Feature

Arab Saudi Dulu, Bukanlah yang Sekarang: Dulu Marah Sekarang Ramah

5 Mins read

Salah satu “ritual ekstra” para peziarah ke tanah suci adalah ke ziarah ke Jabal Rahmah, yang lokasinya di atas bukit ditandai dengan sebuah tugu. Dinamakan demikian karena konon tempat ini adalah titik bertemuanya Nabi Adam dan Hawa setelah keduanya terusir dari surga. Entahlah! Yang jelas, lokasi ini banyak dikunjungi karena masuk wilayah Arafah yang menjadi keharusan bagi jamaah haji untuk wukuf di sini karena “Haji adalah Wukuf di Arafah”.  

Definisi Kata “Rahmah”

Istilah “rahmah” yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “ramah” memiliki arti yang kurang lebih sama dengan pengertian kita terhadap kata “ramah” itu sendiri.

Ibnu Faris menyebutkan bahwa kata “rahmah” yang terdiri dari fonem ra, ha, dan mim, pada dasarnya bermakna “kelembutan hati”, “belas kasih”, dan “kehalusan”.

“Tugu rahmah” ini memang pas berada di tanah Arab yang karakter masyarakatnya cenderung keras. Bayangkan saja bagaimana jadinya Bangsa Arab jika Nabi Muhammad yang lemah lembut tidak diturunkan Allah di negeri tandus ini?

Tipikal keras yang dimiliki sebagian orang Arab ini apakah karena kondisi alamnya yang keras dan tandus ataukah karena pola konsumsi yang lebih banyak mengkonsumsi daging daripada sayuran? Wallahualam.

Jangan Belajar Keramahan di Negeri Arab

“Jangan belajar keramahan (hospitality) di Negeri Arab!” Itu ada dalam benak saya sejak ketika pertama kali menginjakkan kaki di negeri Arab hingga setidaknya sampai empat tahun yang lalu.

Kesan yang tampak adalah wajah-wajah “tidak butuh tamu”. Bahkan oleh para petugas imigrasi di bandara yang bertugas menyambut tamu mancanegara di “pintu masuk” ke sebuah negara.

Kondisi bandara terkesan “asal asalan”. Jauh dari gambaran kemewahan yang sering dipamerkan keluarga Kerajaan Arab Saudi. Situasi bandara itu segera memunculkan kesan di benak kita bahwa mereka tidak butuh kita, toh kita juga pasti datang karena ada haramain. Mereka mungkin lupa bahwa para tamu Allah pun berhak berandai-andai, “Ah, andaikan negerimu tak ada haramain, tak sudi rasanya aku ke sini”.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Arab Saudi Putuskan Iduladha Rabu 28 Juni

Di saat saya ke Bandara Jeddah sendiri pakai taksi dari Makkah, saya salah masuk terminal. Jangan bayangkan ada shuttle bus atau skytrain untuk menghubungkan antar terminal yang terpisah pagar. Saya harus mencari taksi lagi menuju terminal satunya yang jaraknya hanya sekitar satu kilo meter tapi harus keluar bandara yang jaraknya mencapai lima sampai enam kilo meter dengan tarif taksi penawaran pertama mencapai 200 SAR.

Untunglah ada taksi liar yang bisa diajak bernegosiasi dan akhirnya dapat seperampat dari harga umum. Setelah naik taksi dengan mobil yang ber-sunroof, di tengah jalan, si sopir berhenti dan memasukkan penumpang lagi. Gubrak, persis angkot di Indonesia. Saya tak bisa berkata-kata. Sungguh negeri yang tidak mengenal hospitality.

Pemandangan Beda di Dubai dan Qatar 

Pemandangan ini jauh berbeda dengan di Dubai atau Qatar. Mereka sepertinya telah belajar banyak tentang hospitality dan tourism. Mereka sadar betul bahwa ketersediaan minyak yang menjadi sumber devisa negera mereka pasti ada batasnya.

Namun, jasa melayani hati manusia tak berbatas selama matahari masih menyinari bumi. Pariwisata adalah tentang melayani para pengunjung dengan keramahan yang mengesankan. Pariwisata sudah menjadi devisa utama bagi berbagai negara.

Dunia pariwisata tidak akan bisa lepas dari jiwa rahmah, kasih sayang, dan lemah lembut. Hospitality atau keramahan adalah jantung dari industri pariwisata, tak peduli apakah yang dijual agama maupun non-agama.

Bukankah Nabi pun memerintahkan kita untuk menghormati tamu? Tapi yang selalu mengherankan kita adalah mengapa yang lebih banyak menerapkan anjuran-anjuran Nabi itu justru orang lain?

Arab Saudi Kian Ramah

Di tahun 2022 ini, saya berkesempatan lagi berziarah ke Tanah Suci. Setelah empat tahun berselang, tampak dari jendela pesawat tidak ada perubahan yang berarti dari sisi pembangunan fisik. Hanya sedikit facelift di sana-sini.

Saya membayangkan akan mendapatkan pengalaman seperti sebelum-sebelumnya. Saya sudah menyiapkan mental untuk menemui situasi yang kurang welcome dalam kondisi tubuh yang masih lelah karena perjalanan jauh.

Baca Juga  Al-Kitab Sibawaih: Karya Monumental Sang Ahli Nahwu

Namun, bayangan buruk dan kekhawatiran saya segera sirna begitu keluar dari bus remote bandara dan masuk ke terminal kedatangan. Di antara para petugas di bandara, saya menemukan sosok-sosok wanita berparas khas Arab menyapa dengan ramah, “Your vaccin certificate please!”.

Mungkin karena saya terlanjur membayangkan hal-hal negatif, begitu sedikit saja ada senyuman dari petugas wanita di Bandara Jeddah dini hari, rasanya kepenatan saya langsung menghilang sekitar tiga puluh persen. 

Teryata, suprise “sambutan menyegarkan” yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada “tamu-tamu Allah” ini belum berakhir. Jika biasanya kita melalui jalur antrian imigrasi yang panjang dan bersiap berhadapan dengan wajah-wajah para petugas imigrasi yang dingin dan tak bersahabat, kini berubah seratus delapan puluh derajat.

Pintu pintu imigrasi dioperasionalkan semua sehingga antrian menjadi cepat. Dari sekian banyak pintu, terdapat beberapa petugas perempuan yang melayani dengan ramah.

***

Sebagian bercadar, beberapa membiarkan wajahnya tetap terbuka. Diam-diam saya berdoa, “Ya Allah jadikan saya tetap menjadi suami setia”. Saya pun diarahkan oleh seorang petugas laki-laki ke pintu imigrasi yang dijaga oleh petugas perempuan yang tak bercadar. Alhamdulillah, ya Allah!

Dia menyapa saya dengan ramah. Kemampuannya dalam berbahasa Inggris dan cara komunikasi yang cair membuat saya meyakini bahwa dia sudah lulus pelatihan hospitality.

Di sela sela memeriksa paspor dia bertanya, “Kamu menyebut apa dengan ini?” sambil menujukkan ibu jarinya. Langsung saya jawab, “jempol”. Mbaknya memang jempol karena terbukti bisa membantu mengurangi rasa capek karena perjalanan.

Kondisi bandara lebih bersih dan toilet pun sudah tidak bau lagi. Sekalipun demikian, masih ada yang perlu diperbaiki, yaitu adanya para sales provider kartu perdana yang bersikap terkesan memaksa dan memanfaatkan kendala bahasa yang dimiliki oleh para jamaah.

Banyak jamaah menganggap mereka adalah petugas bandara yang mengecek identitas karena tiba-tiba mereka minta paspor dan membawa alat sidik jari karena regulasi Saudi satu paspor hanya boleh memilik satu nomor seluler.

Baca Juga  Bisakah Terwujud "Green Spring" di Dunia Arab?

Arab Saudi yang Semakin Berbenah

Jelas sekali bahwa Pemerintah Arab Saudi tengah berbenah. Tampaknya, peningkatan kemampuan SDM menjadi prioritas sambil terus membangun sarana fisik agar tidak kalah dari Doha dan Dubai.

Saya yakin ini tidak semudah negara lain dalam merevolusi budaya yang sudah hidup selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Para wanita Arab Saudi yang selama ini hanya berdiam diri di rumah kini sudah berani bermitra dengan para pria dalam beberapa profesi. Kesetaraan antara pria dan wanita di Arab Saudi yang selama ini hanya mimpi kini sudah mulai muncul di permukaan, sekalipun baru di ujung permulaan.

Visi 2030 yang dicanangkan Arab Saudi masih memerlukan waktu panjang untuk mencapainya. Arab Saudi harus mengejar ketertinggalan infrastruktur agar bisa seperti negara-negara tetangganya. Tetapi, saya yakin Arab Saudi akan bisa mengejar ketertinggalannya karena yang digarap pertama adalah kesiapan SDM-nya.

Dari sisi ekonomi, Arab Saudi jauh lebih stabil daripada yang lain terutama dengan adanya Mekkah dan Madinah. Sampai kapan pun, umat Muslim pasti akan berziarah dan ini berarti menyumbang devisa negara yang sangat signifikan.

Dengan beralihnya penanganan haji dari muassasah yang bersifat semi sosial ke syarikah yang sepenuhnya profesional, ini akan berdampak pada kualitas layanan dan hospitality yang lebih baik. Sekalipun, konsekuensinya adalah tahun-tahun mendatang biaya haji dapat dipastikan akan meningkat.

Menyaksikan apa yang sedang terjadi di Arab Saudi, saya berharap perubahan ini akan melahirkan Saudi Arabiyah yang ramah. Saya berharap bisa lebih bayak melihat “Islam” seperti halnya banyaknya jumlah Muslim di negeri ini.

Di saat yang sama, saya tidak bisa menyembunyikan perasaan sayang dan cinta kepada Indonesia. Di negeriku, kultur ramahnya yang sudah lama membudaya. Bumi Nusantara, sekalipun jauh dari Jabal Rahmah, keramahan penduduknya mencerminkan nilai-nilai Islam yang salamah (damai) dan rahmah (penuh kerahmatan) sesuai dari asal kata Islam itu sendiri: aslm yang artinya damai dan salam yang berarti sejahtera.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Wakil Rektor UNIPDU Jombang; Petugas Haji Indonesia di Arab Saudi
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds