Meskipun sudah diralat, Menteri Agama Fachrul Razi membuka pembicaraan mengenai kemungkinan kombatan ISIS, khususnya yang berasal dari Indonesia untuk kembali ke tanah air (detik.com, 6 Februari 2020). Meskipun ucapannya tidak tegas, hal tersebut membuka polemik lebih luas di masyarakat terkait dengan rencana pemulangan mereka.
Sebagaimana diketahui, ada sekitar 600 orang Indonesia yang tergabung dalam ISIS, di mana mereka tersebar di Timur Tengah. Rencana pemulangan ini kemudian membuat masyarakat terbelah dalam tiga pendapat berbeda.
Pendapat yang pertama lebih mengutamakan asas kemanusiaan dan HAM. Pendapat yang kedua, meskipun atas nama kemanusiaan dan HAM, harus ada proses seleksi dengan mengetahui lebih jauh profil masing-masing yang tergabung dalam ISIS untuk mengetahui seberapa jauh tingkat radikalisme dan brutalitas kekerasan yang pernah dilakukan. Sementara itu, ada juga pendapat yang ketiga, yaitu menolak untuk menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia terkait dengan kepulangan ke Indonesia.
Sejarah Persoalan Kewarganegaraan
Dalam tulisan ini, saya cenderung kepada pilihan ketiga dengan tiga alasan yang melatarbelakanginya. Alasan pertama adalah persoalan kewarganegaraan di Indonesia, baik yang menyangkut eksil 1965 dan pengungsi dalam negeri.
Dalam sejarah Indonesia, setidaknya ada tiga kasus terkait dengan persoalan warga negara yang belum diselesaikan. Tiga persoalan ini menyita perhatian, baik nasional maupun internasional. Mereka adalah eksil 1965. Pada tahun 1965-1966 lebih dari 2000-an orang Indonesia tidak bisa kembali ke Indonesia. Paspor mereka dicabut dan mereka kemudian menjadi warganegara tanpa negara (stateless).
Alasan pencabutan paspor ini adalah karena mereka dianggap tidak setia kepada NKRI, lebih khususnya kepada pemerintahan yang baru di bawah rezim Suharto. Sementara itu, nasionalisme mereka begitu kuat kepada Indonesia di bawah pemerintahan Sukarno. Mereka inilah yang disebut oleh Gus Dur sebagai orang kelayaban.
Pasca 20 tahun reformasi, hak-hak mereka sebagai bagian dari permintaaan keadilan negara tidak pernah dipulihkan di Republik ini. Mereka menjadi eksil yang meminta suaka negara di mana mereka tinggal, tetapi memiliki apa yang disebut oleh Ben Anderson sebagai nasionalisme jarak jauh.
Sementara itu, di dalam negeri, Indonesia memiliki dua persoalan utama yang tidak kunjung diselesaikan oleh negara. Persoalan utama tersebut adalah pengungsi Syiah yang saat ini masih bertahan di Rumah Susun Jemundo, Jawa Timur dan pengungsi Ahmadiyah yang masih bertahan di asrama Transito, kota Mataram Nusa Tenggara Barat. Mereka ini yang disebut sebagai Internally Displaced Person (IDP), orang yang menjadi pengungsi di negaranya sendiri.
Pengungsi Ahmadiyah ini sudah tinggal di sana selama lebih dari 14 tahun dan pengungsi Ahmadiyah 9 tahun. Seribu usaha sudah mereka lakukan agar mereka kembali ke kampung halamannya, seribu alasan juga yang mereka terima sehingga bertahan hingga sampai sekarang. Jika alasannya kemanusiaannya, mengapa persoalan-persoalan ini tidak kunjung diselesaikan oleh negara? Persoalan yang sebenarnya lebih dekat dan menjadi bagian kelam sejarah Indonesia.
Kemerdekaan Pemikiran dan Tindakan
Selanjutnya, kecuali anak-anak, orang-orang yang ikut ISIS ini sudah dewasa, dianggap merdeka secara pemikiran dan juga tindakan. Mengasumsikan mereka ikut ISIS karena semata-mata ikut suami dan sebagai kepatuhan kepada keluarga bukanlah bagian dari korban.
Mereka melakukan itu dengan sangat sadar dan menjadi bagian dari imajinasi kelaurga mengenai ideologi Islam tertentu yang diinginkan. Di sisi lain, keinginan mereka ingin kembali ke Indonesia bukan karena menolak kepada ideologi ISIS sepenuhnya. Melainkan tidak adanya tempat lagi di tengah organisasi ini yang sudah kalah sehingga tidak memiliki cantelan kepastian untuk mereka bernaung. Satu-satunya untuk kembali kemudian adalah negara asalnya yang sebelumnya sudah diludahi sendiri.
Mereka juga tidak memiliki imajinasi mengenai Indonesia sebagai rumah bersama di mana nasionalisme dipupuk atas nama Pancasila dan kebersamaan di bawah payung keragaman. Konteks ini bisa dilihat dengan bagaimana mereka kemudian membakar paspor Indonesia mereka.
Brutalitas, Kekerasan, dan Kejahatan ISIS
Terakhir, hanya karena semata-mata mereka Muslim tidak berarti orang memiliki ingatan yang pendek atas nama kemanusiaan dan solidaritas keagamaan. Khususnya bagaimana brutalitas, kekerasan, dan kejahatan yang mereka lakukan. Bahkan, apa yang mereka lakukan ini sebenarnya harus dibawa ke pengadilan perang internasional.
Di sisi lain, reintegrasi mereka ke dalam masyarakat juga bukan perkara yang mudah di tengah gelombang Islamisme yang begitu menguat. Apalagi sebelumnya, mereka terlatih dan dilatih untuk berperang. Sedikit saja adanya pemicu dari kelompok garis keras di Indonesia, memungkinkan mereka bisa membikin keonaran di Indonesia. Terlebih lagi, program deradikalisasi di Indonesia kepada para teroris sebelumnya belum bisa dilihat titik keberhasilannya secara memuaskan.
Selain itu, kecurigaan harus diperkuat kepada kelompok-kelompok Islam yang meminta negara untuk hadir untuk membela para kombatan ISIS ini. Melalui media online, pengajian, dan juga video, merekalah yang diam-diam mengkampanyekan dan membela ideologi tersebut. Juga melakukan penggalangan dana atas nama kemanusiaan.
Ya, harus diakui, Republik ini ada bukan hanya untuk satu agama, etnik, dan kelas sosial tertentu. Tetapi kalau ada ideologi yang berusaha untuk merongrong kedaulatan dan berteriak pekik atas nama kemanusiaan dan HAM sambil menyembunyikan identitas mereka, negara harus bersikap.
Cara kerja negara bersikap yang paling minimal sebelum mengurus para kombatan ISIS adalah dengan melihat kembali tiga kasus yang saya sebutkan sebelumnya. Bukan alih-alih memikirkan persoalan yang memang tidak ada kaitannya dengan persoalan kewarganegaraan Indonesia, apalagi nasionalisme sebagai syarat kecintaannya kepada tanah air tempat mereka dilahirkan, tumbuh, dan menghidupi diri.