Wakaf Produktif – Wakaf merupakan bagian dari ibadah maliyah dalam ajaran Islam. Potensi wakaf, sama halnya dengan zakat, infak, dan sedekah dalam upaya mendorong kesejahteraan masyarakat. Dahulu, paradigma wakaf identik dengan aset yang berbentuk tanah yang selanjutnya dijadikan sarana ibadah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan.
Contoh nyata dalam pemanfaatan wakaf yang dikembangkan secara tradisional adalah pembangunan masjid, mushala, madrasah, pondok pesantren, pemakaman, dan lain-lain.
Paradigma yang demikian tentu tidaklah salah, akan tetapi jika merujuk kepada perkembangan teknologi informasi seperti saat ini, akan ada banyak sekali potensi-potensi wakaf yang dapat dikembangkan selain dari aset yang berbentuk tanah.
Secara konseptual, wakaf dinilai sebagai sebuah amalan jariyah, yakni amalan yang tidak akan terputus pahalanya walaupun orang yang berwakaf (muwakif) telah meninggal dunia. Konsep ini masih terbatas pada makna kata saja, akan tetapi secara praktik kesadaran masyarakat untuk berwakaf masih belum dapat dioptimalkan.
Beberapa Penyebab Orang-Orang Masih Enggan Wakaf
Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, pertama, tingkat kesadaran masyarakat masih minim seiring dengan minimnya literasi tentang wakaf itu sendiri. Faktor ini secara tidak langsung berkontribusi terhadap masih rendahnya wakaf (wakaf uang) yang terkumpul.
Data BWI per 20 Januari 2021, menyebutkan bahwa wakaf uang yang terkumpul baru Rp. 819,36 miliar dari potensi Rp. 180 triliun setiap tahunnya (bwi.go.id).
Kedua, minat penelitian dengan tema wakaf pun masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Sukmana (2020) menjelaskan bahwa sepanjang 15 tahun terakhir hampir tidak ada penelitian dengan tema wakaf yang diindeks scopus.
Ketiga, pengelolaan wakaf masih belum terintegrasi dengan baik. Nadzir wakaf cenderung mengelola tanah wakaf secara parsial, dan masih dikelola secara tradisional. Permasalahan lain yang muncul yaitu masih banyaknya aset wakaf yang belum tersertifikasi.
Sepanjang sejarah peradaban Islam Islam, wakaf memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung setiap program-program pemerintahan Islam saat itu.
Di Indonesia, wakaf telah ada sejak Islam masuk ke Nusantara, kemudiaan praktek kebermanfaatan wakaf mengalami perkembangan, seperti diperuntukkan bagi lembaga pendidikan, pelayanan sosial kesehatan, dan panti asuhan (Itang & Syakhabyatin, 2017).
Upaya Meningkatkan Produktivitas Wakaf
Untuk meningkatkan produktivitas aset-aset wakaf, maka MUI mendorongnya dengan dikeluarkannya fatwa wakaf uang. Fatwa tersebut menyebutkan tentang kebolehan berwakaf dengan uang, termasuk didalamnya surat-surat berharga.
Kemunculan fatwa wakaf uang ini, seolah menjadi wajah baru yang mendorong pemberdayaan wakaf agar lebih produktif. Ditambah dengan terus dipromosikannya wakaf melalui chanel-chanel yang mudah diakses oleh generasi milenial. Seperti berwakaf melalui marketplace, menjadi salah satu kemudahan untuk berwakaf dalam nominal yang kecil.
Menggali Potensi Wakaf Supaya Lebih Produktif
Dalam artikel ini penulis tidak ingin lebih panjang membahas fenomena wakaf uang yang umumnya telah banyak dipromosikan melalui banyak artikel. Namun, untuk menggali potensi wakaf di masyarakat, melalui tulisan ini, penulis cenderung melihat dari sudut pandang yang lebih kecil.
Pertama, Penguatan Badan Wakaf Indonesia (BWI) secara kelembagaan. Hal ini penting dilakukan. Pasalnya sepanjang pengetahuan penulis, di beberapa daerah peran BWI masih terbatas pada pendataan wakaf-wakaf yang telah tersertifikasi.
Sementara, aset wakaf yang belum tersertifikasi masih belum terdata secara rapi. Sehingga, pemberdayaannya pun belum dapat secara optimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Promosi wakaf oleh BWI masih belum seintensif promosi ZIS oleh Baznas. Baznas dalam mengintegrasikan dirinya bersama lembaga zakat lain diluar Baznas (LAZ) sangat masif, ditambah lagi dengan pengakuan di setiap pemerintah daerah yang mewajibkan seluruh ASN-nya untuk menyalurkan zakat profesi melalui Baznas.
Hal ini perlu juga dilakukan oleh BWI, yang bersinergi dengan pemerintah daerah mendorong ASN untuk berwakaf melalui BWI. Hemat penulis, BWI di daerah saat ini keberadaannya masih hanya sekedar formalitas.
Artinya, BWI saat ini seperti Baznas beberapa tahun ke belakang, yang notabene dikelola oleh para pensiunan yang mengabdikan diri untuk mengelola zakat sebagai amilin. Untuk itu, penguatan posisi strategis BWI sangat diperlukan. Diadakan rekrutmen secara profesional seperti halnya Baznas. Sehingga, akan menghasilkan pula nadzir-nadzir yang profesional.
***
Lembaga-lembaga pengelola wakaf, seperti ormas Islam, yayasan, ataupun perorangan masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini sebagai dampak dari keberadaan BWI daerah yang belum optimal, sehingga potensi-potensi wakaf yang besar pun tidak dapat digali dengan baik dan komprehensif.
Pengelolaan wakaf oleh lembaga-lembaga tersebut masih sebatas pengelolaan yang tradisional. Keterbatasan pengetahuan nadzir tentang pemberdayaan wakaf menjadi salah satu penyebab aset wakaf cenderung stagnan, tidak produktif.
Jika hal ini bisa diakomodir melalui komunikasi yang intensif antara BWI dan lembaga pengelola wakaf, tentu problem ini dapat diatasi. Artinya, pengelolaan wakaf dapat dilakukan lebih baik lagi, bahkan sangat dimungkinkan untuk terus berkembang.
Kedua, optimalisasi peran masjid dalam pemberdayaan dan pengelolaan wakaf. Biasanya masjid berdiri diatas tanah wakaf yang dikelola oleh nadzir perorangan, yang untuk memenuhi kegiatan operasionalnya baru sebatas memberdayakan zakat, infak dan sedekah (ZIS) dari jama’ahnya.
Dalam konteks penghimpunan ZIS, masjid setiap tahunnya diberdayakan oleh Baznas dengan ditunjuk secara langsung menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Hasilnya, penghimpunan dan pendistribusian zakat fitrah setiap tahunnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.
***
Begitu pula dengan promosi wakaf, masjid sangat potensial jika dijadikan sebagai salah satu bagian dari penghimpunan dan pendayagunaan wakaf. BWI di daerah bisa bekerjasama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) untuk mengoptimalkan program ini.
Masjid sangat penting untuk dilibatkan dalam program ini, sebab di masjid interaksi sosial melalui ritual ibadah terjalin dengan baik. Jama’ah harus digerakkan hatinya untuk menunaikan wakaf disamping menunaikan zakat, infak dan sedekah.
Dua hal ini yang menurut hemat penulis sangat perlu untuk dioptimalisasi. Potensi-potensi dalam skala mikro inilah yang justru akan sangat berkontribusi nyata dalam mendorong kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek, baik pendidikan, ibadah, dan sosial kemasyarakatan.
Editor: Yahya FR