Konsep Umat Tengah
Bulan Maret 2021 ini, cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (1939-2005), genap berusia 82 tahun. Semasa hidupnya, Cak Nur telah melahirkan sederet karya yang ia maksudkan untuk mengajak dan mendidikan masyarakat Indonesia—terutama umat muslim—untuk berpandangan terbuka, berpikir maju, bersikap modern, bertenggang rasa, berhati lapang, dan menghormati yang lain.
Dari serangkaian pemikirannya, gagasan tentang umat tengah—terjemahan dari frasa ummatan wasthan dalam Al-Qur’an—seringkali diulas dalam beberapa tulisannya. Selain sebagai firmat Allah, gagasan umat tengah juga penting diafirmasi umat muslim dalam bergaul dan menjalani kehidupan sosial bersama yang lain.
Tulisan ini dibuat sebagai khidmat terhadap Sang Guru Bangsa yang telah mewariskan pemikiran-pemikiran penting yang layak menjadi panduan umat muslim dalam beragama dan menjalani kehidupan bersama, sekaligus sebagai satu cara memperingati hari kelahiran Sang Lokomotif Pembaharuan Islam di Indonesia.
Menjadi Umat Tengah itu Penting
Menjadi Islam, sejatinya belajar untuk bersikap moderat dan seimbang dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam agama, tradisi, interaksi sehari-hari, dan pemikiran. Pandangan ini sejalan dengan firman Allah yang terjemahannya berbunyi, “Demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang berimbang (umat tengah—NM) supaya kamu menjadi saksi atas segenap bangsa, dan Rasul pun menjadi saksi atas kamu sendiri (Q 2/al-Baraqah: 143).
Dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2006) Budhy Munawar-Rachman mencatat, Nurcholish Madjid mengartikan ummatan wasatan sebagai umat tengah, yang mampu menempatkan diri secara sepadan dalam menilai orang lain, sehingga bisa melihatnya secara adil. Umat Islam di masa lampau, menurut catatan Cak Nur, telah dengan sangat baik menjalani “mission sacred” sebagai umat penengah (wasath) dan “saksi atas manusia” serta “saksi untuk Allah” yang adil, fair, objektif, dan hanīf (penuh kerinduan dan pemihakan kepada yang benar).
Frasa dalam Al-Qur’an inilah yang menjadi rujukan Cak Nur dan para pemikir muslim inklusif lainnya untuk menegaskan pentingnya berada di tengah-tengah, moderat, dan seimbang. Mufasir Al-Qur’an Muhammad Asad (1900-1992) dalam The Message of the Quran (Mizan, 2017, Jilid 1, h. 38) memaknai frasa ummatan wasathan sebagai umat pertengahan atau umat yang paling pertengahan, yakni “umat yang memelihara keseimbangan antara berbagai titik ekstrem dan bersikap realistis dalam mengapresiasi sifat dan kemungkinan yang dimiliki manusia, dengan menolak baik keduniawian maupun asketisme berlebihan.”
Sikap moderat dan seimbang sebenarnya berulang kali dianjurkan Al-Qur’an untuk diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, yakni agar manusia tidak terlalu menekankan aspek fisik dan materiil dalam kehidupan, tetapi di saat yang sama tidak mengingkari bahwa setiap manusia memiliki dorongan dan hasrat yang berhubungan dengan kehidupan jasmani yang merupakan kehendak Allah.
Dengan begitu, anugerah akal dan kebebasan yang dimiliki manusia menjadi instrumen yang mengarahkannya untuk bersikap moderat dan seimbang.
Umat Tengah: Ciri Khas Islam
Kini, bandul sejarah bergerak ke arah sebaliknya. Umat Islam Indonesia dikenal memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi—meskipun kerap bersilang pendapat seperti kisah polemik antara Soekarno dan Natsir menyangkut perumusan Dasar Negara Indonesia merdeka— sekarang sebagian dari mereka mulai menunjukkan sikap dan perilaku intoleran dalam arti sulit bersikap adil dan menghargai kelompok lain yang berbeda pandangan dan pemikiran.
Sebagian ruang publik sudah dikuasai oleh pikiran-pikiran fanatik dan konservatif. Ini nampak dari mudahnya seseorang melancarkan ujaran kebencian terhadap orang yang berbeda pandangan, atau gampangnya melabeli seseorang sebagai “kafir”, yang berarti telah keluar dari Islam, lantaran tak sepaham dalam menginterpresi satu pandangan.
Aroma kebencian begitu cepat menular hingga meluluhlantahkan fondasi-fondasi kekerabatan, pertemanan, hingga wilayah yang lebih luas persatuan antarwarga negara dan antarumat beragama.
Sebagian kalangan merasa paling benar dalam melihat dan menafsirkan fenomena yang dialaminya tanpa perlu melalukan tabayyun (klarifikasi) atas suatu masalah. Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat Islam yang mengharuskan umatnya mendalami dan mengerti suatu masalah dengan baik sebelum melontarkannya kepada orang lain.
Situasi seperti ini tentu merugikan umat Islam Indonesia sebagai penghuni terbesar negara ini. Sebagai yang terbesar, umat Islam harus mampu tampil menjadi pemersatu sekaligus penengah bagi setiap kelompok dan golongan di dalam Islam, bahkan bagi umat-umat lain di Indonesia.
Para pemuka agama dengan bersinergi bersama akademisi harus terus-menerus menghadirkan Islam yang ramah, terbuka, memiliki tenggang rasa tinggi, tanpa pernah lelah meskipun tantangannya kini semakin beragam.
Boleh jadi kita membenarkan suatu pendapat bahwa keretakan sosial yang belakangan terjadi di masyarakat dipicu oleh masalah-masalah politik dengan didukung oleh mudahnya sebagian umat Islam terpengaruh pandangan bernada kebencian terhadap yang lain tanpa memverifikasi menggunakan nalar. Perbedaan pandangan politik dan keyakinan seharusnya memperkaya khazanah pemikiran, bukan merusak dan melahirkan kebencian satu sama lain.
***
Adalah tugas para akademisi dan aktivis masyarakat sipil untuk terus-menerus menggemakan sikap moderat, tengah-tengah, dan seimbang dengan mengisi ruang-ruang publik—termasuk kampus dan ruang media sosial yang menjadi ajang pertarungan pemikiran—dengan pesan-pesan ramah, damai, toleran dan terbuka.
Dasar yang perlu disampaikan, tentu saja, bahwa agama apa pun mengajarkan dan menganjurkan pada pemeluknya untuk berbuat baik dan menciptakan harmoni di dalam masyarakat.
Sikap moderat dan seimbang merupakan ciri khas Islam, memancar langsung dari konsep keesaan Allah (Tauhīd) atau keinsafan mendalam akan hadirnya Tuhan, dan, karena itu, menjadi kesatuan tujuan yang mendasari seluruh ciptaan-Nya.
Muhammad Asad menegaskan, penyebutan ummatan wasathan di ayat ini merupakan pendahuluan yang tepat bagi tema Ka’bah, simbol keesaan Allah.
Ulasan Cak Nur
Gagasan berada di tengah-tengah, moderat, seimbang, merupakan frasa yang kerap diulas Cak Nur dalam beberapa karyanya, termasuk saat berbicara di forum-forum ilmiah, menunjukan betapa penting bagi umat muslim bersikap demikian.
Dalam satu karya yang kerap menjadi rujukan para peneliti, Islam Doktrin dan Peradaban (1992; 2019, 184), misalnya, Cak Nur mengurai frasa ummatan washatan sebagai konsep yang menunjukkan posisi umat yang tidak berat sebelah, berpandangan adil, proporsional, dan tidak berada pada satu ektrem tertentu. Dengan posisi demikian, Cak Nur umat muslim dapat memandang dan menyikapi segala perkara dengan adil, sehingga dapat menjadi teladan bagi seluruh manusia.
Pentingnya menjadi umat tengah, moderat, adil, dan seimbang harus digemakan terus-menerus agar kehidupan intra dan antarumat beragama berlangsung harmonis tanpa diganggu oleh sikap saling curiga dan membenci satu sama lain.