Perspektif

Wen Hui Bao dan Pilihan Politik Institusi Media Massa

2 Mins read

Di masa-masa awal terbentuknya Republik Cina modern setelah berakhirnya kekuasaan dinasti Qing sebagai kekaisaran Cina yang terakhir, masyarakat Cina terpolarisasi menjadi dua kelompok yang sama kuat. Kelompok pertama adalah kelompok yang dipimpin oleh Mao Zedong dalam rumah besar partai komunis dan kelompok yang dipimpin oleh Jiang Jieshi (atau lebih kita kenal dengan nama Chiang Kaisek) dalam rumah besar Kuomintang.

Namun sayang, keharmonisan dua pemimpin besar ini berada di ujung tanduk karena kepentingan politik praktis masing-masing pihak. Alhasil, kekuatan besar yang seharusnya tak terkalahkan jika bersatu ini, malah melemahkan pondasi kekuatan dan keutuhan negara.

Sejarah mencatat konflik keduanya menjadi salah satu perang saudara terparah dalam catatan negeri tirai bambu. Ketika mereka menyadari kesalahan yang mereka lakukan semua sudah selambat, Jepang telah tiba dan banyak wilayah yang sudah jatuh dalam invasi militer tentara matahari terbit.

Karena kejadian tersebut, China kehilangan banyak kota penting dalam roda perekonomian dan politik mereka. Kejatuhan Shanghai dibarengi dengan kejatuhan Ibu Kota mereka, Nanjing, yang masih membekaskan rasa sakit hingga saat ini.

Saat itu, pers turut memiliki beban moral terhadap apa yang dialami oleh Cina. Karena sebagai media massa mereka turut bertanggung jawab terhadap adanya ketegangan antara partai komunis dan Kuomintang. Pers yang saat itu memosisikan diri sebagai pendukung dan media propaganda masing-masing kekuatan politik, telah sukses memecah Cina yang seharusnya bersatu padu mewujudkan impian Republik Cina modern.

Menyadari kesalahannya, media massa Cina saat itu berusaha untuk memperbaiki keadaan yang sudah terlanjur terjadi. Media massa yang memainkan peran penting saat itu adalah Wen Hui Bao (hanzi: 文汇报). Surat kabar ini mengambil langkah berani untuk meninggalkan posisi sebagai surat kabar partisan dan komersil untuk menyatukan masyarakat Cina melawan musuh mereka yang sebenarnya. Melawan pihak asing yang datang mengusik kedaulatan mereka, bukan saling serang sesama anak bangsa.

Baca Juga  Ian G. Barbour: Integrasi Agama dan Sains di Barat
***

Saat Mao Zedong dan Chiang Kaisek memutuskan untuk bersatu melawan Jepang, Wen Hui Bao menitikberatkan pemberitaan pada persatuan yang dibangun oleh partai komunis dan Kuomintong. Tidak terjebak pada pemberitaan siapa yang pertama kali memprakarsai persatuannya ini, guna mengantisipasi munculnya rasa paling berjasa di antara pihak-pihak yang ada.

Di samping itu, Wen Hui Bao juga fokus untuk memberitakan orang-orang yang memang telah terbukti berkhianat membelot pada Jepang, sebagai bentuk pendidikan masyarakat bahwa ketika negara sedang dalam bahaya, maka tidak ada tempat bagi para penghianat.

Berita tersebut dipublikasikan tanpa menyentuh latar belakang sang penghianat yang berasal dari simpatisan kelompok Partai Komunis atau Kuomintang. Kondisi politik dalam dan luar negeri terkini Jepang pun turut dikabarkan agar rakyat tahu sejauh mana hasil perjuangan yang telah mereka lakukan.

Tekanan dari pihak Jepang pun sudah pasti muncul namun Wen Hui Bao telah mewakafkan dirinya pada kepentingan negara. Sekaligus sebagai bentuk tanggungjawab moral media massa yang pernah turut membuat masyarakatnya terjebak pada perang saudara yang akhirnya melemahkan negara mereka sendiri dari dalam.

Hendaknya, media massa yang ada di Indonesia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami oleh Cina di masa lalu. Saat media massanya terjebak dalam kepentingan politik praktis para elit politiknya. Sebagai institusi yang dijadikan referensi oleh masyarakat luas, sudah selayaknya media massa bijak dalam mempublikasikan sebuah informasi.

***

Diakui atau tidak, saat ini masyarakat kita sudah terpolarisasi dalam dua kelompok besar, kedua kelompok besar yang mencintai Indonesia dengan caranya masing-masing. Barangkali memang ada oraganisasi nasional atau tokoh politik tentu yang lebih condong pada satu kelompok dan merasa risih dengan kelompok yang lain. Namun di sinilah kita mengharapkan kebijaksanaan pers dan pengelola media massa.

Baca Juga  Pancasila Bukan Hadiah Umat Islam

Jangan sampai pers kita saat ini mengikuti kesalahan yang pernah dilakukan oleh pers Cina pada tahun 1930-an silam, jangan sampai pers kita terlalu asyik terjebak dalam kepentingan politi praktis dan tidak menyadari ada bahaya dari luar yang sedang mengincar ibu pertiwi. Sangat menyedihkan kalau nanti ketika kita tersadar namun semuanya sudah terlambat.

Editor: Yahya FR
Avatar
3 posts

About author
Dosen Universitas Ahmad Dahlan | Kandidat Ph.D di Nanjing Normal University | Ketua PCIM Tiongkok - Regional Nanjing
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds