menakjubkan membuat timur dan barat menjadi milik-Nya dan membuat orang yang dikehendaki-Nya menjadi terbimbing di jalan yang lurus (mitslu dzalikal ja’lil ‘ajib). Kemudian penggunaan kata ganti orang pertama jamak (kami-na) untuk Allah Yang Maha Tunggal dalam ungkapan “Kami buat kamu sekalian menjadi” menunjukkan keagungan (lit ta’dhim).

Penegasan dengan ungkapan itu menunjukkan bahwa tindakan Allah menjadikan umat Islam sebagai masyarakat beridentitas “pilihan” itu merupakan tindakan yang mengagumkan dan berangkat dari keagungan-Nya. Allah mengambil tindakan yang mengagumkan itu sudah barangtentu sebagai Dzat Yang Maha Percaya (Al-Mu’min) Dia percaya umat Islam dapat mewujudkan identitas itu dalam kenyataan berbekal dengan ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad, utusan-Nya.

Baca Juga  Pertanggungjawaban Pipit, Tokek, dan Nyamuk

Dengan demikian jika umat Islam tidak mewujudkan identitas itu berarti mereka telah mengkhianati Kepercayaan Allah dan melecehkan Keagungan-Nya.

Tugas Umat Pilihan

Dengan identitas itu umat Islam sebagai ummah wasath memiliki tugas yang berat ke luar (eksternal) dan ke dalam (internal). Tugas eksternal yang harus mereka laksanakan diungkapkan dengan litakunu syuhada’ ‘alan nas (supaya kamu menjadi saksi atas manusia). Tugas ini menurut Ibn Katsir adalah tugas umat memberi kesaksian atas umat-umat lain yang mengakui keutamaan mereka pada hari kiamat. Pemahamahan ini didasarkan pada banyak hadis yang menjelaskan bahwa umat nabi terdahulu (Nabi Nuh dan lain-lain) di hari kiamat tidak mau mengakui bahwa mereka telah menerima penyampaian ajaran (tabligh) dari nabi-nabi yang diutus Allah kepada mereka. Mereka baru mau mengakuinya setelah Nabi Muhammad dan umat Islam memberi kesaksian tentang kebenaran tabligh itu.

Terlepas dari pemahaman eskatologis, ungkapan itu juga bisa dibawa kepada pemahaman pelaksanaan tugas eksternal di dunia ini. Di dunia umat Islam sebagai ummatan wasatha memiliki tugas menjadi saksi sejarah atas masyarakat-masyarakat yang lain. Dengan tugas ini mereka harus mampu memahami realitas masyarakat lain secara obyektif dan mengambil tanggung jawab sebagai konsekuensi atas pemahaman itu. Apabila mereka melihat masyarakat lain rendah dan terbelakang, maka mereka memiliki tanggung jawab untuk mengangkat dan memajukannya. Sebaliknya jika mereka melihat masyarakat lain tinggi dan maju, maka mereka pun bisa mengakui ketinggian dan kemajuan itu dengan konsekuensi bersedia mengambil pelajaran dari ketinggian dan kemajuan yang mereka saksikan.

***

Pemahaman ini sesuai dengan ajaran keterpilihan umat Islam dalam Al- Imran, 3: 110 yang harus melakukan amar ma’ruf nahi-munkar dan beriman kepada Allah dan ajaran perjumpaan antarmasyarakat dalam al-Hujurat, 49: 49 yang harus saling mengenal. Kedua ayat ini jelas menunjukkan bahwa tugas menjadi saksi sejarah atas masyarakat lain dilaksanakan di dunia ini berdasarkan keimanan yang mereka miliki dan dilakukan dengan amar makmur nahi munkar. Juga dengan saling mengenal yang tidak cukup hanya dengan saling menyapa, tapi harus saling belajar.

Baca Juga  QS Al-Muddatstsir Ayat 1-5: Wara dan Kesehatan Jiwa Manusia

Kemudian tugas internal yang harus mereka jalankan diungkapkan dengan wa yakunar rasulu ‘alaikum syahida (dan Rasulullah Muhammad menjadi saksi atas kamu sekalian). Ungkapan ini menunjukkan bahwa umat Islam harus melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang membuat mereka bisa menjadi masyarakat pilihan yang diharapkan oleh Nabi. Banyak ajaran yang harus mereka laksanakan. Di antaranya adalah ajaran tentang keadilan yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu (al-Maidah, 5: 8) dan ajaran tentang ilmu yang meninggikan derajat (al-Mujadilah, 58: 11). Pelaksanaan ajaran ini merupakan satu keniscayaan dalam pelaksanaan tugas eksternal menjadi saksi sejarah atas masyarakat yang lain.

Jiwa Masyarakat Pilihan

Jiwa masyarakat ummatan wasatha dipahami dari munasabah antara ayat 142 dengan 143. Dalam ayat pertama disebutkan as-sufaha’, jamak dari safih yang dalam bahasa digunakan dengan arti orang yang mengalami keterbelakangan mental karena kurang akal atau idiot. Kata as-sufaha’ dalam ayat itu menunjuk kepada orang yang membodohkan diri sendiri dengan tidak mau menerima Millah Ibrahim yang disebutkan dalam al-Baqarah, 2: 130.

Dari hubungan ini diketahui bahwa as-sufaha’ pengertiannya bukan orang-orang idiot yang tidak berpengatahuan karena kurang akal, tapi orang kurang akal karena tidak mau mengerti kebenaran Millah Ibrahim dan kebenaran perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram. Orang-orang yang tidak mau mengerti kebenaran ini adalah orang-orang berjiwa kerdil karena berpikiran picik.

Dengan dinyatakannya umat Islam menjadi masyarakat pilihan dalam al-Baqarah, 2: 143, mereka tidak diperbolehkan memiliki jiwa kerdil seperti itu. Mereka harus menjadi antitesa dari as-sufaha’, yakni menjadi orang-orang yang berjiwa besar. Makna antitesa ini merupakan makna yang ditemukan dari munasabah antara dua ayat di atas yang berpola tadladd, menyebutkan dua hal yang berlawanan secara berurutan.

Baca Juga  Libur Shalat Jumat Karena Corona, Adakah Hadisnya?
Avatar
28 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *