Mungkin sebagian dari kita masih asing atau belum pernah mendengar yang namanya toxic relationship. Atau justru ada di antara kita yang sudah pernah mengalaminya tanpa mengetahui bahwa itu adalah toxic relationship. Lalu apa sebenarnya toxic relationship itu? Dan apakah semua stigma yang melekat padanya itu benar?
Toxic Relationship?
Disadari atau tidak, selama ini telah terjadi bias gender pada pengangkatan sebuah isu dalam hubungan. Isu-isu yang mirip dengan drama picisan, dimana ada satu pihak yang menyakiti pihak lain karena keinginan, dan yang satunya rela tersakiti atas nama perasaan.
Pasti hal itu banyak kita temukan, entah itu pada sinetron yang tayang di televisi berlogo ikan terbang, sampai di tulisan bertagar yang ada di instagram ataupun sosial media lainnya.
Semua polanya sama, penulis memaparkan nasib buruk yang dialami oleh satu pihak, lalu menggiring opini untuk menyalahkan pihak lainnya. Seolah-olah hanya satu pihak yang menjadi korban dan satunya adalah pelaku yang tak berperasaan.
Selain itu mungkin kita juga pernah mendengarkan curhatan teman mengenai toxicnya hubungan percintaan. Tak jarang setelah mendengar kisahnya, kita memilih berempati dan ikut-ikutan menyalahkan pasangan teman. Padahal kita tidak merasakan hubungan mereka, namun kita terburu-buru memiliki prasangka buruk kepada pihak lainnya.
Hati-hati, jangan gegabah mengambil kesimpulan, bisa jadi teman yang curhat itu hanya mencari pembenaran. Ya, tipe-tipe orang yang suka mencari kambing hitam ketika mengalami nasib malang.
Untuk mengurai benang kusut ini, kita harus tahu dulu apa itu toxic relationship dan apa saja macam-macamnya. Dalam pengertiannya, toxic relationship adalah hubungan yang tidak menyenangkan untuk diri sendiri atau pun untuk pasangan.
Stigma Menyudutkan Laki-Laki
Coba tebak, kira-kira siapa yang sering tersudutkan dari kejadian tadi? Benar, laki-laki. Entah disadari atau tidak, ada sebuah stigma di masyarakat yang mana laki-laki selalu menjadi pihak yang disalahkan ketika terdapat toxic dalam hubungan. Bahkan jargon ‘perempuan selalu benar’ acap kali kita dengar.
Kenapa bisa demikian? Menurut hemat penulis setidaknya terdapat dua alasan yang membangun stigma tersebut: Pertama, sebagaimana hasil penelitian di University of Maryland School of Medicine, perempuan lebih suka bercerita, terlebih soal hubungan jika dibandingkan dengan laki-laki.
Hanya saja, tak jarang perempuan bercerita dengan sedikit melebihkan-lebihkan untuk mencari pembelaan. Menjadi semakin lengkap jika yang mendengar cerita terlalu cepat menarik kesimpulan.
Kedua, kebanyakan yang digoreng dalam toxic relationship adalah topik kekerasan atau pelecehan yang mana pelaku laki-laki diyakini lebih banyak daripada pelaku perempuan.
Sebelum kita melanjutkan pembahasan, penulis ingin sampaikan disclaimer terlebih dahulu. Penulis tidak memiliki maksud untuk menyudutkan perempuan. Tapi, mari kita memandang suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang.
Mau sampai kapan menggambarkan laki-laki sebagai pemicu toxic dalam hubungan? Lantas jika memang seperti itu, apa peran perempuan di dalam suatu hubungan?
Toxic dalam Hubungan
Toxic relationship ini bentuknya bisa apa saja, dimulai dari buruknya komunikasi verbal hingga tidak sehatnya interaksi fisik atau badan. Jadi, jika kita menganggap toxic relationship hanya sebatas pada kekerasan fisik atau hal-hal yang berbau eksploitasi seksual, maka kita perlu mengupgrade pemahaman.
Hal ini dibahas dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Robert Levenson dari University of Washington dan John Gottman dari Gottman Institute yang meneliti tentang perilaku toxic dalam hubungan pernikahan.
Disebutkan, setidaknya jika terdapat empat hal dalam sebuah hubungan bisa dipastikan hubungan itu toxic dan pasti berujung pada perpisahan. Empat hal tersebut adalah kritik, defensif (bertahan diri atau saling menyalahkan), penghinaan, dan stonewalling (cuek atau tidak peduli dengan pasangan).
Untuk poin ketiga, yaitu penghinaan menjadi determinan utama yang menentukan hancurnya sebuah hubungan. Wajar, secara natural manusia adalah makhluk yang membutuhkan penghargaan.
Ketika orang yang kita percaya untuk berbagi rasa malah menghina, bisa dibayangkan betapa sakitnya. Hubungan yang harusnya bersifat resiprokal dalam memberi kabahagiaan, malah menjadi sumber ketidaknyamanan.
Ini menunjukkan bahwasanya perilaku toxic lain di luar kekerasan fisik dan seksual jangan sampai diabaikan. Nyatanya, menurut Dr. Sheri Jacobson pendiri Harley Therapy, hal-hal di atas dan ditambah beberapa contoh lain, seperti posesif, cemburu buta, perselingkuhan, pelecehan verbal, tindakan manipulatif, dan masih banyak lagi dapat menyebabkan luka mental terhadap seseorang.
Tentu saja luka mental tidak kalah berbahaya dari luka fisik akibat pukulan atau tamparan. Dan kabar buruknya, adalah tidak hanya laki-laki yang melakukan tindakan-tindakan itu, tetapi juga perempuan. Memang bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal maupun emosional.
Subjek dalam Hubungan
Hal yang ingin penulis katakan adalah dalam sebuah hubungan, ketika terjadi masalah maka yang berkontribusi adalah kedua belah pihak. Semua memiliki andil dalam memicu permasalahan, sehingga tidak bisa menyalahkan satu pihak saja.
Berlebihan rasanya ketika kita memberi stigma bahwa laki-laki selalu salah dalam hubungan. Sama seperti perempuan yang tidak bisa digeneralisir sebagai makhluk yang baperan, begitu juga tidak semua laki-laki melakukan kekerasan.
Hanya karena saat ini kita masih bergumul dengan otak-otak patriarki, bukan berarti dalam penyelesainnya kita mengikuti gaya berpikir mereka yang melakukan genaralisir semua keadaan dan selalu mencari pembenaran.
Sadarkah kita, ketika tanggung jawab ada tidaknya perilaku toxic hanya dibebankan kepada laki-laki, secara tidak langsung kita telah menempatkan laki-laki sebagai subjek, dan perempuan sebagai objek dalam hubungan.
Seolah perempuan tidak memiliki peran dalam membangun hubungan yang lebih sehat. Seolah perempuan tidak memiliki peran untuk mencegah terjadinya interaksi yang mengakibatkan mental sekarat.
Maka, sedikit mengutip dari tulisan Faqihudin Abdul Qadir dalam bukunya Qira’ah Mubadallah, bahwa untuk mengatur relasi laki-laki dan perempuan dalam segala aspek membutuhkan yang namanya kerjasama, tak terkecuali dalam mengatur hubungan percintaan.
Bertanggung Jawab
Dalam sebuah hubungan yang sehat terdapat rasa saling menghormati dan kemampuan untuk berbagi perasaan tanpa rasa takut akan dikritik atau dipermalukan. Jadi, siapapun kita, baik laki-laki maupun perempuan, jika memiliki hubungan yang tidak sehat, keduanya harus sadar diri untuk melakukan perbaikan.
Ketika sudah diperbaiki tapi masih ada kekerasan bahkan perselingkuhan, berarti tidak ada kata lain selain perpisahan. Hanya saja kurangi kebiasaan menyalahkan pasangan atas nasib buruk yang menimpa hubungan.
Karena setelah semuanya, berhubungan dengan dia yang bahkan telah menyakiti kita adalah sebuah pilihan. Maka, cobalah bertanggung jawab pada pilihan yang telah kita putuskan sehingga kedepannya bisa lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan.
Sejatinya, bila kita telah berani membangun dan menjalani sebuah hubungan, itu artinya kita juga harus sudah berani untuk mempertanggung jawabkan apa yang akan terjadi.
Editor: Rifqy N.A./Nabhan