Dalam bukunya yang berjudul Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, Jasser Auda membagi ada 3 (tiga) lapis kunci pintu untuk mengkaji pemikiran hukum Islam, yaitu era tradisional, era modern dan era postmodern. Pembagian itu dalam upaya untuk membuka pintu ijtihad kontemporer.
Dengan membaca dan meneliti literatur yang melintasi tiga zaman tersebut, Jasser Auda menemukan varian-varian pola pemikiran epistemologi keilmuan hukum yang berbeda-beda pada tiga sejarah.
Tradisionalisme Islam
Dalam Islam Tradisional (Islamic Traditionalism) terdapat 4 (empat) varian: pertama, Scholastic Traditionalism, dengan ciri berpegang teguh pada salah satu mazdhab fikih tradisional sebagai sumber hukum tertinggi. Hanya membolehkan ijtihad, ketika sudah tidak ada lagi ketentuan hukum pada mazdhab yang dianut.
Kedua, Scholastic Neo-Traditionalism, cara berpikir dan bersikap terbuka terhadap lebih dari satu mazdhab untuk dijadikan referensi terkait suatu hukum, dan tidak terbatas pada satu mazdhab saja. Jadi, ada beberapa jenis sikap terbuka yang diterapkan, mulai dari sikap terhadap seluruh mazdhab fikih, hingga sikap terbuka pada mazdhab Sunni atau Syi’ah saja.
Ketiga, Neo-Literalism, yakni kecenderungan ini berbeda dengan aliran literalism klasik (yaitu mazhab Zahiri). Neo-literalism ini terjadi pada Sunni maupun Syi’ah.
Perbedaannya dengan literalisme lama adalah jika literalism klasik (seperti versi Ibn Hazm) dengan neo-Literalism adalah literalism klasik lebih terbuka pada berbagai koleksi hadits, sedangkan neo-literalism hanya bergantung pada koleksi hadits dalam satu mazhab tertentu.
Namun demikian, neo-literalism ini sepemikiran dengan literalisme klasik dalam hal sama-sama menolak ide untuk memasukkan purpose atau maqasid sebagai sumber hukum yang sah (legitimate). Contoh neo-literalism saat ini adalah aliran Wahabi.
Keempat, Ideology-Oriented Theories. Ini adalah aliran traditionalism yang paling dekat dengan post-modernism. Terutama dalam hal mengkritik modern ‘rationality’ dan nilai-nilai yang bias ‘euro-centricity’, ‘west-centricity’.
Salah satu sikap aliran ini adalah penolakan mereka terhadap demokrasi dan sistem demokrasi, karena dinilai bertentangan secara fundamental dengan sistem Islam.
Modernisme Islam
Ciri umum para tokoh corak pemikiran ini, Islamic Modernism, adalah mengintegrasikan pendidikan Islam dan Barat yang mereka peroleh, untuk diramu menjadi tawaran baru bagi reformasi Islam dan penafsiran kembali (re-interpretation). Menurut Jasser Auda, (h. 168-180), ada 5 varian di sini:
Pertama, Reformist Reinterpretation atau yang dikenal sebagai ‘contextual exegesis school’ atau atau menggunakan istilah Fazlur Rahman ‘systematic interpretation’. Contoh gaya berpikir ini ada dalam Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan al-Tahir Ibn Ashur. Mereka telah memberi kontribusi berupa mazhab tafsir baru yang koheren dengan sains modern dan rasionalitas;
Kedua, Apologetic Reinterpretation. Di sini reformist reinterpretations dan apologetic reinterpretations berbeda. Reformist memiliki tujuan untuk membuat perubahan nyata dalam implementasi hukum Islam praktis, sedangkan apologetic lebih pada menjustifikasi status quo tertentu, ‘Islamic’ atau ‘non-Islamic’. Biasanya didasarkan pada orientasi politik tertentu, seperti Ali Abdul Raziq dan Mahmoed Mohammad Taha.
Ketiga, Dialogue-Oriented Reinterpretation / Science-Oriented Reinterpretation. Ini merupakan aliran modernis yang menggunakan pendekatan baru untuk reinterpretasi. Mereka memperkenalkan ‘a scientific interpretation of the Qur’an and Sunnah’ (sebuah tafsir ilmuah terhadap Alquran dan Sunnah).
Dalam pendekatan ini, ‘rationality’ didasarkan pada ‘science’, sedangkan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis direinterpretasi agar selaras dengan penemuan sains terbaru yang mutakhir.
Keempat, Interest-Oriented Theories, yakni pendekatan berbasis kemaslahatan yang berusaha untuk menghindari kelemahan sikap apologetic, dengan cara melakukan pembacaan terhadap nass, dengan penekanan pada maslahah yang hendak dicapai.
Contoh cara berpikir ini adalah seperti Mohammad Abduh dan al-Tahir ibn Ashur yang menaruh perhatian khusus pada maslahah dan maqasid dalam hukum Islam, sehingga mereka menginginkan reformasi dan revitalisasi terhadap hukum Islam yang terfokus pada metodologi baru yang berbasis maqasid.
Kelima, Usul Revision. Tendensi ini berusaha untuk merevisi Usul al-Fiqh, mengesampingkan keberatan dari neo-tradisionalis maupun fundamentalist lainnya. Bahkan para tokoh yang tergolong Usul Revisionist menyatakan bahwa ‘tidak ada pengembangan signifikan dalam hukum Islam yang dapat terwujud, tanpa mengembangkan Usul a-Fiqh dari hukum Islam itu sendiri.
Beberapa nama disebut sebagai contoh, antara lain Mohammad Abduh (1849-l905), Mohammad Iqbal (1877-1938), Rashid Rida, al-Tahir ibn Ashur, al-Tabattabai, Ayatullah al-Sadir, Mohammad al-Ghazali, Hasan al-Turabi, Fazlur Rahman, Abdullah Draz, Sayyid Qutb, Fathi Osman, juga Ali Abdul Raziq, Abdulaziz Sachedina, Rashid Ghannouchi, Mohammad Khatami.
Postmodernisme Islam
Dalam post-modernisme Islam, metode umum yang digunakan adalah ‘dekontruksi’, ala Derrida. Menurut Jasser Auda (h. 180-191), ada 6 varian:
Pertama, Post Structuralism, yakni berusaha membebaskan masyarakat dari otoritas nass dan menerapkan teori semiotic. Teori ini menjelaskan bahwa “Bahasa sesungguhnya tidak menunjuk kepada realitas secara langsung’ (Language does not refer directly to the reality) terhadap teks al-Qur’an agar dapat memisahkan bentuk implikasi yang tersirat (separate the implication from the implied).
Kedua, Historicism, yakni menilai al-Qur’an dan hadis sebagai ‘cultural products’ dan menyarankan agar deklarasi hak-hak asasi manusia modern dijadikan sebagai sumber etika dan legislasi hukum.
Ketiga, Critical –Legal Studies (CLS). Bertujuan untuk mendekonstruksi posisi ‘power’ yang selama ini mempengaruhi hukum Islam, seperti powerful suku Arab dan “male elitism’.
Keempat, Post-Colonialism yang mengkritik pendekatan para orientalis klasik terhadap hukum Islam, serta menyerukan pada pendekatan baru yang tidak berdasarkan pada ‘essentialist fallacies’ (prejudices) terhadap kebudayaan Islam.
Kelima, Neo-Rationalism yangmenggunakan pendekatan historis terhadap hukum Islam dan mengacu pada madhhab mu’tazilah dalam hal rational reference untuk mendukung pemahaman mereka.
Banyak nama yang disebut, antara lain Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, al-Tahir al-Haddad dan juga Ebrahim Moosa, juga Ayatullah Shamsuddin, Fathi Osman, Abdul Karim Soroush, Mohammad Shahrur dan yang lain-lain.
***
Berbeda dari teori Post-Modernism yang biasa digunakan oleh sebagian pemikir Muslim kontemporer, Jasser Auda (h.191) lebih menekankan pada aspek pendekatan yang lebih bersifat ‘multi-dimensional” (Multi-dimensional) dan “utuh-menyeluruh” (Holistic approach).
Dengan mencermati seluruh pendekatan yang digunakan oleh para pemikir hukum Islam, mulai dari tradisionalisme, modernisme dan postmodernisme, Jasser Auda mengajukan pendekatan Systems untuk membangun kerangka pikir baru pengembangan hukum Islam di era kontemporer.