Dalam manasik, tahalul adalah keadaan seseorang yang telah dihalalkan melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama ihram (Kemenag, 2020). Secara hakikat, tahalul bermakna kembali ke kehidupan nyata dimulai dengan cukur rambut. Kehidupan nyata yang dimaksud adalah kembali ke kehidupan masyarakat di tanah air. Pesan moralnya, seorang pulang dari berhaji di tanah suci membawa kesadaran dan pola pikir baru dalam beragama: cara berpikir dan kebiasaan lama yang buruk harus diperbaiki dengan nilai baru. Jangan kembali ke tanah air, jika rambut belum dicukur, maksudnya jangan membawa kesadaran lama, pikiran lama, sikap lama, dan kebiasaan lama saat kembali ke tanah air.
Kesadaran baru itu akan mengena jika kita memahami makna haji mabrur. Karena haji mabrur (al-hajj al-mabrūr) merupakan haji yang ibadah hajinya diterima Allah Swt yang menjadikan seseorang secara individu mendapatkan kebaikan dan secara sosial pelakunya menjadi baik dengan sesama. Haji yang dapat membawa perubahan dalam kehidupan (transformation of life). Perubahan dari keadaan sebelum haji ke keadaan setelah menunaikan haji. Perubahan sikap ini merupakan makna mencukur rambut dalam prosesi tahalul. Yang harus dicukur adalah segala pikiran negatif yang ada di kepala. Yang dicukur adalah keinginan di luar batas kemampuan. Yang dicukur adalah kedengkian, kesombongan, keakuan, ketamakan, kepemilikan, dan segala sifat-sifat negatif pada diri kita. Itulah makna setelah haji yang membawa perubahan sikap menjadi manusia yang semakin baik.
Hal ini senada dengan Nasaruddin Umar (2022) bahwa haji bukan hanya soal maqbul (diterima atau ditolaknya haji karena terkait dengan keabsahan amalan rukun dan syarat), tetapi soal mabrur (terkait dengan dampak positif secara permanen yang diraih seorang hujjaj pasca pelaksanaan hajinya).
Haji mabrur adalah seorang yang mampu menerapkan makna ihram dalam kehidupan sehari-hari. Praktiknya bukan memakai pakaian ihram setiap hari, tetapi melepas kemelekatan pada harta (dunia), sehingga tidak merasa memiliki harta karena hanya titipan dari Allah.
Sepulang haji jangan malah ikatan dengan harta sangat kuat, lalu tambah pelit, kikir dan bakhil. Kalau malah pelit, haji mabur (terbang, hilang) namanya, bukan mabrur (menjadi baik). Oleh karena itu, kita jangan tinggal di zona nyaman, lepaskan kepemilikan atas segala yang kita punya. Hijrah ke tempat baru yang berpeluang menjadikan kita dapat berbuat baik lebih luas.
Itulah ihram, melepas kemelekatan pada diri palsu. Keserakahan pada yang kita inginkan dan kebencian terhadap yang tidak diinginkan. Begitulah nilai ihram yang dapat kitab awa pulang ke tanah air, bukan malah foto yang disebar di media sosial untuk menunjukkan “inilah saya sudah berhaji”, bukan untuk syiar Islam.
Sepulang ibadah haji, setiap jemaah hendaknya menampakkan semangat kesederhanaan, kesetaraan, dan kebersamaan di hadapan Allah. Sepulang di tanah air, hendaknya meninggalkan sikap flexing (pamer) dengan memperlihatkan kepemilikan materi, berkendara dan berpakaian yang serba mewah. Apapun profesi kita, entah artis, pengusaha, pengacara, bahkan pendakwah agama sepulang haji harus menjadi pribadi yang sederhana, apa adanya, dan tidak menonjolkan diri. Jangan sebaliknya, begitu dipanggil dengan gelar haji, malah melahirkan kesombongan baru. Merasa lebih daripada orang yang belum haji.
Dengan memahami makna pakai ihram ini, hendaknya kita dapat memiliki kesadaran baru. Secara sosial kita semakin memiliki rasa persamaan dengan sesama manusia, secara individu kita menjadi manusia yang rendah hati dan tidak merasa lebih dibanding orang lain. Tidak merasa hebat, tidak merasa paling baik, paling sholeh, paling kaya, dan paling pandai, apalagi merasa paling benar dan paling berkuasa di lingkungannya.
Setelah ibadah haji, seorang hamba menjadi manusia merdeka. Manusia yang jujur pada diri sendiri dan orang lain. Menjadi diri otentik tanpa topeng. Tidak insecure: merasa kurang dihargai orang lain. Tidak melakukan flexing supaya mendapatkan pengakuan, penerimaan, dan penghargaan. Tidak narsis: mengagumi diri sendiri secara berlebihan, merasa superior (paling hebat), dan sangat penting di hadapan orang lain. Ibarat angsa, kita tidak perlu mandi untuk menjadi putih. Jangan menipu diri dengan menjadi orang lain, jangan terpengaruh dengan sesuatu dari luar diri, sehingga kita melupakan hakekat diri kita sejati.
Kesadaran ini akan bernilai guna jika bisa dipertahankan dan terus ditingkatkan hingga setelah ibadah haji dan kembali ke tanah suci. Pesan moral dari melepas pakaian sehari-hari adalah kita belajar seni melepas sesuatu yang tidak penting, untuk meraih derajat yang lebih tinggi. Lebih penting kita belajar seni melepas, bukan belajar cara memiliki sesuatu yang serba duniawi. Dengan memahami makna ihram ini, kita menjadi manusia apa adanya (bukan munafik alias bertopeng). Kita juga melihat orang bukan dari tampilan, pakaian, pekerjaan, gelar dan kedudukan, melainkan kualitas ketakwaan: akhlak baik.
Editor: Soleh