Mengapa ilmu filsafat penting untuk dipelajari? Untuk menjawab pertanyaan ini, baik kiranya perlu dijelaskan secara singkat apa itu filsafat. Hal ini penting agar ia tidak dipahami berdasar anggapan, stereotype semacam “jangan belajar filsafat, nanti jadi ateis”, dan lain sebagainya.
Pengertian Filsafat
Filsafat sendiri, selain secara leksikal (etimologi) berarti cinta kebijaksanaan, terminologinya sangat beragam. Bahkan, setiap filsuf dapat mendefinisikan filsafat sesuai pemaknaannya masing-masing. Misalnya Plato, penulis buku philosophical dialogues dan pendiri akademi platonik di Athena ini mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
Sedangkan menurut Aristoteles, filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Menurut Immanuel Kant, filsafat adalah (ilmu) pengetahuan, yang merupakan dasar dari semua pengetahuan dalam meliput isu-isu epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab pertanyaan tentang apa yang dapat kita ketahui. Al-Farabi menjelaskan filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang sifat bagaimana sifat sesungguhnya dari kebenaran.
Menurut Bertnan Russel, filsafat adalah kritik terhadap pengetahuan. Filsafat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari, dan mencari suatu ketidakselarasan yang terkandung dalam asas-asas itu. Filsafat adalah suatu yang terletak antara theologia dan ilmu pengetahuan yang terletak di antara dogma-dogma dan ilmu-ilmu eksakta.
Apabila kita merujuk pada bapak filsafat modern, Rene Descartes, maka filsafat sesungguhnya merupakan pemaksimalan fungsi akal (rasionalisme) dengan dasar meragukan terlebih dahulu sesuatu yang dapat diragukan.
Urgensi Filsafat di Zaman Modern
Modernisasi, di samping memiliki sejumlah kebaikan. Di sisi lain, memunculkan manusia kagetan. Yakni mereka yang menolak kebenaran lain, bagaimanapun bentuknya. Juga berdiam diri dalam status quo yang telah tertata. Fenomena ini bisa dipahami sebagai bentuk truth claim (klaim kebenaran).
Hasilnya hoaks, kekerasan, pembodohan, dan lain sebagainya merajalela. Stephen Colbert membahasakan akibat ini dengan post truth atau pasca kebenaran, yaitu buramnya fakta-fakta objektif dari mata masyarakat. Serta digantikan dengan semata emosi dan kepercayaan.
Disadari atau tidak, sejak akhir abad ke-19 kita telah hidup di zaman ini—modern. Sejak itu pula dunia berjalan dengan sangat cepat, manusia cepat tahu, cepat marah, cepat viral, cepat hilang, dan masalahnya, kebenaran sama sekali tidak mendapat tempat. Dus, kekacauan tumbuh subur dan berlipat ganda.
Bersama dengan ini, filsafat sesungguhnya menjadi sangat relevan—penting untuk dipelajari. Sebab dengan filsafat, kita belajar tentang kehati-hatian dalam berpikir dan bertindak, menelusuri kebenaran secara sistematis, dan bertanggung jawab seraya menampik segala yang buruk.
Apa yang Dilakukan STF Kristen?
Tentu yang dimaksud dengan STF bukanlah Sekolah Tinggi Farmasi, tapi Sekolah Tinggi Filsafat. Sebab, jika kita menggunakan mesin pencari (Google) untuk melacak dengan kata kunci STF Muhammadiyah, maka yang terlihat hanyalah Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang. Itu saja.
Nyaris, sekolah atau perguruan tinggi di Indonesia yang khusus membidani filsafat secara serius hanya digawangi oleh yayasan-yayasan Kristen. Antara lain, di Jakarta ada STF Driyakarya, STF Teologi Jakarta. Di Malang ada STF Teologi Widya Sasana, dan lain-lainya. Menariknya, STF memiliki tradisi yang beda dalam hal bagaimana mengelola pendidikan.
Sekolah Tinggi Filsafat sepertinya terdengar cukup samar di telinga masyarakat. Ia tidak terkenal di mata publik. Namun inilah yang berharga dari STF. Ia tidak mengejar ranking dan mencari popularitas. Boleh jadi itu semua hanyalah gimmick. Sudah jadi rahasia umum bahwa sematan world class university, kampus unggul, dan kawan-kawannya, adalah gelar berbayar dan tidak murah. Sertifikasi-sertifikasi model itu adalah bisnis. Bahkan, sebuah lembaga pendidikan harus membayar milyaran rupiah untuk masuk dalam perankingan semacam itu.
Sekolah Tinggi Filsafat memilih jalan sunyi. Fokus mendalami ilmu pengetahuan secara hati-hati. Tidak terganggu dan ikut sibuk, ribut dalam promosi-promosi lembaga secara berlebihan. Diakui atau tidak, saat ini sulit untuk kita memahami bedanya promosi produk sebuah korporasi dengan branding sebuah kampus.
Soal Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), Prof. Dr. Haedar Nashir dalam pidatonya di UM Purwokerto menandas, tugas PTM ke depan adalah mengembangkan riset institusi dan mencipta masyarakat ilmu. Secara sederhana dapat dipahami, riset institusi artinya sebagai lembaga pendidikan, pendalaman keilmuan dengan pendekatan penelitian harus dipacu secara serius. Proses pencarian kebenaran secara sistematis dan berkelanjutan sesungguhnya mustahil tanpa menempu iklim filsafat yang baik.
Masyarakat ilmu sebetulnya adalah cita-cita Islam. Bahkan khairu ummah (masyarakat utama), salah satu indikator utamanya adalah pemaksimalan alam pikiran umat itu sendiri. Bukankah Allah menempatkan derajat orang berilmu lebih tinggi dibandingkan yang lain (Surah al-Mujaddalah/58:11)?
Muhammadiyah Seharusnya Punya STF
Rupanya, secara umum ilmu filsafat tidak mendapat perhatian dalam desain pendidikan di Indonesia. Kurikulum nasional tidak mementingkannya sama sekali. Beberapa bidang studi di universitas sebagai contoh, hanya menaruh mata kuliah filsafat ilmu atau pengantar filsafat sekadarnya, itu pun tidak banyak.
Yang terjadi, nilai etis dan kearifan para cerdik pandai, juga kebudayaan nasional (ketimuran) tidak tergarap. Akibatnya, sejarah, ulama, sastrawan, dan pemikir, seolah berada dalam ruang hampa. Di tempat lain seperti Prancis dan Maroko, filsafat diajarkan di sekolah menengah. Mereka bermaksud secara dini melatih generasi untuk belajar sejarah bangsanya, sekaligus berpikir, mengajukan argumen dengan logis, bebas, dan bertanggung jawab.
Untuk meragukan gerakan Muhammadiyah, kiranya agak sulit. Kontribusinya di bidang pendidikan sudah teruji. Sebagai contoh, yayasan ini memiliki 167 perguruan tinggi. Namun, sayang tidak ada satu pun yang memiliki jurusan filsafat. Alih-alih berupa sekolah tinggi.
Kalau dilihat-lihat, sudah saatnya Muhammadiyah memiliki satu perguruan tinggi yang membidani jurusan filsafat secara spesifik. Kita beri saja nama STF Muhammadiyah misalnya. Dari sisi sumber daya manusia, Muhammadiyah sudah punya itu. Banyak guru besar di bidang ini berdarah Muhammadiyah dan hidup di kampus lain. Sebut saja Prof. Amin Abdullah, Prof. Syafig A. Mughni, Prof. Biyanto, dan masih banyak lagi.
Untuk mengawal kemajuan gerakan Muhammadiyah di bidang agama, pendidikan, kesehatan, sosial, dan politik, STF Muhammadiyah bisa menggelar jurusan Filsafat Agama, Filsafat Pendidikan, Filsafat Ekonomi, Filsafat Politik, dan seterusnya. Ini adalah kebutuhan.
Apa jadinya Muhammadiyah punya ribuan lembaga pendidikan, jika tidak memiliki ahli di bidang filsafat pendidikan misalkan? Lebih jauh, dalam hal serapan calon mahasiswa, tak perlu kuatir. Di internal persyarikatan saja, ada ribuan siswa di tingkat SMA/MA/SMK. Mereka bisa memilih jurusan ini. Di tingkat PTM/PTMA, mahasiswa tak kalah banyak. Peminatan magister dan doktor filsafat, saya kira juga tidak sedikit.
***
Urgensi pendalaman etika, nilai, dan metologi yang diampu filsafat dalam menjawab tantangan modernisasi, menjadi daya tawar utama. Kemajuan industri dan peradaban manusia harus terus dikawal agar tidak tercerabut dari substansi kemajuan, apa pun itu.
Sekali lagi, filsafat adalah hal yang penting dalam kehidupan. Dalam hal keilmuan, bahkan ia disebut sebagai mother of science, induk dari semua bidang ilmu. Muhammadiyah harus memulai, supaya segala kembangan bidang ilmu terapan yang berorientasi industrial dewasa ini tidak melupakan ibu yang melahirkannya.
Editor: Zahra