Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa; tunangan atau bertunangan adalah bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan menjadi suami-isteri. Dengan ungkapan lain, tunangan atau bertunangan adalah sebuah proses menjalin komitmen antara seorang laki-laki dan perempuan yang dicintai, biasanya ditandai dengan saling bertukar cincin sebagai tanda ikatan tunangan.
Dalam istilah Jawa, tradisi tunangan disebut dengan “Tetalen”, yang berasal dari kata “Tali”, artinya; seseorang yang telah terlibat dalam tunangan tersebut seakan-akan mereka berada dalam sebuah ikatan tali. Sehingga kedua pasangan tidak bisa sesuka hati memilih atau menerima orang lain ke jenjang pernikahan. Selagi ikatan tersebut belum terputus atau dilepas oleh salah satu pihak atau berdasarkan kesepakatan keduanya.
Praktek tunangan di berbagai daerah memiliki istilah yang berbeda-beda seperti, tunangan, ta’aruf, acara pra nikah, dan lain sebagainya. Tetapi sekalipun antara satu daerah dengan daerah lainnya menggunakan istilah yang berbeda-beda, namun dalam praktiknya diisi dengan rangkaian acara atau seremonial yang hampir sama (tidak jauh berbeda).
***
Dalam Islam, tunangan sebagaimana praktek yang umumnya terjadi di tengah masyarakat, tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW. Karena merupakan tradisi yang muncul dan berkembang dalam masyarakat tertentu. Namun terkadang, istilah tunangan ini sering diidentikkan oleh sebagian orang dengan istilah khitbah.
Padahal antara “Tunangan” dan “Khitbah” (melamar) memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Khitbah merupakan proses melamar wanita yang akan dinikahinya, yang selanjutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama, dilanjutkan dengan proses pernikahan. Khitbah menurut syariat Islam adalah langkah penetapan atau penentuan sebelum pernikahan dilakukan dengan penuh kesadaran, kemantapan , dan ketenangan untuk menentukan pilihannya. sehingga tidak terlintas dalam benaknya untuk membatalkan pinangan tanpa ada faktor yang dibenarkan.
Hal ini karena membatalkan pinangan dapat menyakiti perasaan wanita yang dipinang beserta keluarga besarnya, merusak kemuliaan dan nama baiknya, dapat memutuskan tali silaturahmi, serta tidak sesuai dengan akhlak yang mulia (akhlaq karimah).
***
Dengan demikian, khitbah merupakan sebuah proses pra nikah yang diperbolehkan dalam Islam.
Istilah khitbah dalam syariat Islam dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi SAW. Antara lain:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا كَانَ يَقُولُ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ [رواه البخارى]
“Bahwa Ibnu Umar ra. [diriwayatkan] berkata, Nabi saw. telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya, dan janganlah seseorang meminang atas pinangan orang lain sehingga ia meninggalkannya atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.” [HR. al-Bukhari].
Dalam hadis lain juga disebutkan pula:
عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ [رواه البخاري و مسلم].
“Dari al-A’raj [diriwayatkan] ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi saw., beliau bersabda: Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya sampai ia menikahinya atau meninggalkannya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Sedangkan praktik tunangan dengan saling memakaikan cincin, saling pegangan atau bahkan dengan cium kening atau pipi pasangannya, dalam syariat Islam termasuk sesuatu yang dilarang. Karena dua insan yang menjalin ikatan pertunangan maupun khitbah tetaplah sebagai pasangan yang belum diikat dengan pernikahan yang syar’i. Sehingga mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan berbagai tindakan sebagaimana layaknya pasangan suami-istri, seperti berduaan, berpegangan tangan, maupun hidup serumah.
***
Dengan demikian, jika terdapat, katakanlah, ungkapan yang menyatakan bahwa “Seorang tunangan laki-laki mempunyai setengah kewajiban dari calon istrinya”, tentu merupakan pernyataan dan sikap yang tidak memiliki dasar sama sekali. Dengan ungkapan lain; bahwa orang yang bertunangan tidak memiliki kewajiban maupun hak untuk memberi dan mendapatkan nafkah baik lahir (sandang, pangan, dan papan) maupun nafkah batin.
Namun jika yang dimaksudkan itu adalah kewajiban untuk menjaga janji atau kesepakatan bersama atau menjaga nama baik masing-masing pihak, maka itu merupakan kewajiban setiap orang yang menjalin perjanjian atau hubungan kerjasama (muamalah) selama hal tersebut tidak bertentangan dengan norma dan hukum agama.
Oleh sebab itu, sebagai sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, tunangan perlu diatur dan diberikan rambu-rambu atau ketentuan-ketentuan agar tidak bertentangan dengan syari’at Islam, antara lain:
Pertama, Laki-laki dan wanita yang menjalin ikatan pertunangan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum agama Islam, seperti bersentuhan, berduaan, atau tinggal serumah layaknya pasangan suami-istri serta berbagai tindakan yang dilarang oleh agama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi SAW:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ [رواه البخاري ومسلم]
“Dari Ibnu Abbas [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda: Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Kedua, Hendaknya saling menjaga nama baik diri dan keluarga besar masing-masing pihak, dengan tidak menceritakan aib atau kekurangan pihak lain serta tidak melakukan berbagai tindakan dan pernyataan yang dapat merusak nama baik diri maupun keluarga besarnya.
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [رواه البخاري ومسلم]
“Dari Ibnu Syihab bahwa Salim mengabarkannya bahwa Abdullah bin Umar ra. mengabarkannya bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan suatu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Ketiga, Menjaga dan menepati janji yang telah diikrarkan di hadapan keluarga besarnya, karena melanggar janji merupakan perbuatan tercela dan termasuk ciri-ciri orang munafik.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ [رواه البخاري ومسلم]
“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda: Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Keempat, Pada prinsipnya, seseorang tidak boleh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada pihak lain, kecuali jika terjadi pengkhianatan terhadap kesepakatan yang telah diikrarkan sejak awal, hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ [رواه البخاري ومسلم]
“Dari Ibnu Abbas ra. [diriwayatkan] dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Orang yang menarik (mengambil) kembali pemberiannya, seperti seekor anjing yang muntah dan memakan (menjilat) kembali muntahannya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Kelima, seseorang yang sudah berniat untuk menikah, sepatutnya segera menikah tanpa harus menunggu-nunggu atau menunda-nunda. Baik dengan cara bertunangan atau sejenisnya untuk menghindari sesuatu yang dilarang oleh agama seperti berkhalwat (berdua-duaan), pegang-pegangan dan tindakan lain yang dilarang oleh agama.
عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ … لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ [رواه البخاري ومسلم]
“Dari Alqamah [diriwayatkan] ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda kepada kita: Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan menanggung beban pernikahan, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Namun jika hal tersebut dilakukan karena pertimbangan tertentu yang sangat vital, maka hendaknya dilaksanakan layaknya silaturahmi dua keluarga besar untuk menjalin sebuah komunikasi dan komitmen tentang masa depan hubungan anaknya sebelum melangkah ke pelaminan (ta’aruf). Serta menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama seperti berduaan (berkhalwat), tinggal serumah, berpegangan, maupun mengadakan kegiatan (seremonial) yang berlebihan (tabzir).
Hal ini karena sesuatu yang disyariatkan dalam konteks pernikahan adalah; khitbah untuk mengenal calon pasangan, akad nikah dan walimah, dan bukan dengan cara-cara yang tidak dituntunkan oleh agama serta membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap ajaran agama.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
.
Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No. 29 Tahun 2015