Perspektif

Teologi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

7 Mins read

Istilah amr ma’ruf nahy munkar cukup populer di Indonesia. Sebenarnya istilah itu sendiri dari dua pengertian penting, yakni ma’ruf dan munkar. Tetapi, sebagai kata yang berdiri sendiri, dua kata itu kurang dikenal.

Kecuali istilah munkar yang kadang-kadang dipakai. Biasanya kata itu didahului dengan kata”perubahan,” sehingga menjadi “perbuatan munkar”.

Dengan cepat orang tahu artinya, lebih-lebih dalam masyarakat Jawa. Artinya, perbuatan yang tidak baik, yang menentang kebaikan umum dan ajaran agama. Namun kata ma’ruf tidak lazim disebut sendirian, kecuali sebagai nama orang. Bahkan sebagai nama orang, kata ini sering sekali dipakai.

Kita mengenal umpamanya nama sastrawan Anas Ma’ruf, penerjemah Gitanyali karya Rabinderanath Tagore atau pelukis Ipe Ma’ruf yang cukup terkenal itu.

Nama Ma’ruf ini juga cukup populer di lingkungan masyarakat betawi, sehingga ada sebuah restoran soto Jakarta yang memakai nama “Soto Betawi Pak Ma’ruf”. Tetapi walaupun begitu, hanya secara samar-samar saja orang mengetahui artinya, yakni kebaikan.

Sebagai suatu kesatuan kata, bersama-sama dengan kata amr, istilah di atas juga mengandung satu kesatuan pengertian. Kata amr ma’ruf nahy munkar sudah menjadi dan sering dipakai sebagai motto atau semboyan. Istilah itu berkaitan erat, secara maknawi dengan kata “dakwah” atau “perjuangan”.

Orang biasanya menyebut istilah tersebut dengan semangat tertentu yakni semangat perjuangan. Karena itu, maka istilah tersebut mengandung konotasi tertentu. Ketika orang menentang lottere, yang bernama Hwa Hwe.

Di awal Orde Baru, kemudian Porkas dan terakhir SDSB umpamanya, perjuangan untuk menghapus itu semua bisa diberi label amr ma’ruf nahy munkar. Perjuangan melawan korupsi dan pelacuran juga bisa ditaruh di bawah bendera amr ma’ruf nahy munkar.

Karena itu, istilah amr ma’ruf nahy munkar mengandung konotasi “berjuang menentang,” “membasmi” atau “ memberantas”. Konotasinya adalah bentuk negatif dari suatu perjuangan. Ini berarti, tekanan makna penyebutan istilah tersebut lebih berat kepada aspek nahy munkarnya.

Memang bisa pula orang menyebut istilah amr ma’ruf secara tersendiri yang berarti “anjuran kebaikan” tetapi istilah itu jarang dipakai. Padahal, untuk menjernihkan pengertiannya, lebih baik jika orang menyebut dua istilah itu, sendiri-sendiri. Jika sedang menentang kolusi umpamanya, maka bisa dipakai istilah “perjuangan nahy munkar”.

Dan jika sedang menganjurkan amr ma’ruf, misalnya sekarang ini, dalam rangka menegakkan disiplin nasional, kita bisa memakai istilah amr ma’ruf.

Dalam ensiklopedi Islam Indonesia (penerbit Jembatan,1992) ada juga entry ”Amar Makruf Nahi Munkar” yang di artikan sebagai “suruhan untuk berbuat baik serta mencegah dari perbuatan jahat”.

Istilah itu diperlakukan dalam satu kesatuan istilah, dan satu kesatuan arti pula,seolah-olah keduanya tidak bisa di pisahkan.

Amr Ma’ruf Nahy Munkar dalam Teologi

Kelaziman itu nyata karena umpamanya, ulama-pemikir terkenal, Syaykh-u ‘l-Islam Taqiy Al-Din Abu al-Abbasyang lebih dikenal dengan nama Ibn Taymiyahitu menulis sebuah buku khusus dengan judul al-Amr bi al- Ma’ruf wa al-Nahy ‘an-i‘l-Munkar (sudah diterjemahkan menjadi buku kecil berjudul Etika Beramar Ma’ruf Nahy Munkar, Gema Insani Press, 1992. Selain itu, dua penerbit lain juga menerbitkan terjemahannya).

Baca Juga  Love Language ala Muhammadiyah

Dalam tradisi pemikiran islam, dua kata itu memang telah menjadi satu Mu’tazilah, sebuah aliran teologi islam abad pertengahan, ternyata telah memasukkan amr ma’ruf nahymunkar tersebut sebagai rukun Iman yang keenam, sebagaimana kaum Syi’ah telah memasukkan jihad sebagai rukun islam yang keenam pula.

Agaknya, ada kesejajaran pemikiran antara kaum Mu’tazilah dan Syi’ah, berkaitan kedekatan makna amr ma’ruf nahy munkar dengan jihad .

Kaum Mu’tazilah ternyata sedemikian keras memegang doktrin ini sebagai bagian dari keimanan mereka, sehingga mereka berpendapat bahwa amr ma’ruf nahy munkar itu harus di tegakkan secara konsekuen.

Bahkan, kalau perlu dengan kekerasan, walaupun menurut rumusan Zamakhsyari, tindakan kekerasan ini hanya dilakukan sebagai langkah terakhir, sesudah peringatan yang lemah lembut dilakukan.

Mu’tazilah adalah sebuah aliran teologi abad ke-8M/2H, yang di pelopori oleh Washil ibn Atha (700-780) yang menentang dan memisahkan diri dari gurunya, Imam Hasan al Bashri, pada suatu hari di Masjid Raya Bashrah.

Untuk memahami doktrin kaum Mu’tazilah ini, bisa diketemukan kasus perbedaan pendirian dan sikap tiga aliran teologi Islam tentang iman dan dosa. Menurut Washil ibn Atha, yang menentang pendapat Imam Hasan al Bashri, seorang mukmin yang telah melakukan dosa besar (berzinah, korupsi, membunuh), jika tidak bertobat, maka statusnya tidak mukmin (beriman) lagi.

Tetapi jatuh kedalam kategori fasiq, namun belum jatuh kedalam kategori kafir. Mengenai hal ini, Imam Hasan al Bashri berpendapat, bahwa orang tersebut, jika tidak dinyatakan dirinya kafir, ia masih berhak status mukmin. 

Pendapat yang diametral datang dari kaum Khawarij. Mereka berpendapat, orang seperti Muawiyah, yang telah melakukan kecurangan dalam berperang dan berebut kekuasaan kekhalifahan dengan Ali, telah melakukan dosa besar,dan karena itu hanya berhak dengan status kafir. 

Di antara kedua pendapat yang beroposisi itu, kaum Mu’tazilah berada di tengah-tengah. Orang mukmin yang melakukan dosa besar berada pada suatu posisi di antara dua status (al-manzilah bayn-a ‘l-manzilatayn). Kesimpulan ini diambil berdasarkan argumen rasional.

Pendapat-pendapat ini sebenarnya mempunyai implikasi pada sikap yang perlu diambil terhadap seorang pendosa atau pelaku suatu kejahatan. Kaum Khawarij akan menghukum pendosa atau pelaku suatu kejahatan.

Kaum khawarij akan menghukum pendosa besar, sebagaimana sikap mereka terhadap Mu’âwiyah dan pengikutnya. Tetapi kaum Mu’tazilah akan berjuang amr ma’ruf nahy munkar, dengan cara mencegah perbuatan dosa, dan mendorong para pendosa supaya sadar, memohon ampun kepada Tuhan dan tentu saja, dihukum jika ternyata bersalah melanggar hukum. 

Untuk paham itu, Kaum Mu’tazilah merumuskan lima ajaran dasar: (1) tauhid atau mengesakan Tuhan, (2) percaya kepada keadilan Tuhan, atau berpendapat bahwa sifat Allah yang paling hakiki adalah keadilan, (3) menempatkan diri di antara dua posisi, yang dapat ditafsirkan sebagai pengambilan sikap moderat , (4) janji baik dan ancaman Tuhan (bashirá wa nazhiran), dan (5) amr ma’ruf nahy munkar .

Sekalipun dalam teologi, Mu’tazilah mengambil sikap moderat, namun ketika mereka berada dalam posisi berkuasa pada masa Khaliífah al-Ma’mun dari Dinasti Abbasyah, ternyata mereka memaksakan pendirian mereka kepada golongan lain.

Baca Juga  Pandemi Corona Picu Gejala OMB: "Orang Miskin Baru"

Ini karena mereka bersikap keras dalam  menegakkan keadilan dan menjalankan amr ma’ruf nahy munkar  secara konsekuen kalau perlu dengan kekerasan.

Akibatnya, kaum Mu’tazilah banyak ditentang oleh kelompok pendukung Ahl al- Sunah wa al jama’ah, dan ketika Khalifah Mutawakkil berpihak kepada golongan Ahl al- Sunah wa al jama’ah, maka berahirlah kekuasaan meraka hingga 846 M/234 H saja.

Bahkan ketika berada di mluar kekuasaan, kaum Mu’tazilah menjadi golongan yang dikejar-kejar penguasa, sehingga aliran ini menjadi lemah. Namun mereka berhasil melakukan kebangkitan kembali di Irak dan Persia. Golongan Syiah mengambil oper teologi Mu’tazilah dan melahirkan ulama terkemuka Qadli al-Qudlaf Abdu’l Jabbar (w. 1025 M/415 H).

Ulama besar ahli tafsir Al-Zamakhsyari (w. 114 M/538 H) ini, adalah salah seorang Penganut teologi Mu’tazilah. Dewasa ini, aliran Mu’tazilah ini masih hidup dan dipelihara di kalangan Syiah, karena agaknya kaum Syiah merasa cocok dengan doktrin-doktrin dasar teori Mu’tazilah.

Dalam Syi’ah, Rukun Islam ke-6 adalah jihad. Dan ini mengingatkan kita pada doktrinamr ma’ruf nahy munkar. Keduanya mengandung nada maknawi yang sama.

Selama berabad-abad, kaum syiah adalah golongan yang berada di luar kekuasaan. Mereka kaum Syîah tidak hanya ber-oposisi, tetapi dimusuhi juga oleh golongan Ahl al-Sunnah wa al Jamä ah.

Sementara itu, semenjak al-Mutawakkil, kaum Mutazilah adalah mereka yang di kucilkan. Posisi oposisi inilah agaknya yang mendorong kaum Syi’ah sejak zaman Mu’awiyah mengambil doktrin jihad yang lebil tegas, dan lebih memberi semangat daripada doktrin amr ma’ruf nahy munkar yang dirumuskan oleh kaum Mu’tazilah.

Kelompok lain yang mengambil doktrin amr ma’ruf nahy munkar ini, adalah Muhammadiyah di Indonesia. Padahal, Muhammadiyah tidak mempunyai tradisi oposisi terhadap penguasa, sekalipun terhadap penjajah Belanda.

Apabila kita menengok kepada doktrin-doktrin dasar Mu’tazilah lainnya, kita melihat persamaan yang mencolok dengan paham Muhammadiyah. Pertama, baik Mu’tazilah maupun Muhamnadiyah merumuskan, dan menonjolkan doktrin pengesaan Tuhan secara keras.

Konsekuensinya adalah pemurnian aqidah yang mungkin telah bercampur dengan unsur-unsur paham lain. Kedua, adalah posisinya yang berada di tengah-tengah, dalam persoalan iman dan perbuatan dosa yangmempengaruhi seluruh pola sikap Muhammadiyah yang serba moderat.

Dan ketiga, pengambilandoktrin amr ma’ruf nahy munkaritu.

Dalam Muhammadiyah, memang tidak diperhatikan konsep basyir-an wa nazhir-an yang bernada eskatologis, dan futuristis itu, yang nampak kuat dalam aliran Syi’ah.

Baik dalam Syi’ah maupun Mu’tazilah, doktrin keadilan Ilahi itu berada di pusat orientasi diskursus teologi. Karena itu, ulama Syí’ah terkemuka, Murtadlå Muththahhari membahas dan mengembangkan konsep keadilan ilahi secara komprehensif. 

Baca Juga  Gamis, Cadar, dan Jihad: Radikal atau Lebay?

Diskursus teologi ini sulit dibayangkan dapat dilakukan di lingkungan ahl al-sunah wa al-jamaah maupun Muhammadiyah. Sebab doktrin keadilan Ilahi ini merupakan sumber maupun hasil dari cara berpikir rasional.

Doktrin keadilan Ilahi ini dalam Syiah dan Mu’tazilah berbeda. Pada Mu’tazilah, doktrin keadilan Ilahi berkaitan dengan kebebasan manusia untuk bertindak. Manusia bebas memilih apakah cenderung kepada perbuatan baik atau jahat. 

Pilihan itu akan dinilai Tuhan secara adil dalam arti, semua tindakan baik maupun buruk ada ganjaran atau balasannya. Dalam Syi’ah, doktrin keadilan Ilahi itu dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep keadilan politik dan keadilan sosial. Konsep ini dipakai sebagai dasar teori kenegaraan dan rekayasa teori sosial-ekonomi dalam Syi’ah modern (lihat, keadilan ilahi, dalam ‘Adl) 

Keistimewaan Muhammadiyah terletak pada pengambilan dan penempatan doktrin amr ma’ruf nahy munkar ini. Namun berbeda dengan Mu’tazilah yang menempatkan doktrin ini dalam diskursus teologi, Muhammadiyah menempatkannyasebagai doktrin aksi. 

Dalam konsep Muhammadiyah, amr ma’ruf nahy munkar ditafsirkan sebagai konsep dakwah, menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Jika kaum Syiah lebih memperhatikan konsep jihad, yang kerap kali diwujudkanya ke dalam bentuk perjuangan bersenjata itu, Muhammadiyah lebih suka mengambil amr ma’ruf nahy munkar sebagai dasar perjuangan dengan cara damai, yang disebutnya dengan“dakwah”.

Doktrin amr ma’ruf nahy munkar ini termuat dalam dokumen “Kepribadian Muhammadiyah” yang disebut bahwa sebagai persyarikatan, Muhammadiyah adalah sebuah gerakan Islam. 

Yang dimaksud dengan gerakan Islam adalah upaya serentak dalam melaksanakan “dakwah amr ma’ruf nahy munkar” sasarannya ada dua, perorangan dan masyarakat.

Terhadap perorangan, dakwah amr ma’ruf nahy munkar mengandung dua sasaran; pertama, terhadap mereka yang sudah beragama Islam, dakwah diwujudkan kedalam bentuk pembaharuan pemahaman Islam ke arah pemurnian tauhid, yaitu ajaran islam yang asli.

Kedua, terhadap yang belum muslim dakwah diwujudkan ke dalam usaha-usaha perbaikan bimbingan guna menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam kehidupan pribadi, dan masyarakat.

Konkretnya, perbaikan Muhammadiyah melakukan berbagai amal usaha, khususnya dibidang pendidikan, sosial (misalnya mendirikan panti asuhan, poliklinik, rumah sakit, atau memobilisasi dan distribusi zakat), tabligh, dan berbagai bentuk penyiaran agama Islam.

Dengan demikian, maka definisi Muhammadiyah tentang amr ma’ruf nahy munkar cukup positif. Sunguhpun begitu, dalam praktek dakwah dan advokasinya, dakwah amr ma’ruf nahy munkarseringkali mengarah kepada bentuk negatif. Yakni pemberantasan bid’ah, khurafat, dan takhayul.

Dakwah sepertiini sejalan dengan kecenderungan pemikiran Muhammadiyah sebagaimana halnya pada Mu’tazilah yang rasional dan menyerap ilmu pengetahuan modern.

Namun arah dakwah ini sering kali pula bersinggungan dengan kepercayaan pada agama lain, seperti Hindu atau Buddha atau kepercayaan orang-orang abangan yang sinkretis. Dakwah ini juga bersinggungan dengan kalang NU yang seringkali dianggap masih memelihara tradisi yang tidak ada petunjuknya dalam agama.

Sumber: Ensiklopedi al-Qur’an

Editor: Yahya FR
Avatar
5 posts

About author
Muhammad Dawam Raharjdo terkenal sebagai ekonom dan tokoh agama. Ia telah banyak menulis buku-buku baik tentang ekonomi maupun tentang agama Islam. Dawam pernah menjadi ketua dari ICMI se-Indonesia, pemimpin Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, dan ketua yayasan ELSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat).
Articles
Related posts
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…
Perspektif

Mau Sampai Kapan IMM Tak Peduli dengan Komisariat?

2 Mins read
Barangkali unit terkecil IMM yang paling terengah-engah membopong organisasi adalah komisariat. Mereka tumbuh serupa pendaki yang memanjat gunung tanpa persiapan dan dukungan….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds