Perspektif

Manusia Mengikuti Agama atau Agama Mengikuti Manusia?

4 Mins read

Antara Syariat dan Maslahat

Seringkali pertanyaan yang selalu muncul terkait dengan isu ini, adalah bagaimana apabila pertimbangan hukum atas dasar kemaslahatan tersebut bertentangan dengan bunyi literal teks suci, baik al-Qur’an maupun hadits dan dengan ijma’ ulama. Apakah manusia mengikuti agama atau sebaliknya agama mengikuti manusia?

Mengenai hal ini, menarik sekali untuk dikemukakan pandangan Dr. Musthafa Syalabi dalam bukunya Ta’lil al-Ahkam yang mengatakan:

انها (المصلحة)  إِذَا تَعَارَضَتْ مَعَ النَّصِّ فِى اَبْوَابِ الْمُعَامَلاَتِ وَالْعَادَاتِ الَّتِى تَتَغَيَّرُ مَصَالِحُهَا اُخِذَ بِهَا وَلَيْسَ هَذَا إِهْدَاراً لِلنَّصِّ بِمُجَرَّدِ الرَّأْىِ , بَلْ هُوَ عَمَلٌ بِالنُّصُوصِ الْكَثِيرةِ الدَّالَّةِ عَلى اعْتِبَارِهَا. وَاَمَّا إِذَا كَانَتْ الْمَصْلَحَةُ الْمُسْتَفَادَة مِنَ النَّصِّ لَا تَتَغَيَّرُ فَلَا يُتْرَكُ النَّصُّ اَصْلاً

Apabila kemaslahatan bertentangan dengan nash (teks), dalam bidang muamalat dan adat-kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah, maka kemaslahatanlah yang harus dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang nashmelalui semata-mata pendapat nalar/akal.

Sebaliknya, lanjut Musthafa Syalabi, “ia justeru mengaplikasikan “nash-nash” yang sangat banyak yang menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan tersebut. Akan tetapi, apabila kemaslahatan dalam nash” tidak berubah, maka “nash” sama sekali tidak boleh diabaikan.”

Kemudian, selanjutnya Musthafa Syalabi mengatakan:

وَمَنْ اَمْعَنَ النَّظْرَ فِى هذا التَّعَارُض وَجَدَ صُورِيًّا فقط, لِاَنَّ النَّصَّ وَرَدَ لِمَصْلَحَةٍ خَاصَّةٍ, وَلَمَّا انْتَهَتْ انْتَهَى عَمَلُه, اَوْ جَاءَ مُعَلَّلًا بِعِلَّةٍ خَاصَّةٍ, فَلَمَّا زَالَتْ هَذِه الْعِلَّةُ انْتَهَى الْعَمَلُ بِه. وَهَذَا فَهْمُ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُم

Siapapun yang merenungkan secara mendalam tentang adanya kontradiksi tersebut, hal itu sebenarnya hanyalah dalam bentuk lahiriyahnya saja. Hal ini karena nash sesungguhnya diturunkan Tuhan (dibuat) dalam rangka menegakkan kemaslahatan tertentu. Manakala kemasalahatan tersebut telah hilang, maka ia tidak relevan lagi untuk diimplementasikan. Demikian pula apabila nash disertai dengan illat-nya (logika kausalitas). Manakala illat tersebut hilang, maka hukum tersebut juga selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan generasi sesudahnya.”

Syahdan, Umar bin Khattab, adalah tokoh besar yang banyak sekali mendasarkan keputusannya berdasarkan prinsip kemaslahatan ini. Beberapa di antaranya adalah pembatalan hukuman potong tangan ketika masyarakat menghadapi situasi krisis pangan. Banyak rakyat yang kelaparan.

Ia juga tidak membagikan tanah rampasan perang kepada para tentera, tetapi menyerahkannya kepada Negara untuk kepentingan yang lebih luas. Padahal, Nabi membagikannya kepada para prajurit. Lalu talak tiga yang diucapkan suami kepada isterinya menjadi jatuh tiga. Keputusan-keputusan Umar ini berbeda dari keputusan Nabi.

Baca Juga  Islam, Dekade Baru, dan Muhammadiyah

Apakah dengan Begitu Umar Menentang Nabi?

Jawabannya adalah tentu tidak. Tindakan Umar tidaklah berarti bahwa dia menentang Nabi. Umar justru menegakkan maksud dan visi al-Qur’an, sebagaimana juga Nabi. Ia memahami bahwa hukum yang diputuskan Nabi adalah relevan dengan kemaslahatan sosialnya. Akan tetapi, akibat perkembangan sosial pada masanya, keputusan Nabi tersebut tidak lagi sesuai dengan kemaslahatan sosialnya.

Mengenai persoalan talak tiga yang jatuh tiga, Ibnu al-Qayyim menginformasikan argument Umar dengan mengatakan:

كَانَ الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَفِى عَهْدَ اَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَر بن الخطاب يَقَعُ وَاحِداً. لَكِنَّ النّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ, فَلَوْ اَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِم. رواه مسلم

“Talak (cerai) tiga pada masa Nabi Saw, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar serta dua tahun masa Umar jatuh satu. Akan tetapi masyarakat kemudian menuntut kesegeraan pada masalah yang seharusnya dilakukan bertahap. Mereka berharap kami memenuhinya. Maka aku putuskan sesuai dengan kehendak mereka.”

Memang betul, membaca fiqih para ulama pendiri mazhab maupun para pengikutnya. Tampak jelas bahwa pandangan mereka hampir selalu berbeda-beda dan beragam, meskipun mendasarkan diri pada sumber hukum yang sama. Beberapa contoh kasus, misalnya wali nikah perempuan, saksi nikah, usia dewasa, talak tiga dan sebagainya.

Keputusan mereka sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu mereka yang berbeda dan dinamis. Pandangan-pandangan fiqh Islam tidak lain kecuali merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan sosial dalam masyarakat Islam. Pandangan-pandangan fiqh itu berubah, berkembang dan berganti-ganti sejalan dengan situasi zaman dan konteks sosialnya masing-masing.

Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa, hukum-hukum yang dirumuskan dari kasus yang berkembang dan berubah, niscaya ia juga akan berubah dan berkembang. Mereka kemudian melahirkan kaidah hukum “La Yunkaru Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal” (perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial). Ibnu al-Qayyim menyampaikan kaidah ini secara lebih lengkap. Ia mengatakan:

تَغَيُّرُ الْفَتْوَى وَاخْتِلَافُهَا بِحَسَبِ تَغَيُّرِ الْاَزْمِنَةِ وَالْاَمْكِنَةِ وَالْاَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ

Perubahan fatwa dan perbedaannya berdasarkan perubahan zaman, tempat, kondisi social, motivasi dan adat-istiadat (tradisi).

Lalu Bagaimana dengan Prinsip Kemanusiaan Universal?

Lebih jauh dari sekedar keharusan terjadinya perubahan hukum karena perubahan ruang, waktu dan perkembangan sosial. Ternyata perumusan hukum juga meniscayakan prinsip-prinsip yang lebih mendasar, yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Para ulama menyebutnya sebagai “Al-Kulliyyat al-Khams” (lima prinsip universal) atau “al-Dharuriyyat al-Khams” (lima prinsip niscaya) dan “Maqashid al-Syariah” (tujuan syari’at/agama).

Baca Juga  Menjadi Manusia Sesuai Alquran

Prinsip-prinsip ini telah dirumuskan oleh antara lain Imam al-Ghazali dalam Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul, dan diuraikan lebih luas oleh Imam Al-Syathibi dalam bukunya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah.

Yakni: Hifzh al-Din (perlindungan terhadap agama/keyakinan, Hifzh al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup (life), Hifzh al-Aql (perlindungan terhadap hak berpikir dan mengekspresikannya, Hifzh al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi dan Hifzh al-Mal (perlindungan terhadap hak-hak milik/property).

Belakangan ini, sejalan dengan realitas baru yang terus berkembang, banyak pemikir muslim yang menambahkan dua prinsip lagi. Yaitu Hifzh al-Irdh (perlindungan atas kehormatan) dan Hifzh al-Biah (konservasi lingkungan alam). Lima (atau tujuh) prinsip di atas dinyatakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi sebagai konsensus agama-agama (Ittifaq al-Milal).

Berbeda dengan sementara Dr. Abdullah Darraz mengatakan:

اَمَّا حِفْظُ شَيئٍ مَنَ الضَّرُورِيَّاتِ الْخَمْسَةِ : الدِّينِ وَالنَّفْسِ وَالْعَقْلِ وَالنَّسْلِ وَالْمَالِ, الَّتِى هِى أُسُسُ اْلعُمْرَانِ الْمَرْعِيَّة فِى كُلِّ مِلَّةٍ وَالَّتِى لَوْلاَهَا لَمْ تَجْرِ مَصَالِحُ الدُّنْياَ عَلىَ اسْتِقَامَةٍ وَلَفَاتَتِ النَّجَاةُ فِى اْلاَخِرَةِ

Lima prinsip di atas merupakan dasar-dasar pembangunan/kemajuan masyarakat dalam semua agama. Tanpa lima dasar ini kehidupan bersama manusia tidak akan stabil dan kebahagiaan di akhirat tak akan dicapai”.

Pandangan ini pada gilirannya membawa serta konsekuensi dan keharusan, bahwa kita semua dituntut berjuang dan bekerja secara terus menerus dan tanpa lelah, untuk menghormati kesucian martabat orang lain, menegakkan keadilan, menaklukkan kecenderungan egoisme dan arogansi yang ada dalam diri kita sambil meletakkan orang lain di dalam hati kita, dan memandang tiap manusia tanpa kecuali, sebagai ciptaan Tuhan yang setara dan mulia.

Semua tindakan dan sikap yang baik di atas betapapun beratnya, sesungguhnya tidaklah akan sia-sia dan tidak akan hilang ditelan embusan angin kemarau. Melainkan akan selalu berguna bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain dan alam semesta. Tuhan tak pernah mengabaikan kerja-kerja manusia sekecil apapun.

Catatan Akhir

Ibnu Asyur, pemikir Islam kontemporer dan penulis Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir, mengemukakan pandangannya. Beliau mengatakan:

شريعة الاسلام جآءت لما فيه صلاح البشر فى العاجل والآجل أى فى حاضر الامور وعواقبها وليس المراد بالآجل أمور الآخرة . لان الشرائع لا تحدد للناس سيرهم فى الآخرة ولكن جعلها الله جزآء على الاحوال التى كانوا عليها فى الدنيا. لما كانت شريعة الاسلام ضابطة للسلوك الدنيوى فان المصلحة التى جاءت لتحقيقها لا يمكن ان تكون الا دنيوية , تهدف فى المقام الاول الى ضبط العالم الدنيوى

Baca Juga  Kritik Ivan Illich Terhadap Pendidikan Masa Kini

Syariah Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di dunia sekarang dan nanti. Yang dimaksud dengan nanti bukanlah kehidupan di akhirat. Karena semua syariat tidak mengatur urusan kehidupan manusia di akhirat, akan tetapi Allah menjadikan akhirat sebagai tempat dan saat pertanggungjawaban manusia atas perbuatan/tingkah lakunya selama di dunia. Manakala syariat Islam merupakan aturan manusia di dunia, maka kemaslahatan yang harus diwujudkan tidak mungkin kecuali di dalam dunia ini. Ia diarahkan, dalam posisi utama, untuk pengaturan manusia di alam dunia. (Baca: Ismail alHasani, Nazhariyat alMaqashid ind alImam Muhammad Thahair ibn Asyur, alMahad alAlami li al Fikr al Islami, [Virginia, USA, cet. I, 1995], hal. 281).

Namun demikian, rumusan tersebut sepertinya berbeda dengan pandangan mayoritas ulama. Pada umumnya, para ulama menyatakan bahwa syari’at dimaksudkan untuk kebaikan/kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat (fi al-maasy wa al-maad atau fi al-dunia wa al-akhirah). Akhirat dimaksudkan sebagai suatu kehidupan sesudah kematian manusia.

Ibnu Asyur tampaknya sengaja mengemukakan hal itu dalam rangka menegaskan tentang perlunya kaum muslimin memberikan apresiasi lebih besar terhadap persoalan-persoalan sosial/publik, kebangsaan dan kemanusiaan daripada urusan-urusan individual.

Ibnu Asyur merasakan bahwa selama kurun waktu yang panjang, perhatian kaum muslimin terhadap urusan syariah individual begitu dominan. Sementara itu mereka kurang responsif terhadap urusan-urusan sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta hal-hal publik lainnya.

Jamal al-Banna dalam bukunya “Nahwa Fiqh Jadid” menyebut: tulisan-tulisan para ulama fiqh tentang ibadah personal jauh lebih banyak daripada tentang al-muamalat. Ia mengungkapkan:

تضخم الفقه العبادى تضخما غطى على بقية مجالات وموضوعات الفقه الاسلامى الذى يضم الشريعة وما فيها من نظم سياسية واقتصادية واجتماعية

“Fiqh ibadah berkembang begitu besar. Ia mendominasi bidang-bidang dan kajian-kajian fiqh Islam, di mana syariat meliputi aturan-aturan tentang politik, ekonomi dan sosial.” Jika pandangan ini diikuti maka mungkin akan menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kebudayaan muslim. Wallahu a’lam bisshawab.

Editor: Soleh

Salman Akif Faylasuf
59 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds