Oleh: Azaki Khoirudin
Dalam situasi intern umat Islam dan antarumat beragama di Indonesia, muncul seorang pembaru, yaitu A. Mukti Ali (1923-2004). Sosok intelektual Muslim yang visioner, pluralis dan sangat menghargai ilmu. Banyak julukan yang disematkan kepada A. Mukti Ali seperti “Penggagas Kerukunan Umat”, atau “Bapak Kerukunan Antaragama”, “Bapak Ilmu Perbandingan Agama”
Sekembali dari Kanada, tahun 1957 sampai diangkat menjadi Menteri Agama pada 11 September 1971, Mukti Ali bekerja di Departemen Agama dan mengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, yang kemudian menjadi IAIN dan kini UIN Sunan Kaligaja. Puncak karir akademiknnya diraih saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Agama di kampus ini. (Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, 22-23)
Mukti Ali dilantik menjadi Menteri Agama menggantikan K.H. Muhammad Dachlan Kabinet Pembangunan I. Kemudian diangkat lagi pada periode kedua (1973-1978) pada Kabinet Pembangunan II Orde Baru. Tak banyak yang mengetahui mangapa seorang yang tak berlatar belakang politik, dipercaya menjadi Menag. Beberpa analisis, ditunjuknya Mukti Ali memimpin Departemen Agama adalah untuk melakukan pembaruan kebijakan. Dengan keahliannya di bidang ilmu perbandingan agama, dan keaktifan di forum antarumat beragama, ia dianggap kompeten.
Delapan Masalah Pokok
Paling tidak, Singgih Basuki dalam Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali (2013), menyatakan ada delapan masalah pokok yang harus diselesaikan oleh Mukti Ali saat menjadi Menteri Agama.
Pertama, masalah pembangunan manusia seutuhnya, sebagaimana tugas dan perhatian utama Departemen Agama saat ia diangkat menjadi Menag. Hal ini terjadi setelah Depag tak lagi dijadikan obyek kepentingan partai atau golongan. Sampai-sampai Mukti Ali mendapat julukan “Menteri Manusia Seutuhnya” (Soeroyo, dalam 70 Tahun H.A. Mukti Ali, h. 95). Ada juga yang berhasil mengubah Depag sebagai “Departemen Pembangunan” (Singih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, h. 26).
Kedua, masalah kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Masalah ini sebenarnya telah dirintis oleh Menag sebelumnya dengan cara mempertemukan tokoh-tokoh agama, tetapi usaha tersebut belum berhasil. Mukti ali melanjutkan upaya tersebut dengan keahlian yang dimiliki, yaitu “Ilmu Perbandingan Agama”. Setidaknya sampai 1971, belum ada yang membcarakan tentang hubungan antar umat beragama ini secara ilmiah dan terbuka. Dalam rangka memperkokoh suasana rukun antar umat beragama, dibentuklah Badan Musyawarah antar Umat Beragama. Badan ini berfungsi menyelesaikan masalah yang muncul dalam kehidupan beragama, sehingga mewujudkan toleransi beragama (Mohammad Damami dkk, dalam Limah Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 261).
Ketiga, menegaskan Indonesia sebagai negara Pancasila. Ketika muncul polemik kenegaraan (politik), yakni kekhawatiran Indonesia antara menjadi negara sekuler atau sebaliknya negara teokratis. Kemudian dimunculkan penegasan posisi Indonesia sebagai negara Pancasila, yang bukan sekuler dan bukan pula teokratis.
Keempat, pendidikan intern umat Islam. Pada waktu itu, lulusan sekolah-sekolah agama tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi umum. Di samping aturannya yang tidak jelas, juga kemampuan pengetahuan siswa yang kurang. Pada periode ini, lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri: Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri No. 037/U/1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasag tanggal 24 Maret 1975. Keputusan pentingnya adalah ijazah Madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan madrasah dapat melanjutkan setingkat atas pada sekolah umum, serta siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum setingkat.
Kelima, peningkatan kualitas studi agama di IAIN, dengan melakukan pembenahan mutu tenaga pengajarnya dengan menyelenggarakan PGC (Post Graduate Course), SPS (Studi Pasca Sarjana) yang kemudian menjadi embrio Program Pascasarjana. Selain itu juga melakukan pengiriman dosen-dosen untuk belajar ke luar negeri. Untuk mengembangkan penelitian agama, maka dibuka PLPA (Pusat Latihan Penelitian Agama).
Keenam, membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan merebaknya sentiment antar kelompok di masyarakat maupun kelompok agama dengan pemerintah. Khusus kelompok agama, Katolik terhimpun dalam MAWI (Majlis Agung Wali Greja) yang kemudian menjadi KWI (Konferensi Wali Greja), Protestan terhimpun dalam DGI (Dewan Greja Indonesia) kemudian berubah menjadi PGI (Persekutuan Greja Indonesia), Budha tergabung dalam WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia), serta Hindu dalam PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia). Sementara umat Islam belum memiliki lembaga mediator untuk berkomunikasi dengan mereka dan pemerintah, maka pada tahun 1975 atas Prakarsa Mukti Ali dibentuklah MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dengan adanya MUI diharapkan muncul suasana saling menghargai, saling mempercayai, serta saling membantu dalam mensukseskan pembangunan (ibid, h. 264).
Ketujuh, peningkatan kualitas sumber daya manusia di pesantren. Berangkat dari keprihatinan nasib kehidupan pesantren yang hanya focus mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dalam makna sempit. Mereka tak diajarkan pengetahuan umum sebagai bekal di masyarakat. Mukti Ali berupaya mengangkat martabat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan memasukkan pengetahuan umum, keterampilan, dan teknologi dalam kurikulum pesantren. Berbagai keterampilan tersebut antara lain: perikanan, pertanian, pertukangan, perbengkelan, dll.
Kedelapan, menyelesaikan polemik RUU Perkawinan, hingga akhirnya disahkan. Mukti Ali diberikan tugas untuk mempelajari RUU perkawinan, karena itu orang yang paling bertanggung jawab baik di mata pemerintah maupun umat Islam.
Agama dan Pembangunan
Menurut Taufik Abdullah, Menteri Agama pada masa Orde Baru memiliki tiga tugas utama. Pertama, menjadi juru bicara pemerintah kepada umat Islam, disamping juga membela kepentingan umat Islam. Kedua, bertanggung jawab terhadap berlangsungnya hubungan antarumat beragama yang harmonis. Ketiga, sebagai pemimpin masyarakat Islam dalam upaya bersama meningkatkan kualitas pendidikan dan intelektualitas umat (Mark Woward, Jalan Baru, h. 71-72).
Sebagai Menteri Agama, yang diangkat pada awal dasawarsa 1970an, saat Departemen Agama identik dengan aspirasi keagamaan Islam dan dikenal sensitif dengan isu modernisasi. Mukti Ali memikil tugas berat, yakni mengubah pandangan keagamaan umat beragama untuk melincinkan program-program modernisasi Orde Baru.
Fokus pemikirannya mencakup konteks kemanusiaan, keilmuan dan kebangsaan. Dalam konteks kebangsaan, kondisi bangsa yang pluralistic yang rentan dengan konflik antaragama, Mukti Ali mengemukakan konsep kerukunan intra dan antarumat beragama dengan prinsip agree in disagreement.
Dalam konteks keilmuan, Mukti Ali mengembangkan pendekatan scientific-cum-doctrine, yang memadukan antara normative dan empiris dalam memahami agama.
Dalam konteks kemanusiaan, Mukti Ali berhasil memantapkan posisi Agama dalam pembangunan nasional. Hal ini ditandai dengan masuknya pembangunan bidang agama pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kemudian dikenal dengan “Pembangunan Manusia Seutuhnya”. Dengan itu, umat beragama diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan.