Siapa yang tidak kenal dengan Abdullah Ahmed An-Naim. Ia adalah pemikir yang berasal dari Sudan. Murid dari seorang tokoh sufi yang terkenal karena pernah dieksekusi oleh rezim militer Sudan di bawah Jenderal Gaafar Muhammad an-Nimeiry. Namanya adalah Mahmud Muhammad Taha.
Abdullah Ahmed An-Naim mengembangkan banyak gagasan dari gurunya. Ia melewatkan pendidikannya di bidang Hukum HAM dan Hukum Internasional, Hukum Konstitusional di Inggris. Rupanya, selain sering berkunjung ke Indonesia, buku-bukunya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dua buku beliau yang sangat penting. Pertama, Toward an Islamic Reformation; kedua, Islam and the Secular State.
Mengapa An-Naim Sangat Penting untuk Dibahas?
Jawabannya adalah, karena Abdullah Ahmed An-Naim termasuk salah satu dari sedikit sarjana muslim modern, yang mencoba untuk memikirkan ulang hubungan antara ajaran Islam dengan gagasan modern mengenai Hak Asasi Manusia.
Sebenarnya, ada banyak hal di dalam praktek gerakan-gerakan Islam modern dan pemikiran Islam modern, yang menurut An-Naim bermasalah. Karena bertentangan dengan gagasan HAM modern. Misalnya, gagasan tentang hukuman bagi orang murtad.
Dalam teori Hukum Islam tradisional, ada satu pendapat bahwa kalau ada orang keluar dari Islam, maka dia harus dibunuh hukumannya. Ini sebagaimana dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib menukil hadits:
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari).
Itu artinya kata An-Naim, misalnya kalau orang pindah agama dibunuh, apakah itu bertentangan dengan gagasan modern mengenai kebebasan keyakinan? Apakah tidak bertentangan dengan konsep Islam yang sudah jelas tidak ada paksaan dalam agama ini?
Sebuah ayat yang terkenal di dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 256, Allah Swt berfirman:
لَاۤ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ ۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِۢاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَاانْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah[2]: 256).
Konsep Reinterpretasi tentang Murtad
Abdullah Ahmed An-Naim mengatakan, bahwa kita harus melakukan reinterpretasi terhadap konsep atau hubungan antara gagasan Islam tentang murtad dengan HAM. Baginya, prinsip Islam mengenai kebebasan beragama yang dicerminkan melalui surah Al-Baqarah [2]: 256 itu, bersifat universal.
Sebetulnya, hukuman bunuh bagi orang murtad itu adalah hukuman yang lahir karena situasi sejarah yang sangat spesifik. Itulah dalam situasi sejarah dimana pindah agama atau keluar agama pada masa dahulu, dipandang sebagai pengkhianatan politik. Sebab, pada zaman dulu identitas politiknya seseorang ditentukan oleh agama.
Yang jelas, hal ini berbeda dengan sekarang di zaman modern. Dimana, konsep mengenai citizenship atau kewarganegaraan tidak dibangun berdasarkan konsep agama. Justru, sekarang warga negara dalam negara modern bisa siapa saja. Akan tetapi, dia harus diakui sebagai warga negara dan tidak ada diskriminasi di situ.
Syahdan, di dalam negara tradisional, kewarganegaraan itu ditentukan dengan agama orang bersangkutan. Dalam hal ini, kalau dalam negara Islam anda seorang muslim, maka anda warga negara utama. Kalau anda hidup di negara Kristen, maka kalau anda orang Kristen, anda warga negara utama. Selebihnya anda dalam warga negara kedua.
Itu sebabnya, pindah agama pada zaman itu dianggap sebagai pengkhianatan terhadap negara. Oleh karena itu, sekali lagi, saat itu pindah agama sebagai sesuatu yang serius sekali. Dan, orang yang murtad itu sebetulnya adalah praktek separatisme atau pembangkangan terhadap negara, sehingga kalau dibunuh itu bisa dimaklumi.
Nah, konteksnya sekarang sudah berubah. Konsep mengenai kewarganegaraan basisnya bukan lagi agama, akan tetapi kewarganegaraan yang tidak diikatkan dengan agama. Anda menjadi warga negara Indonesia bukan karena anda Muslim atau bukan karena anda Kristen dan Hindu, melainkan karena anda tinggal di Indonesia dan loyal dengan negara Indonesia.
Dengan demikian, bagi Abdullah Ahmed An-Naim hukuman murtad berupa hukuman bunuh sangat tidak relevan lagi. Apalagi hukuman yang bertentangan dengan HAM. Pun, juga dengan prinsip utama dalam Islam tentang kebebasan keyakinan.
Sementara buku kedua An-Naim adalah Islam and the Secular State. Dalam buku ini Abdullah Ahmed An-Naim mengatakan, bahwa di dalam negara sekulerlah orang itu bisa menjadi beragama yang sesuai dengan apa yang dia yakini. Dalam negara agama, kalau anda beragama atau berkeyakinan tidak sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh negara itu, maka anda akan menjadi warga negara kelas dua.
Dalam negara sekuler (dalam pengertian negara yang netral) yang tidak memihak salah satu agama, seperti menjadi praktek di dalam negara modern sekarang ini, anda bisa hidup sebagai orang beriman atau beragama sesuai dengan apa yang anda yakini. Kalau anda orang Syiah, Sunni dan lainnya, maka anda bebas. Karena negara tidak memihak kepada satu keyakinan tertentu itu. Inilah inti gagasan An-Naim dalam buku keduanya yaitu Islam and the Secular State. Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Soleh