Riset

Relasi Kebudayaan dan Kekuasaan

8 Mins read

Jika kebudayaan berakar dari sumbu fitrah manusia sebagai animal rational (الإنسان حيوان ناطق), maka ia mengandung ide (ruh) yang suci—yang darinya lahir konstruksi ilmu pengetahuan manusia. Jika kekuasaan berakar dari pola hubungan/relasi antar manusia, maka ia mengandung konsensus yang jadi dasar pembentukan suatu kekuasaan (politik). Kemudian kita coba bertanya dalam hati: apakah budaya melahirkan kekuasaan atau sebaliknya, kekuasaan melahirkan budaya?    

Kajian tentang pola hubungan antara budaya dan kekuasaan memang telah banyak dilakukan oleh Edward Said. Begitu juga Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya telah berkali-kali menyinggung masalah ini. Bahwa setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa jika tanpa ditopang oleh kekuasaan politik yang kuat tidak akan bertahan lama.

Kita dapat melihat kenyataan bagaimana Daulah Abbasyiyah berhasil mengalahkan Daulah Umayah, mencapai puncak kejayaan, tetapi pada masa-masa akhir justru dipegang oleh pemimpin-pemimpin yang lemah sehingga akhirnya hilang ditelan sejarah. Kini Daulah Abbasiyyah hanya menyisakan legasi-legasi dan artefak-artefak yang uniknya oleh generasi umat Islam masa kini dianggap sebagai “memorabilia” pembangkit semangat jihad ketika kalah bersaing dengan bangsa lain.  

***

Daulah Umayyah (‘Amawiyyah) tumbang pada detik-detik terakhir (750 M.) ketika terjadi kekacauan yang amat parah dalam sistem pemerintahan ini. Dinasti Umayyah menerapkan sistem nepotisme. Orang-orang dari keturunan Arab murni (Arab Baduwi), khususnya dari klan Umayyah, mendapat kedudukan mulia dan terhormat sementara yang lain terabaikan.

Kebijakan berat sebelah ini, bagi rezim Umayah, justru menjadi bumerang. Akibatnya, konflik-konflik internal yang bermuara pada “fanatisme kesukuan” (syu’ubiyat) semakin meruncing. Suhu politik makin memanas hingga pada akhirnya menciptakan perpecahan. Dari konflik internal inilah kemudian melahirkan faksi-faksi yang tidak puas dengan kepemimpinan Dinasti Umayyah. Terutama dari klan Abbas dan Hasyim (klan Nabi saw) yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan penting di struktur pemerintahan. 

Termasuk persoalan pokok yang amat menentukan bagi jatuhnya pemerintahan Dinasti Umayyah ialah konflik yang terjadi antara faksi-faksi keagamaan. Pasca peristiwa “Fitnah Besar” (Al-Fitnah Al-Kubra) pada masa Khalifah Usman bin Affan (644-655 M.), konflik antara kelompok Murji’ah dan Khawarij, di satu sisi, kemudian antara Murji’ah dan Syi’ah di sisi lain, tidak pernah terselesaikan secara bijaksana. Faksi keagamaan yang paling getol mendukung gerakan klan Abbas dan Hasyim—yang kemudian membentuk Dinasti Abbasiyyah—adalah kelompok Syi’ah.

Dinasti Abbasiyyah berdiri pada 750 M., terhitung mulai ketika Abu Al-‘Abbas As-Suffah (750-754 M.) merebut kekuasaan dari Bani Umayyah lewat Gerakan Abbasiy yang mendapat dukungan beberapa klan Arab dan non Arab serta faksi-faksi keagamaan.

Selanjutnya, setelah kepemimpinan As-Suffah, Dinasti Abbasiyyah dipimpin oleh para raja bijak, seperti: Abu Ja’far Al-Manshur (754-785 M.), Muhammad Al-Mahdi (775-785 M.), Muhammad Al-Hadi (785-786 M.), Harun Al-Rasyid (786-809 M.), Muhammad Al-Amin (809-813 M.), Abdullah Al-Ma’mun (813-833 M.), Abu Ishaq Al-Mu’tashim (833-842 M.), dan seterusnya.

Pemerintahan Dinasti Abbasiyyah mampu mengakomodir berbagai kepentingan politik antar klan dan suku, baik dari keturunan Arab maupun non Arab. Hal ini jelas berbeda dengan pemerintahan sebelumnya (Dinasti Umayah) yang lebih condong kepada keturunan Arab murni, khususnya dari klan Umayah.

Dinasti Abbasiyah mampu merekrut orang-orang dari keturunan Persia (Malawiy), Turki (Saljuk), Romawi (Hellenik), Mesir (Qibthiy), bahkan India (Hindu), untuk terlibat dalam pemerintahan (A. Hasjmy, 1995). Dengan tidak memandang kelebihan satu kelompok dibanding kelompok lain, dinasti ini mampu menciptakan tatanan masyarakat Islam yang berbasis pada multikulturalisme

Baca Juga  Bukan "Jazirah Arab", tapi "Syibhu Jazirah Arab"

Tidak seperti rezim sebelumnya, Dinasti Abbasiyyah mampu memberikan kesempatan kepada orang-orang keturunan Turki yang memiliki kemampuan dan skill di bidang kemiliteran. Mereka dijadikan sebagai angkatan perang Islam yang menopang kekuasaan Dinasti Abbasiyyah.

Bagi orang-orang keturunan Persia, dengan catatan sejarah mereka yang gemilang pada masa Dinasti Achameneids (600-333 SM.) dan Dinasti Sassanids (228-651 M.), mereka pun diberi kesempatan seluas-luasnya untuk terlibat dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyyah. Corak sistem pemerintahan dan kebudayaan pada masa Abbasiyyah cenderung didominasi oleh bangsa ini. Seolah-olah para keturunan Sassan (Persia) hendak mengulang kembali masa kejayaan mereka di masa lampau. 

Kemudian untuk orang-orang keturunan Romawi, mereka pun beroleh tempat yang strategis di dalam struktur pemerintahan. Sebagai keturunan bangsa yang juga memiliki catatan sejarah yang gemilang pada masa pemerintahan Constantine I (324-337 M.), dan Justianus I (527-565 M.) di Konstantinopel, sekalipun mereka memiliki latarbelakang keyakinan yang berbeda (Nasrani), tetapi Dinasti Abbasiyyah tetap memberikan peluang yang sama untuk duduk di dalam pemerintahan.

Adapun untuk para keturunan Arab, mereka mendapat peluang dan kesempatan yang sama dengan bangsa-bangsa lain. Tidak ada perlakuan yang istimewa untuk orang-orang keturunan Arab murni. Pada puncaknya, Dinasti Abbasiyyah mencapai zaman keemasannya di masa Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M).       

***

Kota Baghdad (Irak), sekitar 12 abad yang lalu, merupakan kota megapolitan dunia yang mewakili puncak Peradaban Islam. Setelah Khalifah Al-Mahdi (775-785 M), tampuk kekuasaan diteruskan oleh putranya, Al-Hadi. Tetapi kekuasaannya tidak berlangsung lama. Setelah Khalifah Al-Hadi, dilanjutkan oleh saudaranya, Al-Rasyid, yang berkuasa selama kurang lebih 23 tahun lamanya. Pada masa kekuasaan Al-Rasyid inilah, kota Baghdad menjadi pusat perkembangan Ilmu Pengetahuan dan kebudayaan dunia. 

Kota Baghdad sebagai ibukota pemerintahan Dinasti Abbasiyyah menjadi pusat peradaban dunia. Banyak sarjana, baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim, berkunjung ke kota megapolitan ini. Mereka datang dari seluruh penjuru dunia untuk menimba Ilmu Pengetahuan dan pengalaman di Negeri Seribu Satu Malam ini. Tidak sedikit para sarjana non Muslim yang rela mengabdikan diri untuk terjun dalam penelitian dan penerjemahan karya-karya para pemikir besar Yunani.

Sejarawan George Zidan, sebagaimana dikutip A. Hasjmy (1995), melukiskan bahwa kedaulatan kaum Muslimin telah sampai kepada puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan, ataupun kekuasaan. Pada zaman ini telah lahir berbagai disiplin ilmu keislaman. Proses penerjemahan tradisi keilmuan Yunani ke dalam bahasa Arab sangat mendukung lahirnya ilmu-ilmu keislaman tersebut.

Zaman keemasan Al-Rasyid telah diakui oleh para ilmuwan Barat. Seperti Marshall GS. Hodgson (2002), misalnya, dia menilai bahwa Harun Al-Rasyid adalah khalifah terbesar dan paling ideal dalam sejarah umat Islam. Kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan kebudayaan telah menjadikan kota Baghdad sebagai salah satu pilar peradaban dunia. Kisahnya diabadikan dalam cerita “Seribu Satu Malam” (Alfu Laylatin wa Laylatin) yang amat masyhur itu.

Kecintaan Harun Al-Rasyid terhadap ilmu pengetahuan mendorongnya untuk membuat kebijakan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani klasik ke dalam bahasa Arab. Penelitian dan pengkajian keilmuan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Perlombaan di bidang sastra terus meningkat. Pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid inilah, seorang pujangga besar, Abu Nuwas (Abu Nawas), lahir.  

Pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada masa Dinasti Abbasiyyah meliputi: Hijaz (Arab Saudi), Baghdad, Khurasan (Irak), Iskandariah (Mesir), Damaskus (Syria), Isfahan, Bukhara (Iran), Thabristan (tepi Laut Kaspia), dan Andalusia (Spanyol).

Baca Juga  Nenek Moyang Bangsa Arab

Setelah mencapai puncak kejayaan, Dinasti Abbasiyyah berangsur-angsur meredup. Cita-cita membangun peradaban Islam berbasis multikulturalisme di ambang kegagalan. Sekalipun para penguasa Abbasiyyah pasca Al-Rasyid masih mampu mengakomodir kekuasan-kekuatan politik (Persia, Turki, Romawi, Mesir, dan India) dan faksi-faksi keagamaan (Syi’ah, Muktazilah, Khawarij, dan Ahlu Sunnah), tetapi mereka tidak terlalu cakap mengambil kebijakan-kebijakan strategis. 

***

Sampai pada masa Khalifah Al-Makmun (813-833M), rezim Abbasiyyah masih memiliki kecenderungan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Proyek-proyek besar berupa penelitian dan penerjemahan karya-karya klasik Yunani terus disponsori oleh rezim Abbasiyah. Bait Al-Hikmah (Wisma Kearaifan) menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kota Baghdad berfungsi ganda: sentral kekuasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. 

Al-Makmun memilih menetap di Khurasan, sekalipun ibukota resmi Dinasti Abbasiyyah adalah kota Baghdad. Tanda-tanda perpecahan sudah mulai nampak. Pada tahun 814-815 M., kelompok Syi’ah di bawah pimpinan Abu As-Saraya memberontak di Kufah dan Basrah. Orang-orang Abbasiy di Baghdad juga memberontak (816-819 M) karena kecewa terhadap kebijakan khalifah. Pada masa kekuasaan Al-Makmun, gelombang perlawanan di beberapa propinsi makin mengkhawatirkan.       

Memang, pasca Al-Rasyid, sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyyah cenderung sentralistik. Kebijakan-kebijakan politik rezim Abbasiyyah cenderung menguntungkan kota Baghdad. Pembangunan tidak merata karena sistem yang cenderung berpusat di tangan sang khalifah. Akibatnya, banyak propinsi yang menyatakan tidak puas, lalu membelot, melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad.

“Sindrom Umayyah” juga menghantui para penguasa Dinasti Abbasiyyah. Rezim ini mengambil kebijakan mengisolasi para keturunan Arab, terutama dari klan Umayah dan Bani Hasyim. Tidak jarang rezim Abbasiyyah mengabaikan dan bahkan menindas para keturunan Arab. Orang-orang keturunan Arab yang tidak mendapat tempat di struktur pemerintahan Abbasiyah kemudian melarikan diri ke Andalusia, Azerbaijan, Afrika, dan kawasan lain untuk membangun kekuatan melawan rezim. 

Tampaknya, rezim ini lebih menganakemaskan para keturunan Alawiy (Persia) sehingga faksi-faksi lain menyatakan rasa tidak puas. Namun ironis, orang-orang keturunan Alawiy malah mengarahkan kebijakan rezim Abbasiyah untuk membangkitkan kembali kejayaan bangsa mereka sendiri.

Dengan didukung oleh faksi Syi’ah, orang-orang Alawiy justru menggerakkan masa untuk merebut kekuasaan di bawah pimpinan Abu Muslim Al-Khurasani. Tetapi kudeta ini berhasil diredam dengan kekuatan militer yang tangguh. Pasca kudeta ini, orang-orang keturunan Alawiy mendapat perlakuan yang kasar dari pihak rezim Abbasiyyah. 

Kekuatan-kekuatan politik pendukung rezim Abbasiyyah di masa Khalifah Al-Mu’tasim (833-842 M) mulai berebut kekuasaan. Al-Mu’tashim memindah pusat kekuasaan ke kota Samara. Kebijakan Al-Mu’tashim memindah pusat pemerintahan ke Samara untuk tujuan menguasai jalur perdagangan di Sungai Dajlah (Tigris).

Adapun kota Baghdad diorientasikan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Marshall GS. Hodgson (2002) menilai kekuasaan Al-Mu’tashim di Samara menjadi makin absolut. Apalagi khalifah ini memberikan kepercayaan penuh kepada para budak Turki untuk menjadi ujung tombak kekuatan militernya.     

Para keturunan Turki (Saljuk) yang pada dasarnya merupakan prajurit-prajurit terlatih yang menjadi pilar kekuatan militer pada masa Al-Mu’tashim memanfaatkan situasi politik yang sedang labil di tubuh rezim Abbasiyyah. Sampai pada masa Al-Mutawakkil (847-861 M), pusat kekuasaan kembali ke kota Baghdad, tetapi pengaruh militer Turki amat mendominasi pemerintahan.     

Pada puncaknya, orang-orang keturunan Turki Saljuk melakukan kudeta militer dan berhasil menduduki kota Baghdad. Mereka berhasil membunuh Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) yang dianggap tidak cakap memimpin negara. Putra Al-Mutawakkil, yakni Al-Muntashir (861-862 M), diangkat sebagai khalifah atas prakarsa dan dukungan militer orang-orang Turki. Pada akhirnya orang-orang Turki Saljuk berhasil menggantikan dominasi orang-orang Alawiy di tubuh pemerintahan Abbasiyyah. 

Baca Juga  Muhammadiyah: Matahari yang Kian Redup?

Kudeta militer inilah, menurut Marshall GS. Hodgson, menjadi cikal-bakal runtuhnya Dinasti Abbasiyyah. Setelah kudeta militer ini, Dinasti Abbasiyah kehilangan otoritas di beberapa propinsinya. Pada tahun 864-928 M Thabristan (sub Kaspia) memisakan diri dari pemerintahan Abbasiyah. Disusul pada tahun 864-906 M para gubernur di Mesir (keturunan Ibnu Thulun) memproklamirkan kemerdekaan mereka. 

Dinasti Abbasiyyah makin lemah pada sekitar tahun 900 M, ketika beberapa propinsi membrontak menuntut kemerdekaan. Sementara para khalifah yang berkuasa bukanlah orang-orang yang cakap dan kuat untuk meredam gerakan pemberontakan. Pada akhirnya, Syria, Iran Barat, Iran Barat, Mesir, Afrika Utara, Arabia Timur, Andalusia, dan lain-lain, memisahkan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyyah.

Selain tidak mampu meredam sparatisme, Dinasti Abbasiyyah periode akhir dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak cakap. Satu persatu wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyyah jatuh ke tangan bangsa lain. Pada 1085 M., tentara Kristen dengan mudah menaklukkan Toledo (Spanyol). Tahun 1091 M., bangsa Norman (Prancis Selatan) menaklukkan Sisilia. Satu persatu wilayah kekuasaan Islam jatuh ke tangan bangsa lain.  

***

Baghdad tahun 1258 M. Khaled Abou El-Fadl (2002) melukiskan bencana peradaban yang terjadi pada 749 tahun yang silam. Ketika jalan-jalan protokoler di pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyyah dipenuhi warna merah darah. Bau anyir menyengat dari mayat-mayat yang bergelimpangan dengan tubuh terpotong-potong. Air sungai Dajlah (Tigris) menghitam pekat. Arusnya tersumbat oleh tumpukan kitab-kitab bernilai tinggi yang menjadi sasaran amukan bangsa barbar.

Puluhan ribu kitab karya intelektual Muslim yang telah dikumpulkan selama berabad-abad musnah dalam sekejap. Bangunan-bangunan megah dengan seni arsitektur dan ornamen khas nan indah di pusat kota hancur. Wisma Kearifan (Bait Al-Hikmah) pun tak mampu membendung kebengisan orang-orang Mongol di bawah komando Hulagu Khan.

Tahun 1261 M Dinasti Abbasiyyah hanya tinggal sejarah. Propinsi-propinsi di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyyah sudah berdiri independen menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kota Baghdad sebagai pusat kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sudah hancur. Tampaknya, sejarah terulang kembali di kawasan ini. 

Kota Baghdad pada sekitar 6000 tahun yang silam adalah pusat peradaban dunia tertua (Mesopotamia). Kawasan subur di antara dua sungai, Furat (Euphrate) dan Dajlah (Tigris) ini, sejak Millenium Ketiga Sebelum Masehi (SM), sudah menjadi ajang rebutan antar bangsa.

Orang-orang keturunan suku Arab (bangsa Akkad) yang hijrah ke tepi Laut Tengah pada Millenium Ketiga Sebelum Masehi menyerbu bangsa Sumeria menaklukkan kawasan ini. Bangsa Akkad ditaklukkan oleh bangsa Arya (Dinasti Elam) yang mendiami kawasan stepa di Kaukasia. Tahun 1258 M, bangsa Mongol menaklukkan Dinasti Abbasiyyah di kawasan ini pula. 

Itulah kenyataan bahwa peradaban jika tanpa ditopang oleh kekuasaan yang kokoh maka akan lekas runtuh! (Bersambung)  

***

*)Tulisan ini merupakan seri ketujuh dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.

Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah

Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash

Seri 4 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban

Seri 5 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Seri 6 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan

Editor: Yusuf

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds