Tafsir

Amar Ma’ruf Nahi Munkar

2 Mins read

Di dalam al-Qur’an, istilah amr ma’ruf nahy munkar, seperti ya’murana bi al-maruf wa yanhawna ‘anil-munkar, ternyata secara berulang disebut secara utuh. Artinya tidak dipisahkan antara amr ma’ruf dan nahy munkar. 

Istilah itu berulang cukup banyak, 9 kali, sekalipun hanya dalam 5 surat. Yakni secara berurutan, al A’raf/7:157, Luqman/31:17, ali Imrán/3: 104, 110, dan 114, al-Hajj/22.103, al-Tawbah/9:67 , 71, dan 112. Sungguhpun begitu, yang seringkali dikutip adalah yang tercantum dalam surat Ali Imrån/3: 104 dan 110.

Penting untuk dicatat, bahwa kata ma’ruf sendiri, baik dalam rangkaian kata amr ma’ruf nahy munkar maupun yang berdiri sendiri, disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 39 kali. Sementara dalam 12 surat yaitu surat-surat: Al-Baqarah (15 ayat), Ali’ Imran (3 ayat), al-Nisa (6), al-A’rof (1), al-Tawbah (3), al-Hajj (1),al-Nur (1), Luqman (2), al-Ahzab (2), Muhammad (l7), al-Mumtahanah (1), dan at-Talaq (3). Kata ini memiliki arti harfiyah, tetapi untuk mengetahui makna yang sebenarnya, kita harus menengok kepada 39 ayat Al-Qur’an itu, guna melihat konteksnya. 

Secara harfiyah, menurut Buya Hamka, kata ma’ruf berasal dari kata ‘urf , artinya “yang dikenal”. Atau “yang dapat dimengerti dan dapat dipahami serta diterima oleh masyarakat.”

Selanjutnya, dijelaskan oleh Hamka, bahwa perbuatan yang ma‘ruf itu jika dikerjakan, dapat diterima dan dapat dipahami oleh manusia. Selain itu, juga dapat dipuji. Karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal. 

Kebalikan arti dari kata ma’ruf adalah munkar. Artinya “yang dibenci, yang tidak disenangi, yang ditolak oleh masyarakat. Karena tidak patut dan tidak pantas. 

Tidak selayaknya yang demikian itu dikerjakan oleh manusia berakal, ” kata ulama tokoh Muhammadiyah itu. Dalam bahasa Inggris, ma’ruf mirip dengan pengertian common sense, masuk akal. 

Baca Juga  Dakwah Nabi Nuh (1): Banjir Bandang dan Dialog dengan Umatnya

Hamka Memaknai Ma’ruf

Hamka mempunyai penjelasan yang baik sekali tentang tidak bisa dipisahkannya anjuran kepada yang ma ‘ruf, dan pencegahan yang munkar. Keduanya berkaitan erat. Katanya: 

“Agama datang menuntun manusia dan memperkenalkan mana yang makruf itu dan mana yang munkar. Sebab itu, maka makruf dan munkar itu tidaklah terpisah dan pendapat umum. Kalau ada orang berbuat makruf, maka seluruh masyarakat umumnya menyetujui, membenarkan dan memuji. Kalau ada perbuatan munkar, seluruh masyarakat menolak, membenci, dan tidak menyetujuinya. Sebab, itu bertambah tinggi kecerdasan beragama. Bertambah kenal akan yang makruf dan bertambah benci orang kepada yang munkar.”

Yang menarik dari keterangan Hamka adalah, yang baik atau yang buruk itu ditentukan oleh pendapat umum. Pendapat masyarakat menjadi kriteria apakah sesuatu itu ma’ruf atau munkar.

Selanjutnya, Hamka menjelaskan penafsiran amr ma’ruf nahy munkar sebagai dakwah. Keduanya seolah-olah identik atau menjelaskan satu sama lain. Ia juga mengatakan bahwa salah satu tugas dakwah adalah membentuk pendapat umum tentang sesuatu yang baik atau buruk.

Dalam menafsirkan pengertian munkar, Hamka maupun Ibn Taymiyah, menghubungkan atau menjelaskan dengan sebuah hadis Nabi SAW yang berbunyi:

“Barangsiapa di antara kamu melihat sesuatu yang munkar, hendaklah merubah dengan tanganya. Jika tidak sanggup, hendaknya ia merubah dengan lidahnya. Jika ia tidak sanggup juga, maka hendaklah ia merubah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman”

Dari hadis itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa mengubah yang munkar itu, jika dijumpai seseorang, hukumnya wajib. Walaupun itu bergantung dari kesanggupan seseorang. Jika mampu, ia harus mengubahnya secara fisilk.

Tetapi, seorang jika tidak mampu, ia bisa mempergunakan tulisan atau lisan. Dan hanya orang yang paling lemah iman nya saja yang mengubah dengan hati, maksudnya hanya dengan berdoa.

Baca Juga  Adakah Ilmu Fisika dalam Al-Qur’an?

Multitafsir Istilah amr ma ‘ruf nahy munkar

Istilah amr ma ‘ruf nahy munkar, dewasa ini sudah menjadi milik masyarakat. Hanya saja, seringkali penafsirannya masih berat sebelah, seolah-olah tekanan makna istilah tersebut adalah nahy munkar.

Tidak jarang, amr ma ‘ruf nahy munkar dijadikan semboyan untuk tindakan kekerasan atau penolakan terhadap sesuatu, dengan akibat seolah-olah melupakan segi amr ma’ruf.

Yakni, segi positif yang justru disebut terlebih dahulu sebelum nahy munkar. Padahal, orientasi atau acuan surat-surat yang memuat istilah tersebut adalah ayat 104 dan 110. surat Al ‘Imran itu adalah al-khayr, yakni kebajikan (virtue, goodness) yang mencakup dua aspek; menegakkan yang ma‘ruf dan mencegah yang munkar.

.

Sumber: Ensiklopedi al-Qur’an

.

Editor: Yahya Fathur R

Avatar
5 posts

About author
Muhammad Dawam Raharjdo terkenal sebagai ekonom dan tokoh agama. Ia telah banyak menulis buku-buku baik tentang ekonomi maupun tentang agama Islam. Dawam pernah menjadi ketua dari ICMI se-Indonesia, pemimpin Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, dan ketua yayasan ELSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat).
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds