“Perpustakaan adalah tempat untuk memenuhi dahaga ilmu pengetahuan”, begitulah kata KH. Abdurrahman Wahid, Walter Cronkte juga pernah mengungkapkan, “Berapapun harga perpustakaan kita, harganya murah daripada bangsa yang bodoh” bahkan ada sebuah maqolah yang entah diucapkan oleh siapa namun sangat indah untuk didengar, ungkapan tersebut berbunyi “Perpustakaan adalah tempat yang unik, dimana orang-orang menutup mulut dan membuka pikirannya”. Rasanya semua tokoh intelektual gemar dan akrab dengan tempat berkumpulnya buku-buku.
Tentang Perpustakaan Alexandria
Berbincang mengenai perpustakaan, Prof. Ahmad Syafi’i Maarif atau yang dikenal dengan sapaan Buya Syafi’i Maarif pernah bercerita tentang sebuah perpustakaan megah penyumbang manuskrip terbesar di dunia bernama perpustakaan Alexandria. Perpustakaan yang telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan pada masa Mesir Kuno.
Hal ini senada dengan ungkapan Fernando Baez yang mengungkapkan bahwa Perpustakaan Alexandria bukan hanya sekedar penyimpan manuskrip. Namun ternyata juga tempat yang selalu ramai akan diskusi dan ceramah para intelektual di zamannya. Bahkan tempat itu dijuluki sebagai sangkar para Dewi Inspirasi.
Pada kenyataannya, perpustakaan terbesar ini adalah salah satu keajaiban dunia kuno yang dirintis pada masa Helenistik dan Kosmopolitan oleh Kaisar Alexander Agung (356-323 SM) sang penakluk Mesopotamia yang berhasil menyebarkan budaya Yunani ke seluruh dunia. Raja tersebut merupakan murid dari Aristoteles (384-322) seorang filsuf terkemuka Yunani.
Rintisan perpustakaan tersebut dilanjutkan oleh penerus Alexander (Dementrius Phalerius) atau Ptolemous I dan berhasil memindahkan kota Alexandria sebagai ibu kota Mesir, pada Ptoleneus II (282-246 SM) barulah perpustakaan Alexandria dibangun dan sebagai pusat untuk mencari informasi melalui literasi (buku dan teks) dan juga pusat pembelajaran di Mediterania dan sekitarnya.
Di tangannya, perpustakaan Alexandria mengalami puncak kejayaan dikarenakan kedekatannya dengan negarawan yang berasal dari Athena. Ia bernama Demetrius Phaleron, seorang menjadikan proyek penambahan manuskrip di perpustakaan sekaligus penerjemahan dan penelitian telah berkembang pesat.
Hal ini merupakan proyek prestisius yang dilakukan terhadap perpustakaan Alexandria. Sebab, mereka telah melibatkan sebanyak 72 juru tulis Yahudi untuk menerjemahkan bahasa-bahasa tua seperti manuskrip-manuskrip tua ke kuno dan ke bahasa Yunani. Termasuk penerjemahan kitab Taurat dari Bahasa Ibrani ke Bahasa Yunani.
***
Dalam Encyclopedia Britannica diceritakan bahwa Alexander juga sangat bersemangat untuk mengeksplorasi dan mengumpulkan berbagai literasi dan haus akan ilmu pengetahuan. Sehingga perpustakaan Alexandria sangat berpengaruh bagi era Helenistik. Patut diketahui, untuk mengumpulkan salinan dari setiap buku berharga di dunia bukanlah tugas kecil dan mudah untuk dilakukan.
Perpustakaan tersebut memuat hampir 1000.000 dokumen penting dalam sejarah Yunani, Persia, India, Mesir hingga peradaban lainnya. Berbagai macam kategori buku yang terdapat di sana. Mulai dari puisi, sejarah, retorika hukum, kedokteran, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain sebagainya.
Di masa Ptolomeus III, mereka berhasil mengumpulkan salinan manuskrip dari belahan dunia. Hal ini dikarenakan posisi Alexandria adalah pusat bagi kapal yang melalui Mediterania. Kelicikan Ptolomeus dalam menetapkan kebijakan untuk setiap kapal yang singgah agar menyerahkan buku dan disalin. Namun ternyata Ptolomeus justru menyimpan manuskrip asli dan mengembalikan yang berupa salinan ke kapal.
Polemik Terbakarnya Perpustakaan Alexandria
Namun nahasnya, perpustakaan agung yang menjadi lumbung pengetahuan di era kuno kini telah tidak ada jejaknya. Sebuah tragedi pembakaran perpustakaan ini beserta manuskripnya yang hingga kini masih belum diketahui penyebabnya. Para sejarawan berselisih paham tentang peristiwa yang memilukan jagad literasi ini.
Terdapat dua teori yang menjelaskan akan siapa yang pemegang bola api yang menyebabkan terbakarnya perputsakaan Alexandria, di antaranya:
Teori pertama, dari Ancient History of Encyclopedia yang menyatakan bahwa terbakarnya perpustakaan Alexandria adalah oleh Julius Caessar yang terperangkap di kerajaan karena kapal-kapal Mesir menghalangi jalan keluar di pelabuhan. Lalu kemudian Cessar memerintahkan anak buahnya untuk membakar kapal-kapal tersebut. Alih-alih ingin membakar kapal-kapal di dermaga, tetapi api tidak terkendali dan membakar beberapa bangunan di dekat pantai, salah satunya adalah perpustakaan Alexandria.
Teori kedua, mengatakan bahwa yang bertanggung jawab akan peristiwa tersebut adalah umat Islam. Pasalnya, pada saat itu telah beredar rumor pada saat Perang Salib I (1096-1270) yang berawal dari cerita seorang uskup agung Gereja Suryani bersama Gergorius Caronus (dalam literatur arab dikenal dengan Ibnu ‘Abari atau Abul Faraj al-Malathiyi) yang tertuang dalam bukunya dengan judul Tarikhud Duwwal yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris The History of Dynasties dan didukung oleh para cendekiawan Muslim seperti Ibnu Khaldun.
***
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa terbakarnya perpustakaan Alexandria berawal dari pasukan Amr bin Ash yang telah berhasil menaklukkan wilayah Mesir pada 641 M dan hendak memasuki Alexandria, lalu Amr bin Ash dimintai tolong oleh seroang Cendekiawan Neoplatonism yang bernama Johannes Philoponus untuk menyelamatkan jutaan manuskrip berharga yang ada dalam perpustakaan, merasa bukan wewenangnya, Amr bin Ash berinisiatif untuk menghubungi Khalifah Umar bin Khattab dan atas perintah juga isyarah dari sang Khalifah agar perpustakaan tersebut dibakar pada tahun 640 M.
Adapun alasan dibakarnya perpustakaan Alexandria, menurut Ibnu Khaldun adalah karena umat Islam sudah memiliki kitab yang jauh lebih lengkap petunjuknya. Begitupun apabila buku-buku tersebut berisi ilmu yang menyesatkan, maka umat Islam tidak membutuhkan itu.
Sanggahan Barat Atas Teori di Atas
Namun teori ini banyak dibantah oleh orang Barat, karena kisah tersebut muncul ratusan tahun setelah peristiwa tersebut terjadi. Pun penulis dari cerita tersebut adalah seorang Kristen Suriah yang memiliki motivasi untuk mencoreng nama khalifah Muslim pada saat itu.
Teori tersebut dicurigai setelah kemunculan sejarawan Edward Gibbon (1737-1794) dalam karyanya yang berjudul Decline Fall of the Roman Empire Ed. IX (Jatuhnya Kekaisaran Romawi Jilid ke-9) Gibbon mengatakan, bahwa isu pembakaran manuskrip di perpustakaan Alexandria itu adalah strategi politik kubu Kristen Barat untuk menjelek-jelekkan Kubu Arab Islam. Selain itu, ia mengungkapkan bahwa ceita campur tangan Khalifah Islam dalam peristiwa terbakarnya perpustakaan Alexandria dinilai cukup fiktif dan mendapat kritikan berulang kali.
Belum Diketahui Pasti Sebab Musnahnya Perpustakaan Alexandria
Para cendekiawan Barat juga menggali sebab musabab dari musnahnya perpustakaan Alexandria. Menurut Le Bone seorang sejarawan dari Prancis berpendapat dalam bukunya bahwa tokoh Johanes Philoponus memang ada, namun ia hidup di masa sebelumnya dan merupakan uskup radikal yang hidup sampai pada masa kekuasaan kaisar Justinianus (518-565) sedangkan teori pembakaran perpustakaan oleh pasukan Amr bin Ash terjadi pada tahun 640 M.
Sebuah ungkapan dari La Bone yang termaktub dalam bukunya yang berjudul La Civilisation des Arabes (Peradaban Orang-Orang Arab) “Bagaimana bisa tokoh yang telah lama dalam perut bumi diceritakan bersahabat baik dengan Amr bi Ash pasca penaklukan bandar di 641 M. itu?”
Hingga kini, banyak teori-teori yang bermunculan dan sayangnya para arkeolog belum mampu meneliti lebih lanjut tentang misteri hilangnya perpustakaan Alexandria. Ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya meneliti hal tersebut, di antaranya adalah sisa-sisa peninggalan Alexandria yang belum ditemukan ditambah kondisi iklim yang tidak mendukung untuk melestarikan bahan organik.
Editor: Soleh