Tafsir

Jejak Kekuasaan Kehakiman dalam Hadis Muadz bin Jabal

3 Mins read

Kekuasaan yang Mendominasi

Semenjak konsep Trias Politika banyak dianut di berbagai negara, kekuasaan negara mulai dipisahkan antara satu fungsi ke fungsi yang lain dengan pembagian mainstream berupa kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini memiliki maksud dan tujuan tertentu, yaitu upaya untuk membatasi kekuasaan atau menghilangkan dominasi kekuasaan pada satu genggaman.

Sudah jadi pengetahuan bersama, bahwa kekuasaan yang terpusat kerapkali berusaha untuk mendominasi semua sektor. Kekuasaan yang dibagi-bagi memungkinkan sistem kontrol antar kekuasaan. Selain itu, guna untuk menyeimbangkan kekuasaan apabila keluar dari jalurnya.

Di antara kekuasaan yang telah tersebut di atas, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang paling banyak dirujuk oleh masyarakat dalam hal persengketaan. Hal ini tidak terlepas dari fungsinya untuk menyelesaikan persengketaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan oleh dua kelembagaan. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung beserta lembaga peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi.

Dalam penjelasan di berbagai literatur, disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah court of justice atau pengadilan keadilan. Hal ini tidak terlepas dari perkara yang ditangani yang berkaitan dengan sengketa antara para pihak. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi adalah court of law atau pengadilan hukum (aturan) yang memutus konstitusionalitas sebuah undang-undang.

Jejak Kekuasaan Kehakiman dalam Hadis Muadz Bin Jabal

Terdapat beberapa matan hadis yang berbeda terkait persoalan ini. Hadis ini begitu melegenda ketika Muadz bin Jabal hendak dikirim Rasulullah SAW ke Yaman. Pada saat itu, Rasul berbincang seraya bertanya terkait persoalan yang diajukan ke Muadz untuk diselsaikan.

Baca Juga  Diskursus Makna Jihad dalam Khazanah Islam

“Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadamu (untuk mendapat putusan)? “

“Saya akan memutuskan dengan kitab Allah.” Jawab Muadz.

“Apabila engkau tidak mendapatkan (jawaban) di kitab Allah.” Tanya kembali Rasulullah.

“Maka aku akan merujuk kepada sunah Rasulullah.” Jawab Muadz.

“Apabila engkau tidak mendapatkan (jawaban) di sunah Rasulullah.” Rasulullah kembali bertanya kepada Muadz.

“Saya akan berijtihad dengan pendapat saya.” Jawab Muadz. “Dan saya tidak akan membiarkan perkara tersebut tanpa putusan.

Dari percakapan Rasulullah tersebut, terdapat beberapa jejak nilai dalam kekuasaan kehakiman yang berkorelasi dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Pertama, Asas Putusan Berdasarkan Alasan yang Jelas dan Rinci

Hal ini tercermin dari percakapan Rasul yang menanyakan dasar putusan sedangkan Muadz menjabarkan dasar hukum yang akan dirujuk ketika memutus sebuah perkara.

Hal ini menandakan bahwa sebuah putusan terhadap sebuah perkara haruslah didasari dengan dasar hukum yang jelas.

Dalam UU Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, hal ini tertuang dalam Pasal 50 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman):

“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”

Kedua, Ius Curia Novit

Hakim dianggap paling tau hukumnya. Dari asas ini, hakim diharuskan untuk senantiasa memberikan setiap putusan yang dihadapkan kepadanya, bahkan terhadap sebuah perkara yang belum terdapat aturannya.

Hal ini tercermin dari jawaban Muadz terhadap pertanyaan Rasul. Rasul bertanya, ketika tidak ada dalam Kitab Allah dan sunah Rasul, bagaimana diselesaikan. Muadz menjawab, “Maka aku akan berijtihad dengan pendapatku”. Dari uraian ini tergambar bahwa hakim haruslah menguasai hukum. Selain itu, apabila tidak tidak ada hukumnya, maka diharuskan untuk menggali dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman:

Baca Juga  Bagaimana Kronologi Kodifikasi Hadis di Era Umar Ibn ‘Abd Al-‘Aziz Sampai Al Mu’tashim?

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Ketiga, Hakim Tidak Boleh Menolak Perkara Karena Ketiadaan Hukum

Muadz menyebutkan dalam matan hadis tersebut dengan kalimat “walaa aluu”, yang bermakna “dan saya tidak akan membiarkan perkara tersebut tanpa putusan”. Setiap perkara yang diajukan haruslah mendapatkan putusan. Karena hal ini sesuai dengan asas ius curia novit, bahwa hakim dianggap paling tau hukumnya.

Di Indonesia, hakim dilarang untuk menolak sebuah perkara dengan alasan ketidakadaan hukumnya. Hakim justru harus berusaha mencari hukumnya seraya berusaha untuk menyelesaikannya. Hal ini tercermin dari Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman:

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Dari uraian di atas, nilai-nilai dalam Islam sangat berkorelasi dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh kekuasaan kehakiman di Indonesia. Nilai ini harusnya harus terpatri dan tidak hanya berakhir menjadi manisan bibir semata. Tentunya banyak dari Masyarakat berharap bahwa kekuasaan kehakiman dijalan berdasarkan nilai-nilai luhur yang dipedomani.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Masyarakat Hukum Tata Negara
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds