Feature

Dadang dan Wabah Peviko-19

2 Mins read

Sebutlah, panggilannya Dadang (37 thn). Profesinya sebagai penjual minuman saset keliling, mengayuh sepeda, yang acapkali mangkal di bilangan Aeon Mall, BSD, Tangerang. Asalnya Desa Ciledug Kulon, Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang mengais nasib sejak 7 tahun lalu ke Jakarta. Dan akhirnya,  terdampar dan kerja serabutan di Tangerang. Anak dan istrinya masih tinggal di Ciledug, Dadang sendiri tiap bulan, hampir pasti menengok keluarganya di kampung halaman tercinta.

Di Tangerang, Dadang dan dua sahabatnya, yang berprofesi sama sebagai penjual minuman saset keliling tinggal di rumah kos dengan tarif Rp400.000 per bulan. Agar beban biaya mereka ringan, maka tarif kos, beli air, gas dan kompor, biaya listrik, termos air/es, dan beberapa peralatan lain di tanggung bersama.

Mereka kompak, menjaga kebersamaan. Mereka tidak tahu, apakah mereka berkategori pekerja informal atau non-formal. Yang penting bagaimana denyut nadi kehidupan keluarganya bisa bertahan hidup, kendati hidup subsisten (penghasilan yang diterima hari ini, habis untuk dikonsumsi hari ini juga).

Di tengah teriakan dan kegelisahan pemimpin dunia, hiruk-pikuk dan saling klaim dari mereka yang menganggap memegang otoritas kebenaran terutama dari kalangan politisi dan partisannya di Tanah Air. Hingga masyarakat terutama kalangan menengah ke atas dan kaum terpelajar dalam menghadapi wabah massif Peviko-19 (Penyakit Virus Korona, maaf, ganti istilah Covid-19) yang telah memapar ratusan ribu dan telah mematikan puluhan ribu manusia di planet ini.

Namun, bagi Dadang dan sekelasnya, hiruk pikuk wabah Peviko-19 yang telah berlangsung sebulan ini di Tanah Air, telah memukul cukup dalam usaha minuman sasetnya. Penghasilan bersihnya setelah dikurangi biaya-biaya input (tentu Dadang tidak memasukkan komponen biaya tenaga kerja dirinya), dalam kondisi normal bisa mencapai Rp40.000 – Rp60.000 per hari, di mana jam kerjanya dimulai pukul 12.00 hingga pukul 22.00.

Baca Juga  Budaya Melayu (5): Bahasa, Kekerabatan, dan Sistem Pemerintahan Suku Minangkabau
***

Maka dalam kondisi abnormal terutama adanya kebijakan social distancing atau physical distancing, banyaknya perusahaan/industri, pusat-pusat perbelanjaan, ruang publik, sekolah, tempat ibadah dan lainnya sepi. Bahkan ditutup dalam masa-masa merajalelanya wabah Peviko-19 ini.

Sektor informal, terutama buruh harian dan pedagang kaki lima (PKL) semacam yang dilakoni Dadang, tampaknya belum tersentuh kebijakan pemerintah dalam rangka mengurangi dampak wabah Peviko-19. BPS mencatat, sektor informal mendominasi pekerjaan di Indonesia. Pada akhir 2019, tercatat penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal sebanyak 74 juta jiwa. Sementara yang bekerja di sektor formal hanya 55,3 juta jiwa.

Memang betul, pada Selasa (24/3), pemerintah telah membuat kebijakan terutama dalam pekerja tukang ojek, sopir taksi, maupun nelayan yang saat ini memiliki cicilan kredit. Bahkan Presiden Jokowi memutuskan bahwa pembayaran bunga atau angsuran akan diberikan kelonggaran selama 1 tahun ke depan. Selain itu, juga masyarakat berpenghasilan rendah yang sedang dan ingin melakukan kredit kepemilikan rumah bersubsidi.

Lebih jauh, Jokowi mengatakan, pemerintah akan membantu daya beli pekerja di sektor industri pengolahan. Tak hanya itu, pemerintah juga akan membayar PPh pasal 21 yang selama ini dibayar sendiri oleh para pekerja dalam rangka memberikan tambahan penghasilan kepada pekerjaan di industri pengolahan.

Lagi-lagi Dadang dan seprofesinya, dianggap hanya underground economy. Dadang dan sahabatnya dianggap “ada dan tiada”. Mengapa “ada”, karena pelanggannya ada. Kenada “tiada”, karena mereka adalah musuh dari Satpol Pemda. Makanya, pedagang starling.

Pada saat krisis, hanya sebagai pelipur lara dan menjadi “bantal pengaman” tatkala para pekerja formal di PHK. Dadang saat ini, hanya menerawang jauh. Dalam sebulan ini, tidak ada ongkos untuk balik ke kampong halamannya, menengok anak dan istrinya.

Baca Juga  Canda Jenaka Buya Syafii

Tidak ada uang yang bisa dikirim, karena semua habis digunakan untuk kontrakan dan untuk biaya hidup ala kadarnya.  Nasib pekerja informal, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tapi dari raut wajah Dadang, tidak sedikitpun rasa takut dengan apa itu hiruk-pikuk wabah Peviko-19.  

Editor: Yahya FR
Avatar
5 posts

About author
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds