Perspektif

“Tuna Wisma” di Rumah Sendiri

4 Mins read

Oleh: Irvan Shaifullah

Beberapa hari setelah diluncurkan, film NKCTHI (Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini) meledak di pasaran. Tidak hanya dalam segi jumlah penonton, saya melihat ada semacam ‘ruang baru’ yang diciptakan oleh anak anak muda milenial tentang kerangka keluarga. Saya melihat quote-quote ‘spekta’ dalam buku karya Marcella FP dan juga film garapan Angga Dwi S itu merajai lini masa media sosial. Simpel, menusuk, dan menyadarkan. Dan akhirnya kita menyadari bahwa ada permasalahan baru yang terjadi di tengah-tengah peradaban modern.

Hal itu ditandai dengan ketidakterbukaannya keluarga dalam proses dialog, pengambilan keputusan hanya dari satu pihak dan ada privasi serta pilihan hidup yang diatur sedemikian rumit. Termasuk urusan menikah dan memilih teman. Sehingga pola hidup yang sekarang membentuk kita menjadi lebih ‘instan’ ini, membuat beberapa anak muda kaget bukan kepalang, mereka berontak dan memilih ruangnya sendiri. Padahal beda masa, saat orang muda ‘dulu’ dengan anak muda sekarang dalam mengambil sikap, kecuali beberapa hal yang bersifat prinsip dan mendasar.

Ruang baru itu, mengakibatkan banyak keresahan. Salah satunya beberapa akan mengarah kepada perselingkuhan atau strees berkepanjangan yang didapat anak dan mengarah kepada bunuh diri.

Tuna Wisma

Sebenarnya analisis itu pernah diungkapkan oleh Peter L Berger saat melakukan pengamatan dengan melihat modernisasi sebagai keterasingan dalam pikiran dan hidup manusia yang menyebabkan manusia modern tidak berdaya. Dalam dunia yang sangat komplek ini mereka menjadi “tuna wisma” atau “homeless of mind”.

Permasalahan keluarga yang dilandasi berbagai macam perbedaan latar belakang dan ketidakmampuan menyatukan berbagai macam kebebasan yang ada dalam keluarga dan pengaruh dari luar. Industrialisasi yang mengkooptasi, menjadikan anggota keluarga mencari ruang baru yang dimaknai keluarga. Ruang baru itu bisa berupa ruang publik yang menggunakan simbol-simbol tertentu sebagai bentuk ikatan keluarga.

“Rumah dunia” dalam bahasa Berger tersebut merupakan ruang yang sangat intim menyatukan seluruh anggota keluarga yang ada didalamnya. Bentuknya beraneka ragam, salah satu dari mereka menyebutnya sebagai keluarga baru yang memiliki persamaan pandangan dan ideologi. Dan keluarga menjadi nomor sekian dari transfer nilai maupun norma yang seharusnya menjadi peran sentralnya.  

Baca Juga  Mudik dalam Tafsir Psikologis-Historis

Fakta yang diungkapkan oleh Berger tersebut menunjukan bahwa keluarga inti memiliki arti penting dalam masyarakat modern. Keluarga dengan berbagai macam fungsinya menjadi sarana transfer nilai dan norma, yang pada akhirnya tidak ada pemisahan antara keluarga dan komunitas sosial.

Hubungan dan ikatan emosional yang terbangun dalam keluarga menjadi bagian pembentuk nilai dan norma dalam komunitas, masyarakat dan negara. Individu yang baik akan membentuk keluarga yang baik, keluarga yang baik akan membangun masyarakat dan negaranya menjadi baik

Pentingnya Keluarga

Keluarga, sebagaimana manusia mengalami perubahan dari masa ke masa alias tidak tetap dan berkembang terus menerus. Baik tipe, bentuk, struktur dan kelembagaan keluarga yang ada saat ini merupakan bagian dari hasil proses yang panjang perkembangan peradaban manusia dari waktu ke waktu. Menyesuaikan zamannya dan  tidak muncul dengan sendirinya secara tiba tiba.

Dalam teori pada masa berburu dan meramu, struktur keluarga memiliki perbedaan dengan pertanian yang menetap atau nomaden, pra-modern dan modern. Mengapa hal itu terjadi? Sebab orientasi dan karakteristik keluarga akan sangat berbeda dan mengikuti perkembangan pola pikir, teknologi, sains, dan kemajuan kemajuan yang dibuat oleh manusia sebagai bagian dari keluarga.

Pada masa modern, masyarakat dikenal mengalami proses modernisasi. Modernisasi sendiri didefiniskan menjadi bagian tertentu, yaitu proses perubahan dalam masyarakat berteknologi industrial maju, dengan model dan contohnya adalah masyarakat Eropa Barat dan Amerika.

Menurut M.J Levy (1967), modernisasi berhubungan dengan perkembamgan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Peradaban manusia yang tinggi ditandai dengan penggunaan alat/teknologi. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, Lektor Kepala Sosiologi dan Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, gaya hidup modern diartikan sebagai sebuah perubahan secara sosial yang sebelumnya telah tersusun dan terencana sebelumnya.

Baca Juga  Kepak Sayap Pencerahan: Menyambut Hadirnya UMAM

Wilbert E. Moore mengemukakan pendapatnya bahwa proses modernisasi diartikan sebagai transformasi total ko-eksistensi tradisional atau pramodern dalam hal teknologi dan organisasi sosial terhadap pola ekonomi dan politik yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil. Tapi, modernisasi sebenarnya tidak hanya tentang tekhnologi saja, selain itu ada perdaban baru yang sedang dijalani atau sudah dicapai manusia pada zaman itu.

Neil J Smelser (1973) menegaskan bahwa modernisasi memang tidak hanya berkaitan dengan pengembangan teknologi semata, akan tetapi berhubungan dengan “economic development” dengan cangkupan/scope yang lebih komprehensif  seperti adanya perubahan teknologi,ekonomi, ekologi, struktur sosial dan budaya yang menyangkut perubahan besar dalam political sphere, educational sphere, religious sphere, familial sphere, dan stratificational sphere.

Evolusi Keluarga

Masyarakat modern dengan berbagai pengertian dan definisi yang luas tersebut didukung oleh perpaduan antara teori dan struktural peran/fungsional, yang beranggapan bahwa masyarakat ibarat satu tubuh organisme yang berupaya menjaga keseimbangan fungsi serta perannya dengan membuat diferensiasi fungsi untuk menjaga kestabilan struktur dalam masyarakat. Dengan demikian keluarga dapat diartikan sebagai satu kesatuan perbedaan fungsi anggota keluarga. Perkembangan teknologi dan kegiatan ekonomi menjadi makna yang menghasilkan definisi keluarga yang baik.

Dalam kajiannya, Goode menegaskan bahwa keluarga adalah salah satu variabel dipenden yang keberadaannya dipengaruhi oleh berbagai macam fenomena sosial. Fenomena dari luar yang erat kaitannya dengan modernisasi, meliputi industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi serta akibat akibat yang ditimbulkannya.

Industrialisasi membutuhkan efisiensi dan kecepatan dalam rangka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Kemudian mempengaruhi bahkan menggeser bentuk-bentuk keluarga pada masa agraris dan pra modern.

Hal itu ditandai dengan munculnya keluarga yang lebih kecil (nuclear family) yang mengantikan keluarga besar (extended family). Keluarga kecil biasanya ditandai dengan perilaku; bebas memilih pasangan hidup, bebas memilih lapangan pekerjaan, lebih mementingkan kesejahteraan individu daripada keluarga (extended family) serta lebih saling menghargai. Pengambilan keputusan tidak didekte dari satu arah disertai adanya kesetaraan antara suami dan istri. Hal itu diakibatkan dari pertumbuhan industri dan ekonomi yang membentuk kelurga tersebut menjadi demikian.

Baca Juga  Islam Turut Mewarnai Lokalitas Budaya di Afrika dan Cina

Teladan Rasulullah

Permasalahan dan fenomena diatas seharusnya membuat kita berkaca kembali. Sudahkah keluarga mampu menjadi ruang dialog antara satu anggota dengan anggota lain? Satu sama lain tidak saling tumpang tindih dan cuci tangan, berbagi peran sentral dan melengkapi satu sama lain. Atau malah tidak ada ruang dialog sama sekali?

Panduan Rasulullah jelas sekali dalam mencontohkan hidup berkeluarga. Dalam berumah tangga, betapa Rasulullah sangat menghargai dan memuliakan istrinya. “Sebaik-baiknya kamu adalah yang terbaik kepada istrimu,” ungkapan ini menunjukkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah kepada istrinya.

Meskipun berposisi sebagai kepala rumah tangga, Rasulullah tidak pernah merepotkan istri dan anak-anaknya. Rasul, tidak malu menjahit sendiri pakaiannya yang robek, membetulkan sandalnya yang rusak, dan mengerjakan pekerjaannya sendiri tanpa menyusahkan istrinya. Bahkan, menurut riwayat, Rasulullah tidak segan membantu keperluan istrinya.

Rasulullah pernah pulang dari masjid dan istrinya Aisyah sedang tidur terlelap. Rasulullah tidak marah-marah, menggedor-gedor pintu agar istrinya bangun. Dengan bijak, Rasulullah membiarkan istrinya istirahat dan Nabi memutuskan tidur di luar.

Riwayat lain mengisahkan, ketika Aisyah masak terlalu asin, Rasulullah tidak marah dan tetap menyanjung makanan buatan istrinya. Rasul tak berkomentar apa pun, ia tak menghabiskan makanan itu. Ini agar Aisyah merasakan makanan tersebut. Aisyah menyadari masakannya terlewat asin ketika mencoba sendiri. Begitu sopan santun Rasulullah menyampaikan kesalahan yang dilakukan istrinya.

***

Dialog perasaan tidak bisa diukur dalam angka matematis. Ia bisa jadi lebih dari itu, saling mengerti, saling menghargai, ikhlas, dan membuka ruang dialog menjadi kunci dalam membangun rumah tangga.

*) Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Perkaderan PDPM Lamongan dan Pengasuh di PA PP Al Mizan Lamongan

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *