Feature

Cerita Mereka yang Tak Beruntung Saat Belajar di Rumah

3 Mins read

Di antara gegap gempita tekhnologi informasi pendidikan yang setiap saat bisa kita akses, kapan dan di mana saja. Ternyata ada banyak anak anak yang kurang beruntung saat menjalani proses BDR (Belajar di rumah) akibat kebijakan pendidikan di era Pandemi Covid-19 ini.

Sebagai pengasuh disalah satu panti dan pondok pesantren, sebenarnya berat melepaskan anak-anak belajar di rumah. Sebab pertimbangan kami tentulah sangat banyak. Di antaranya, ada banyak wali santri kami yang merantau dan menjadi TKI.

Jelas, itu bukan persoalan yang mudah untuk mengontrol anak anak di rumah. Selain itu juga, karena di pondok kami juga menerima anak asuh panti, maka tidak semua wali santri punya ekonomi yang cukup untuk mengakses teknologi informasi yang mumpuni untuk mendukung program BDR di rumah.

Di antara murid kami bahkan ada yang akhirnya menyerah, bukan gara-gara tak mau mengerjakan tugas ujian.  Tapi gara gara mereka tak punya akses teknologi untuk menunjang itu.

Dua Anak yang Kurang Beruntung

Di antara mereka, sebut saja namanya Amir (15). Anak kelas 3 MTs yang juga kurang beruntung dalam proses BDR ini. Ayahnya yang hanya bekerja serabutan, harus menghidupi empat anaknya di rumah. Saat kami temui, orang tuanya sempat meneteskan air mata dan bercerita bahwa tempo hari rencananya ia akan berhutang agar bisa membelikan anak nya HP, agar tetap bisa belajar dan melaksanakan ujian di rumah.

Maklum, Amir sudah kelas 3 MTs dan harus menghadapi ujian dari madrasah. Di pondok Amir adalah salah satu santri yang pandai. Rangkingnya 3 besar setiap semester. Tentu ini masalah serius baginya.

Saat berdua dengan salah satu ustad untuk datang berkunjung ke rumahnya. Ia hanya tersenyum saat kami tanya, “Gimana mir belajarnya di rumah?” Pertanyaan basa basi dan aneh dari kami sebenarnya. Terasa sangat sumbang.

Baca Juga  Pulang Malu Tak Pulang Rindu

Ia hanya tersenyum simpul dan berkata. “Mau gimana lagi tad, saya harus ke sekolah MI, gantian sama teman hp nya, lah teman saya juga sedang ujian dan BDR akhirnya ya saya ngalah. Lihat aja tad sambil ndengerin,” ungkapnya.

Lain orang, tentu lain cerita. Kali ini cikal nama panggilan akrabnya. Satu angkatan dengan Amir, plus satu kelas. Nasibnya sama. Mereka juga sama sama anak asuh panti. Tapi cikal mungkin lebih kurang beruntung, sebab kedua orang tuanya broken home dan dia harus tinggal bersama saudaranya. Kadang di rumah neneknya, kadang juga di rumah pamannya. Sejak kecil, ia bahkan tak pernah bertemu dengan ayahnya sampai sekarang. Hanya tahu melalui foto.  

Siang tadi, selepas sholat dhuhur di masjid. Kami bertemu. Sebab kampungnya di tutup portal. Lockdown. Kami tak bisa langsung  datang ke rumahnya. Akhirnya, melalui pesan singkat ke tetangganya, kami menghubunginya untuk meminta cikal datang ke masjid dan bertemu kami.

“Gimana cikal BDR nya, apa sudah ujian?” Pertanyaan yang sama kami lontarkan ke cikal.

Cikal agaknya hanya tersenyum. Hanya menjawab pertanyaan singkat kami. “Maaf tad, saya belum ujian, hp saya ndak bisa buat gitu-gituan tad, saya sudah usaha, tapi ndak bisa,”ungkapnya.

Maklum, HP-nya bukan android. Hasil pemberian dari tetangganya.

Mereka Tidak Sendirian

Sebenarnya, malam hari sebelum perpulangan. Mereka berdua terlihat menangis. Dan hampir setiap ada perpulangan, kami amati seperti itu. Maklum sebagai anak, mereka ingin dijemput oleh orang tua mereka. Sama seperti anak anak lain. Sayangnya mereka tak punya kesempatan itu.

Ayah Amir tak punya kendaraan, akses perjalanan dari kota ke tempat tinggal juga sulit. Tak ada kendaraan umum, yang pasti juga pertimbangan biaya. Sedangkan cikal, jangankan dijemput ayah ibu,  bisa pulang pun, ada yang mau mengantar atau ‘nunuti’, sudah bersyukur bukan main.

Baca Juga  Kereta Ekonomi, Parasite, dan Saya

Saya yakin, ada banyak anak yang hampir bernasib sama dengan mereka. Tidak beruntung mengakses BDR melalui teknologi informasi yang mumpuni. Pendidikan macam apapun, bagi mereka tetap mahal kalau hanya bersifat formal. Tapi saya yakin, mereka memiliki kekayaan yang tidak akan dimiliki oleh anak-anak seusia mereka. Kekayaan itu adalah keberanian untuk melakukan berbagai hal.

Mereka dengan gigih meminjam ke tetangganya, meminjam ke teman, nunut wifi, minta theatering, pinjam ke guru, dan berbagai macam usaha yang lain.

Ya, sore itu, secara bergantian. Kami berdua,  mewakili pengasuhnya di pondok menyampaikan amanah dari aghniya dan pihak pondok untuk dapat memberikan akses teknologi informasi bagi mereka berdua. Semoga mereka menjadi anak anak yang kuat.

Kami sayang anak anak itu. Mereka adalah bagian dari kami, dan kami adalah bagian dari mereka. Dimana pun mereka berada.

Editor: Yahya FR
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds