Perspektif

Tiga Catatan Kritis Omnibus Law Bidang Pendidikan

3 Mins read

Negara seyogyanya menjadikan kebijakan sebagai bentuk tanggung jawab moril sebagai pelayan rakyat. Karenanya, kebijakan yang digulirkan idealnya membawa kemaslahatan bangsa. Membawa kesejahteraan dan keadilan sosail bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, acapkali kebijakan yang digulirkan menjadi paradoks dengan kepentingan rakyat. Kepentingan yang diputuskan kadang hanya mengakomodasi dan memberikan nilai kemaslahatan bagi kalangan tertentu.

Kebijakan kontroversi yang sedang digodog oleh DPR di tengah wabah Covid-19 yang sedang mendera bangsa ini di antaranya mengenai Omibus Law. Yaitu, Undang-undang “sapu jagat” yang bersentuhan dengan berbagai macam topik. Dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain. Banyak pakar menilai dari sudut pandang ketenagakerjaan, industri, hukum, lingkungan hidup, ekonomi juga termasuk pendidikan.

Jika kita cermati rancangan Omnibus Law akan menemui banyak catatan dan kemunduran terhadap pendidikan di Indonesia. Omnibus Law bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan amandemen dari 3 produk hukum undang-undang, yaitu: pertama, Undang-undang no. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Kedua, Undang-undang no. 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen. Ketiga, Undang-undang no.12 Tahun 2012 mengenai Pendidikan Tinggi. Dari draft Omnibus Law bidang pendidikan dan kebudayaan ada beberapa kebijakan yang perlu dicermati.

Kontraproduktif dengan Konsep Tri Pusat Pendidikan

Filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara mengenai Tri Pusat Pendidikan menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya cukup dan menjadi tanggung jawab sekolah an sich. Akan tetapi juga meliputi peran orangtua dan masyarakat. Bahkan sejatinya, pondasi utama terletak di keluarga dan masyarakat.

Sebagaimana ulasan Ki Hajar, “pendidikan alam keluarga akan mendidik anak-anak dengan sebaik mungkin yang meliputi jasmani dan rohani. Keadaan keluarga sangat mempengaruhi perilaku pendidikan, terutama tolong-menolong dalam keluarga, kebersamaan dalam menjaga kebersihan, kedamaian, dan kebersamaan dalam berbagai persoalan yang diupayakan dalam keluarga” (Ki Hajar Dewantara:1977). 

Baca Juga  Pedagogi Generasi Z: Meretas Arus Dehumanisasi

Rancangan Omnibus Law mengenai pendidikan menisbikan peranan keluarga dan masyarakat. Peran serta keluarga dan lingkungan dihilangkan. Penghilangan ketentuan keluarga dan masyarakat di ayat 4 dan 5 menyalahi kodrati Tri Pusat Pendidikan; Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Selain menyalahi konsep utama Tri Pusat Pendidikan, keberadaan “sekolah” milik masyarakat sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri (Muhammadiyah, Taman Siswa, NU, dan lain sebagainya). Karenanya, UU SPN menyebutkan langsung dan mengakomodirnya pada ayat 3, 4, dan 5.

Dominasi Pemerintah Pusat

Dominasi pemerintah pusat sangat tampak dari ketiga amandemen undang-undang yang dipangkas terkait dengan otoritas pemerintah pusat mengkooptasi peran serta pemerintah daerah. Sebagaimana tampak dalam pasal 51 Ayat 1 mengenai izin pendirian sekolah dan pendidikan tinggi mutlak pemerintah pusat. Namun anehnya, ketentuan pengelolaannya ditangani oleh daerah dan manajemen berbasis sekolah. Jika mengacu kepada konsep MBS, prinsip pelibatan dan pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah dan partisipasi publik sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas penanganan mengenai pendidikan (Malik Fadjar: 2003).

Kebijakan MBS relevan dengan adanya kebijakan Otonomi Daerah. Walaupun praktek dari Otonomi Daerah adalah munculnya “raja kecil” di daerah. Namun, kooptasi pemerintah pusat yang terjadi adalah pengingkaran dari tumbuh kembangnya demokratisasi, dalam konteks pendidikan, menghilangkan spirit kolaborasi-sinergi yang semestinya menjadi arah baru pengembangan pendidikan masa kini.

Kiranya, kebijakan kontroversi ini menjadi oligarki baru terhadap kuasa dan penguasa, di mana partisipasi dikooptasi dengan dominansi kuasa dan “penguasa” atas nama politik pemerintah pusat. Ketimpangan yang sangat tampak adalah keberpihakan kepada penyelenggara pendidikan asing, di mana akreditasi tidak menjadi keharusan sebagaimana terdapat dalam perubahan pasal 65.

Kebijakan pidana tidak diatur ketentuan khusus pidana mengenai orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan.

Baca Juga  Muhadjir Effendy: Pendidikan Adalah Kunci Kemajuan Bangsa

Begitu pula dengan orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dan orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan dan mengenai orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai ketentuan. Di undang-undang sebelumnya ketentuan pidana disebutkan langsung dalam undang-undang.

Kompetensi Guru, Sertifikasi, dan Pendidikan Profesi Terancam Dihapus

Terobosan pendidikan yang memiliki dampak signifikan arah pendidikan nasional adalah adanya undang-undang sistem pendidikan yang digodog oleh tim reformasi pendidikan menghasilkan UU no. 20 Tahun 2003. Tindak lanjut undang-undang tersebut diterbitkannya UU no. 14 tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen. Kedua undang undang tersebut memainkan peranan penting tentang kebijakan 20 % anggaran pendidikan dari APBN disertai tentang kebijakan keberpihakan kepada guru dan dosen sebagai profesi yang diatur undang-undang, termasuk konsekuensi profesi profesionalitasnya dengan sertifikat pendidikan, sertifikasi. Untuk mencapai tersebut, guru dan dosen haruslah memiliki kualifikasi akademik yang ideal, kompetensi yang harus dimiliki, dan proses pendidikan profesi.

Sebagaimana termaktub dalam rancangan Omnibus Law mengenai pendidikan pasal 9 tentang kualifikasi pendidikan yang tidak lagi disebutkan secara terperinci dan dihapuskannya pasal 10 mengenai ketentuan kompetensi yang harus dimiliki guru berupa kompetensi pendagogi, kepribadian, sosial, dan kompetensi professional. Pasal 11 pun dihilangkan mengenai ketentuan sertifikat pendidikan dan sertifikasi guru. Akan tetapi, untuk dosen ketentuan sertifikasi tidak dihapus. Jika undang-undang ini disahkan, apresiasi kepada guru sebagai profesi mulia dan berperan nyata di garda terdepan pengembangan sumber daya manusia akan hilang.

Akhirnya, ketiga cacatan kritis mengenai Omnibus Law bidang pendidikan sangat tidak menguntungkan terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Semestinya, kebijakan yang baru mampu memberikan arah yang lebih baik. Justru, draft Undang-undang “sapu jagat” mengenai pendidikan mundur ke belakang. Banyak pasal dan ayat yang kalimatnya diubah tidak esensial dan juga ditemui inkonsistensi antar pasal dan ayat dari draft tersebut. Semoga anggota dewan terbuka mata batinnya agar memastikan pendidikan di masa yang akan datang berjalan lebih baik. Jangan sampai kebijakan pendidikan kita, meminjam bahasanya Paulo Freire (2007), melahirkan nekrofili, yaitu cinta kepada kematian (nekrofili). Semestinya, kebijakan pendidikan kita melahirkan  biofili, yaitu cinta pada kehidupan dan kemajuan masyarakat.

Baca Juga  Santri Masuk Juni Hiraukan Pandemi, Bisakah?

Wallahu’alam!

Editor: Arif

Abdullah Mukti
10 posts

About author
Anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds