Fatwa

Makna Gelar Almarhum dan Almarhumah

2 Mins read

Seseorang yang sudah meninggal dunia sering diberikan gelar dengan almarhum untuk laki-laki dan almarhumah untuk perempuan. Ada juga sebagian yang menggunakan gelar “Allahu yarham.” Lantas apa makna dari kata almarhum atau almarhumah?

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Almarhum dan almarhumah berasal dari bahasa Arab yang berarti laki-laki dan perempuan yang dirahmati/dikasihi. Kata almarhum/ah ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dan artinya berubah menjadi orang yang telah meninggal. Contohnya: “almarhum pernah melawat ke Jepang.”

Meskipun telah terjadi perubahan makna, namun sebenarnya gelar almarhum dan almarhumah tetap berisi doa untuk orang yang telah meninggal, khususnya untuk orang Islam. Jadi kalau kita mengatakan: almarhum Buya Hamka, itu artinya: Semoga Allah merahmati/mengasihi beliau. Kalau dalam bahasa Malaysia, mereka menyebutnya lebih jelas lagi yaitu: Allahyarham Polan, yang artinya: Semoga Allah merahmati Polan. Hal ini sesuai dengan asalnya dalam bahasa Arab yaitu: Rahimahullah, yang berarti: Semoga Allah merahmatinya.

Adapun untuk orang non muslim yang sudah meninggal, sebagaiamana dijelaskan dalam Fatwa Tarjih no. 17 tahun 2010, gelar almarhum dan almarhumah tidak boleh dikatakan kepada mereka. Mereka cukup digelari dengan mendiang atau gelar yang lain sesuai adat dan budaya. Ini karena menurut keyakinan umat Islam, hanya orang yang meninggal dalam keadaan Islam saja yang dirahmati Allah. Sedang orang yang meninggal dalam keadaan non Islam tidak dirahmati Allah Ta’ala, meskipun kita tetap harus menghormati mereka. Dalilnya ialah firman Allah:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَمَاتُواْ وَهُمۡ كُفَّارٌ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ لَعۡنَةُ ٱللَّهِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلنَّاسِ أَجۡمَعِينَ ١٦١  خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يُخَفَّفُ عَنۡهُمُ ٱلۡعَذَابُ وَلَا هُمۡ يُنظَرُونَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.” [QS. al-Baqarah (2): 161-162]

Baca Juga  Pentingnya Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih (HPT)

Dan firmanNya:

…وَمَن يَرۡتَدِدۡ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتۡ وَهُوَ كَافِرٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [QS. al-Baqarah (2): 217]

Menurut fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, ayat pertama menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang kafir lalu mati dalam keadaan non muslim itu akan dilaknat oleh Allah, para malaikat, dan manusia sampai hari kiamat, lalu mereka akan kekal dalam laknat itu sampai masuk neraka jahannam, dan laknat tersebut menemani mereka di dalamnya sehingga siksaan mereka tidak diringankan serta tidak ditangguhkan walaupun sebentar.

Sementara ayat yang kedua juga menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang beragama Islam lalu keluar dari agamanya itu (murtad), kemudian ia mati dalam keadaan non Islam maka amalannya di dunia dan di akhirat dianggap sia-sia.

Jadi dengan demikian kedua ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir, baik pada asalnya ia memang orang kafir atau pada asalnya ia beragama Islam lalu murtad, tidak akan mendapat rahmat dari Allah, bahkan mereka itu mendapat laknat atau kutukan dan mendapat siksaan selama-lamanya di neraka.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang mati dalam keadaan non muslim itu tidak boleh disebut dengan almarhum/ah. Dan kita boleh dan bahkan dianjurkan menyebut orang Islam yang sudah meninggal dengan sebutan almarhum bagi laki-laki dan almarhumah bagi perempuan, meskipun kita tidak tahu masa lalunya ketika ia masih hidup, baik ia termasuk orang yang saleh atau orang yang fasiq. Ini karena kata-kata tersebut mengandungi doa, semoga Allah merahmati/mengasihinya. Jika ia termasuk orang yang saleh, maka semoga Allah merahmatinya dan mengangkat derajatnya, dan jika ia termasuk orang yang fasiq, maka semoga Allah mengasihaninya dan mengampuni dosa-dosanya.

Baca Juga  Vaksinasi Covid-19 Perspektif Tarjih Muhammadiyah

Adapun bagi orang yang tidak bisa dipastikan agamanya, maka namanya menjadi dasar pertimbangan. Jika namanya nama orang Islam seperti Muhammad, Ahmad dan Abdullah maka kita berhusnuzzan (berprasangka baik) kepadanya sehingga kita sebut almarhum/ah, dan jika bukan seperti itu maka cukup kita sebut dengan mendiang.

Sumber: Fatwa Tarjih no. 17 tahun 2010

Editor: Yusuf

Avatar
1447 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Fatwa

Meluruskan Bacaan Takbir Hari Raya: Bukan Walilla-Ilhamd tapi Walillahilhamd

1 Mins read
IBTimes.ID – Membaca takbir ketika hari raya merupakan salah satu sunnah atau anjuran yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Anjuran tersebut termaktub di…
Fatwa

Menggibahi Orang Lain di Group WhatsApp, Bolehkah?

2 Mins read
Di era banjirnya informasi yang tak dapat terbendungkan, segala aktivitas manusia nampaknya bisa dilacak dan diketahui dari berbagai media sosial yang ada….
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang Tarekat Shiddiqiyyah

4 Mins read
IBTimes.ID – Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tarekat adalah jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds