Perspektif

Benarkah Wacana Moderasi Beragama itu Titipan Barat?

2 Mins read

Islam sudah moderat, mengapa masih harus ada moderasi beragama? Seberapa sering pertanyaan ini dilontarkan di tengah forum-forum bertemakan moderasi beragama? Jawabannya masih sangat banyak.

Dalam salah satu seminar via zoom yang Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam adakan, dengan menghadirkan Kiai Faqihuddin Abdul Kadir, masih ditemukan pertanyaan semacam ini.

Baru-baru ini, Dr. Ali Muhtarom dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dalam kegiatan ekspos bertema moderasi beragama yang diadakan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Kamis, 04/08/2022 juga mengungkap masih adanya pertanyaan semacam ini di tengah masyarakat.

Kedua fakta empiris ini mengindikasikan bahwa internalisasi isu ini kepada masyarakat masih perjuangan yang cukup panjang. Moderasi beragama sebagai salah satu isu utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 dengan Kementerian Agama.

Selain stigma Islam tidak perlu lagi moderasi, masih banyak stigma-stigma lain seperti moderasi beragama adalah titipan “asing” dan mengarahkan masyarakat pada liberalisme.

Mereka yang menstigmakan Islam sudah moderat tidak perlu moderasi telah bermasalah sejak tataran ontologi. Wacana ini bukan hendak memoderasikan “agama” melainkan memoderasikan “pemahaman agama dan cara beragama” seseorang.

Moderasi Pemahaman Agama

Jelas bahwa objek yang menjadi sasaran untuk “dimoderatkan” adalah bukan agama melainkan pemahaman agama. Karena agama-lah yang membawa nilai-nilai moderat tersebut. Maka, pemahaman memoderasikan agama merupakan ketidaklogisan yang seharusnya tidak perlu kita tanyakan.

Yang seharusnya adalah pemahaman agama yang kita moderasikan, bukan agama. Sebab pemahaman agama meniscayakan terjadinya perbedaan yang beragam. Hal ini merupakan fitrah yang tidak bisa kita pungkiri bersama namun perlu kita kelola dengan baik agar tidak memunculkan pemahaman yang terlalu ke kanan maupun ke kiri, tidak terlalu ekstream maupun liberal.

Baca Juga  Kapolri Gunakan Pendekatan Moderasi, Busyro Muqoddas Apresiatif

Karena di dalam sesuatu yang terlalu condong, terdapat kefanatikan yang akan banyak merugikan tidak hanya pribadi namun secara luas juga merugikan kelompok dalam hal ini adalah umat Islam dalam arti luas. Argumentasi inilah yang mengantarkan moderasi beragama perlu ada.

Sedangkan mereka yang menstigmakan moderasi beragama mengarah pada liberalisme memiliki kekacauan pada tataran epistemologi. Karena prinsip “wasath/ tengah-tengah”, mereka yang mengamini moderasi beragama dipandang “meremehkan” hal-hal yang berkaitan dengan prinsip ajaran teguh yang kaum konservatif jalani.

Karena dianggap mengompromikan prinsip­-prinsip dasar agama untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya.

Penghormatan pada Praktik Beragama Orang Lain

Konsep yang sebenarnya, berdasarkan panduan yang Kementerian Agama keluarkan adalah sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).

Tidak ada sedikitpun role yang mengarahkan seseorang untuk berkompromi terhadap ajaran seorang yang lain karena prinsip dasar yang kita gunakan adalah لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ (untukmu agamamu, untukku agamaku). Untuk menjaga prinsip tersebut maka penghormatan kepada agama lain yang selanjutnya kita sebut toleransi sebagai salah satu indikator moderasi beragama menjadi kunci dan sesuatu yang niscaya.

Stigma yang tidak kalah menggelitik selanjutnya adalah “moderasi beragama merupakan titipan pihak asing”. Dalam pidato pengukuhan Doktor Honoris Causanya, Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa moderasi beragama lahir dari diri umat beragama itu sendiri. Jadi sama sekali bukan pesanan atau agenda pihak asing. 

Statement tersebut menegaskan bahwa kondisi umat beragama dengan perbedaan pemahaman mendorong perlu adanya wadah untuk mengakomodir pemahaman-pemahaman agama. Di mana akan melahirkan kebaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini yang melatarbelakangi moderasi beragama lahir, dari unsur internal umat beragama itu sendiri, bukan agenda dari eksternal (pihak asing).

Baca Juga  Cegah Politisasi Identitas, INFID: Moderasi Beragama di Lembaga Publik Perlu Diperkuat

Stigma pada Moderasi Beragama

Meski masih banyak stigma-stigma yang melekat pada wacana moderasi beragama, komitmen untuk menyebarluaskannya tidak lantas membuat agen-agen moderasi beragama surut. Pemerintah bersama-sama agen-agen ini dari unsur tokoh agama, penyuluh, pegiat media, pemerhati isu agama, dan lain sebagainya tetap berkomitmen untuk menciptakan narasi-narasi yang terkandung dalam wacana moderasi beragama.

Upaya-upaya ini mereka lakukan melalui berbagai hal. Seperti upaya internalisasi nasionalisme di pesantren melalui kegiatan upacara bendera di pesantren yang tokoh-tokoh agama pesantren insiasi. Upaya intensitas pelatihan penguatan moderasi beragama kepada generasi milenial oleh pemerhati isu agama. Seperti yang Jaringan Gusdurian lakukan melalui kegiatan Youth Camp Muda Toleran Menjadi Pemuda yang Moderat.

Upaya selanjutnya datang dari pegiat media dengan menyuguhkan nilai-nilai moderasi beragama dalam setiap postingan. Sebagaimana yang media-media Islam lakukan, seperti iqra.id, islami.co, alif.id dan yang lainnya.

Editor: Yahya FR

Fadhel Fikri
11 posts

About author
Co-Founder Sophia Institute, Pegiat Filsafat dan Sains, dan Pebisnis di Sabda Literasi Palu
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds