Toleransi Dinasti Fatimiyah – Pada abad awal kelahirannya, Islam mengalami lika-liku konflik atau pertentangan dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah Jazirah Arab. Semenjak Islam muncul ke permukaan, masyarakat kafir Quraisy dengan penuh pertentangan dan hujatan. Ini berakhir pasca peristiwa “Tahkim” (peristiwa i’tikad damai setelah Perang Siffin antara Pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan).
Diatas adalah beberapa bentuk cobaan dan tantangan dalam Islam, yang mana konflik demi konflik telah terjadi di abad tersebut.
Ketika kita membahas tentang kekacauan teologi-politis Islam , tepat sesudah diangkatnya Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat. Pada saat itu, Islam terbagi kepada beberapa firqah (golongan), yakni: Syi’ah, Khawarij, Jabariyah dan Murji’ah.
Perpecahan terjadi dengan keegoisan antara penganut sekte dengan berdalih yang paling benar dalam urusan teologi dan politik berasaskan al-Qur’an dan Sunnah.
Kemunculan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Namun, hal yang berbeda terjadi di empat abad setelah kekacauan politik internal Islam tersebut. Ketika Dinasti Fatimiyah di bawah kepemimpinan Muiz Lidinillah dan al-‘Aziz berhasil melaksanakan toleransi antara sesama Islam, bahkan kepada non-muslim juga. Sehingga di masa itu, Islam mengalami keharmonisan yang baik dengan orang-orang non-muslim dan penganut sekte lain di wilayah kota Kairo saat itu.
Sebelum masuk mengenai toleransinya, sedikit disampaikan tentang Dinasti Fatimiyah ini. Dinasti ini didirikan oleh Abu Abdillah, setelah ia bersama pasukannya berhasil mengalahkan Ziyadatullah III (penguasa Dinasti Aghlabiyah), ia memproklamirkan dirinya sebagai Sultan pertama Dinasti Fatimiyah pada tahun 909 M di Qairawan (Tunisia), dengan gelar Ubaydillah Al-Mahdiy.
Setelah berhasil mengalahkan Aghlabiyah, Ubaidillah bersama pasukannya berhasil juga menguasai wilayahnya, mulai dari perbatasan Mesir sampai provinsi Fez di Maroko.
Ubaidillah al-Mahdi wafat tahun 934 M, digantikan oleh anaknya Abu al-Qosim yang berhasil merebut wilayah Genoa. Setelah Abu al-Qosim wafat, kemudian digantikan oleh anaknya bernama Al-Manshur pada 946 M, yang ditangannya berhasil menumpas kekuasaan Abu Yazid Makad di Mesir. Setelah kewafatan Al-Manshur kemudian digantikan oleh anaknya bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar Mu’iz li Dinillah.(Fatmawati, 2010, p. 412)
Pada masa awal pemerintahannya, Abu Tamim Ma’ad berhasil menaklukkan Maroko dan Sisilia. Abu Tamim memiliki seorang panglima perang yang handal bernama Jauhar Al-Siqiliy pada tahun 965 M. Panglima itu ditugaskan untuk menguasai sekaligus berhasil menaklukkan Mesir yang menjadi pusat Islam saat itu. Kemudian hari Jauhar Al-Siqiliy mendirikan sebuah kota baru bernama Al-Qahirah, yang sekarang namanya Kairo dengan arti yang Berjaya.
Setelah pembentukan tata kota tersebut, Khalifah al-Muiz datang ke Mesir pada tahun 973 Masehi, ia juga memindahkan pusat pemerintahan Fatimiyah ke al-Qahirah. Setelah pemerintahan berada di Mesir, Dinasti Fathimiyah terus-menerus melakukan upaya memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina, Syiria. Bahkan, mereka mampu mengambil peniagaan atas tempat-tempat suci di Hijaz.
Praktik Toleransi
Khalifah Muiz sangat gigih meningkatkan keamanan masyarakat dan menundukkan sebagian para penganut Sunni yang membangkang serta membuat sistem pemerintahan yang baik dan teratur. Selain itu pula, terkait hubungan antara pemerintah dengan pembayar pajak terus ditingkatkan. Ditambah lagi dengan mengadakan toleransi yang mantap dengan komunitas non-muslim dari kalangan Yahudi maupun Nasrani. Sehingga mereka pun mengakui keberadaan Dinasti Fatimiyah.(Fatmawati, 2010, p. 413)
Pemahaman Syi’ah pada masa Dinasti Fatimiyah sangat kental. Ini dapat dilihat dalam kebijakan politik kenegeraan, mereka menguatkan pendapat yang sesuai dengan Mazhab Syi’ah. Mendahulukan pengalaman agama dengan mengikut pendapat para imamnya dari pada imam Sunni, walaupun kebanyakan penduduk Mesir saat itu bermazhab Sunni. Mu’iz li Dinillah juga mendirikan masing-masing dua lembaga peradilan khusus untuk Mazhab Sunni dan Mazhab Syi’ah. (Darmawati, 2015, p. 56)
Mu’iz li Dinillah dan Nizar al-‘Aziz Bi-llah dikenal sebagai dua orang khalifah Dinasti Fatimiyah yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan menerapkan secara maksimal nilai-nilai toleransi serta sangat dijunjung tinggi semasa pemerintahan keduanya.
Keteladanan Khalifah Dinasti Fatimiyah
Penempatan seseorang pada jabatan kekuasaan bukan karena ikatan emosional, agama maupun kesukuan. Melainkan pada kecakapan dan kemampuan mereka dalam memangku jabatan tersebut.
Jabatan diberikan kepada non-Muslim dari kalangan Kristen dan Yahudi, mereka mendapatkan jabatan tinggi dalam jajaran birokrasi. Seperti halnya saat pengangkatan ‘Isa yang beragama Kristen dan Ya’qub seorang Yahudi yang masuk Islam menjadi salah satu menteri atau wazir bagi al-‘Aziz.
Kemudian Abu al-Fath al-Mansur seorang Kristen sebagai dokter pribadi khalifah dan anaknya. Demikian pula pada masa al-Muntanshir dan seterusnya, bisa dikatakan orang-orang non-Muslim hidup penuh kedamaian dan kemakmuran.
Ya’qub bin Killis termasuk orang yang menyarankan kepada Al-Azis, agar Jami’ Al-Azhar difungsikan sebagai universitas Agama pada tahun 970 Masehi di Kairo. Khalifah Al-Azis juga mengangkat dan mengendalikan para hakim dalam menangani berbagai masalah kriminal dan persengketaan, dengan berbagai terobosan itu, maka khilafah mengalami kemajuan sehingga Dinasti Fathimiyah mencapai puncak kegemilangannya.(Fatmawati, 2010, p. 414)
Adapun sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh non-Muslim Kopti. Gebrakan dari pemerintahan hingga ikut serta dalam memperbaiki gereja-gereja, dan pemeluk Kristen banyak ditempatkan di pos-pos strategis dalam pemerintahan.
Tidak Ada Paksaan
Hal ini memperlihatkan gambaran kebesaran hati para khalifah dalam memberikan pandangan terkait perbedaan dan tingginya nilai-nilai toleransi yang diterapkan dalam sistem sosial keagamaan negara.
Walaupun Dinasti Fatimiyah menjadikan Syi’ah Isma’iliyah sebagai mazhab bagi dinastinya dan ia juga bersungguh-sungguh menerapkannya dalam kehidupan, hebatnya mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk ikut golongan mereka.
Hal tersebut hingga sangat memberikan dampak terhadap kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat dan negara serta kehidupan sosial yang rukun dan damai. Bahkan lebih dari itu, Dinasti Fatimiyah mampu melebarkan teritorialnya hingga ke bagian Laut Mediterranian, yakni menaklukan Pulau Sicilia dan sekitarnya.
Editor: Saleh