Tasawuf

Tarian Rumi: Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah

2 Mins read

Rasa Cinta Rumi

Siapa sangka, rasa cinta dan kerinduan dalam jiwa Rumi abadi hingga saat ini. Memang benar bahwa rasa yang hanya dapat diketahui bagaimana bentuk sesak dadanya oleh Rumi sendiri itu tidak bisa digambarkan oleh manusia lain. Tetapi,  semua manusia mengetahui bahwa Rumi bahkan menghidupkan rasa itu sampai hari ini—bahkan mungkin sampai tiada lagi yang namanya hari.

Syair-syair yang dilukiskan oleh Rumi dapat dinikmati oleh seluruh kalangan manusia di seluruh penjuru dunia. Apalagi bagi manusia yang sedang dilanda kasmaran. Syair Rumi sangat lumrah dijadikan sebagai surat yang mereka lontarkan pada pujaan hati mereka.

Sekilas tentang Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hassin al-Khattabi al-Bakri, begitulah nama yang selanjutnya kita sebut “Rumi” sebagai tanda hormat dan cinta kita kepada beliau.

Pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 dalam kalender Hijriyah dan bertepatan pada tanggal 30 September tahun 1207 dalam kalender Masehi, Rumi lahir di Balkhi, yang sekarang terletak di Afghanistan Utara.

Tidak ada tokoh hebat yang bermalas-malasan menimba ilmu, begitu pula Rumi yang haus akan ilmu sejak umur beliau masih belia. Segala bidang keilmuan oleh Rumi dipelajari. Mulai dari Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Nahwu, Ushul Fikih, Sejarah, Tafsir, Logika, Teologi, Matematika, hingga Astronomi.

Rumi Sang Sufi

Rumi masyhur dengan titel sufi dan pujangga di belakang namanya. Rumi merupakan salah satu dari para tokoh sufi kenamaan dunia. Dari ayahnya—Baha’ Walad—lah awal mula beliau mendapatkan pengajaran mengenai tasawuf.

Ayahnya merupakan tokoh agama (sekaligus sufi) yang dijadikan panutan bagi masyarakat. Sepeninggal ayahnya, Rumi menggantikan kedudukannya sebagai tokoh agama pada saat usia beliau 24 tahun.

Baca Juga  Mistis Bukan Barang Angker!

Tarian Khas Rumi

Apabila mendengar nama Rumi, pasti tarian dengan gerakan berputar yang khas juga akan ikut kita ingat. Tarian yang dikenal sebagai tari sufi/sufi whirling/whirling darwis tersebut merupakan sebuah seni mistik yang diciptakan oleh Rumi.

Awal mula Rumi melakukan tarian memutar ini adalah pada saat beliau kehilangan mursyidnya, Shamsuddin Tabrizi. Rasa cinta Rumi terhadap guru sekaligus sahabatnya itu membuat Rumi merasakan sedih yang amat mendalam hingga mengakar di hatinya. Sejak saat itu Rumi menjadi semakin kurus.

Dengan hati yang masih terluka, Rumi mulai melakukan tarian memutar selama tiga hari tiga malam. Rumi menangis dan meratap, mengeluarkan segala kesedihannya. Selama sepuluh tahun Rumi menuangkan cintanya berupa syair dan music bernuansa kesedihan dan kematian.

Melalui tarian itu, Rumi mendekatkan diri kepada Allah, memahami bahwa manusia hanyalah makhluk yang tidak memiliki daya dan fana. Rumi mengenali Allah lebih dalam, menenggelamkan dirinya untuk menemui cinta sejatinya.

Dalam praktiknya, tiap detail dari gerakan tarian ini memiliki makna yang sangat mendalam.

Syarat Sebelum Melakukan Tarian ala Rumi

Sebelum melakukan tarian ini, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ego, nafsu, keduniawian, hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang harus ditinggalkan untuk dapat melakukan tarian yang sarat akan ilmu irfani ini secara sempurna.

Para darwis harus memiliki hati yang bersih, selalu mengingat Allah, serta memiliki kekuatan emosi dan fisik yang mumpuni.

Tarian sufi memutar ke kiri melawan arah jarum jam, sebagaimana ritual thowaf (mengelilingi Ka’bah). Topi memanjang yang digunakan darwis melambangakan nisan para wali dan sufi, baju putih melambangkan kain kafan, dan jubah hitam melambangkan alam kubur, dan alas kaki kuff sebagaimana yang dipakai Rasul pada saat musim dingin.

Baca Juga  Empat Jenis Kebodohan Manusia Menurut Kaum Sufi

Di zaman modern, tarian ini masih eksis dan berkembang di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Beberapa komunitas sufistik maupun perguruan tinggi dengan program studi tasawuf masih mempelajari dan melestarikannya.

Di sini kita dapat memahami bahwa rasa cinta yang sejati merupakan anugerah dari sang pemilik cinta, serta hanya bisa dilakukan oleh dan kepada pemilik cinta itu sendiri.

Cinta bukanlah yang bisa kita maknai dengan ego dan obsesi. Cinta adalah cinta, yang mana ia tidak pernah menuntut balas. Pekerjaan dari pecinta hanyalah mencintai, tidak kurang dan tidak lebih. Hanya saja jangan sampai kita salah jalan untuk memahami apa yang disebut cinta.

Editor: Yahya FR

Mar’atus Sholikhah
3 posts

About author
Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UINSA Surabaya
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds