Feature

Setiap Muslim pada Dasarnya adalah NU

2 Mins read

Ini tesis saya; setiap orang Islam pada dasarnya adalah NU, sebelum berubah menjadi Muhammadiyah, al Irsyad, Salafi, atau lainnya.

Menjadi NU itu mudah. Cukup hanya dengan membaca ushallii sebelum salat, baca Sayyidina saat tahiyat, baca qunut saat salat subuh dan Yasinan berkumpul bersama tetangga setiap malam Jumat. Hal mana dibilang tidak ada tuntunan dan tertolak karena ada indikasi bid’ah. Bagi saya, orang-orang NU itu memiliki kesabaran tingkat dewa, apalagi para ulamanya.

Berbagai kritik ditujukan pada tata cara amalan ibadah yang mereka lakukan dengan berbagai stigma, tidak membuat NU melemah. Malah justru berbalik memperkuat posisi NU sebagai jam’iyyah yang diterima luas. Sebagai model mainstream keberagamaan yang kenyal, dinamis, dan diterima oleh semua kalangan dan lapis masyarakat.

Meski dibilang bid’ah dan tidak dilakukan Nabi SAW, majelis zikir mereka penuh sesak. Ada puluhan bahkan ratusan ribu jamaaah dalam berbagai majelis. Ironisnya, majelis yang diisukan bid’ah ini, justru mengalahkan majelis-majelis yang mengklaim paling sunah sekalipun. Sebuah paradoks di tengah ambigu. Buah kesabaran NU cukup efektif.

Tidak tanggung-tanggung, ada puluhan bahkan ratusan amalan yang dituduhkan bid’ah, bahkan sampai pada tahapan musyrik. Tapi mereka tetap bersabar dan istikamah menjalankan tanpa surut. Saya patut pujikan dengan tulus.

Betapa sepinya ramadan tanpa kehadiran masjid-masjid NU yang istikamah. Di mana bacaan Al-Qur’an, salawat, dan penanda berbuka dan sahur, dikumandangkan riuh penuh ghirah. Masyarakat antusias menyambut dengan megengan, malem selikuran, malem songo, mbruwah membawa asahan berupa nasi dan kue yang dibawa rapi ke masjid dan musala terdekat sebagai tanda syukur.

Gaya Beragama NU

Fahri Ali menyebut bahwa ‘NU berhasil membumikan ajaran langit dalam bahasa sehari hari’. Sementara Prof Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa ‘ajaran Islam tumbuh berdampingan seiring sehaluan dengan tradisi’. Pada tahap ini, telah terjadi Islamisasi budaya dan adat yang dilakukan dengan teramat cerdas. Konsep Walisongo menjadi rujukan dan model ideal dalam dakwah, imbuhnya dalam sebuah riset tentang adat dan tradisi Islam sebagai media.

Baca Juga  Mamak: Kasih Ibu Melintas Batas

NU adalah jam’iyyah (keseluruhan umat) merepresentasi inklusifitas. Karena sifat gerakannya yang jam’iyyah, maka tradisi perbedaan adalah hal biasa. Orang NU biasa berbeda dalam hal cara dan soal-soal teknis. Imam Syafi’i ber-ikhtilaf dengan gurunya, Imam Malik, sebanyak 5. 679 kali. Dengan watak seperti itu, maka karakter NU adalah terbuka dan toleran pada setiap perbedaan dan ikhtilaf.

Paham keberagamaan NU tidak pernah membuat definisi rigid terhadap hal yang tidak i’tiqadi. Atas dasar itu, maka NU membuka ruang yang luas dan terbuka untuk berkreasi dalam cara beribadah secara inovatif terhadap yang bersifat ghairu mahdhah. NU justru kreatif membuat ‘bid’ah sosial’. Yang membikin cara beragama segar dan tidak monoton. Pendek kata, cara beragama NU itu kaya rasa dan kaya warna.

Cara beragama demikian, tentu melahirkan sikap inovatif dan sarat spiritualitas. Karena menggunakan tradisi dan adat sebagai alat atau media dakwah. Yang oleh sebagian yang lain, justru kerap dipertentangkan atau diberi stigma bid’ah atas dasar tiadanya tuntunan. Hal mana bagi NU tak perlu dalil, sebab ini hanya soal teknis yang tidak bersentuhan dengan ibadah generik yang  butuh otentisitas sebagai syarat diterimanya satu amalan.

Atas dasar inilah, maka setiap orang Islam pada dasarnya adalah NU, sebelum ia berubah. NU tidak mengubah apalagi melawan tradisi yang ada. Sebaliknya, menjadikanya sebagai alat atau media bahan dasar membangun peradaban Islam yang kenyal dan fleksibel.

.

Editor: Yahya Fathur R
Related posts
Feature

Air Kata Joko Pinurbo: Sebuah Obituari

4 Mins read
JOKO PINURBO bersedia tampil di acara “Wisata Sastra” di Jogja beberapa tahun lalu, dengan syarat: satu-dua nama penyair/cerpenis — yang ia duga…
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *