Feature

Alasan Anak Muda Nggak Suka Dijodohin Sama Orang Berseragam

3 Mins read

Orang tua senang dengan jodoh atau menantu yang berseragam. Mulai dari PNS, karyawan di perusahaan besar, pegawai kedinasan, sampai militer. Namun sepertinya anak muda nggak suka dijodohin sama orang berseragam. Ada beberapa alasan mengapa anak muda nggak suka dijodohin sama orang berseragam.

Sebelum melangkah lebih jauh, tulisan ini sebatas menerjemahkan apa yang terjadi di media sosial, khususnya Twitter. Bukan dengan maksud menjelek-jelekkan institusi tertentu, nanti salah-salah saya malah kena ciduk hehehe…

Kelakuan Orang Berseragam

Akhir-akhir ini, cukup ngetren twit yang memuat kelakuan orang berseragam. Salah satunya di bawah ini:

Hal ini memicu reaksi berantai dari warganet. Sebagai bentuk sarkasme, banyak yang menirukan ujaran oknum tersebut. Memang nggak menjadi trending topic di Twitter, namun sangat mudah menjumpai twit semacam ini.

Sebenarnya fenomena semacam ini sudah cukup lama terjadi. Banyak anak muda, terutama perempuan, yang membocorkan pengalaman buruknya dengan laki-laki berseragam. Mulai dari budaya patriarkis, merasa lebih baik dari masyarakat pada umumnya, sampai kelakuan cringe mendekati banyak perempuan.

Meski begitu, terhitung baru 2 hari hingga saat ini bahasan tentang cowok berseragam sangat ngetren di Twitter. Pada twit di atas saja, tanggapan warganet begitu luar biasa. Tak kurang dari 16 ribu reply, 10 ribu ritwit, dan 41 ribu likes dalam twit tersebut!

Alasan Anak Muda

Meskipun sebatas bercandaan, sepertinya bahasan makin meluas. Terlebih lagi memang ada perempuan yang benar-benar memiliki pengalaman buruk dengan cowok berseragam. Nggak mau terjebak opini yang bersliweran di mesos, saya pun menanyakan ke salah satu teman perempuan, jawabannya identik. Kelakuan semacam oknum tersebut memang umum terjadi.

Baca Juga  Canda Jenaka Buya Syafii

Urusan ini kemudian ditambah lagi dengan dendam banyak warganet, yang kebanyakan anak muda, menghubung-hubungkan kelakuan aparat yang sering berseberangan dengan masyarakat.

Misalnya warganet secara umum menghubungkan dengan “uang damai” yang lazim ditemui saat razia kendaraan. Atau para aktivis yang menghubungkan dengan tindakan represif aparat terhadap pendemo seperti salah satu balasan di bawah ini:

Teman saya ini bercerita bahwa dia memiliki sepupu laki-laki yang “berseragam” itu tadi. Nah, sepupu laki-laki dari teman saya tersebut dengan bangga bercerita ke teman saya bahwa dirinya bisa mendekati banyak perempuan. Istilah si teman saya ini, “Kayak asrama putri hpnya.”

Ketidaksukaan pribadi dan ketidaksukaan kolektif mengarah kepada simpati anak muda yang berkurang pada Polisi. Berdasarkan pemantauan saya via Twitter, saat ini secara umum bisa dibilang bahwa anak muda nggak suka dijodohin sama orang berseragam.

Oknum, Tapi Banyak

Tentu para taruna atau pihak aparat dapat mengklaim bahwa kelakuan yang disorot di medsos adalah kelakuan oknum. Terlebih lagi pastinya perilaku yang tidak disenangi masyarakat tentunya nggak bisa dipakai sebagai ukuran untuk generalisasi.

Namun, berdasarkan pantauan di medsos kelakuan seperti dibahas di atas telah umum diketahui anak muda. Mereka saling mengonfirmasi, mengumpulkan kekuatan untuk nggak ada habisnya membahas isu yang satu ini dari banyak kejadian sesuai pengalaman masing-masing. Jadi bisa dibilang oknum, tapi banyak. Gimana tuh?

Menariknya, saking hits-nya bahasan ini, ada satu akun yang khusus mengetwit testimoni orang-orang (terutama perempuan) yang pernah berurusan dengan para taruna. Berdasarkan pengakuan lewat salah satu twit, bahkan sampai terlalu banyak DM yang masuk. Saking banyaknya orang yang memiliki sentimen negatif (atau minimal lucu) terhadap para taruna maupun aparat. Tak kurang 60 ribu akun Twitter mengikuti akun yang satu ini.

Singkat kata, fenomena ini menggambarkan ketidakpercayaan publik terhadap aparat yang semakin meningkat. Bahkan sampai menjurus ke ranah-ranah privat yang semestinya tidak perlu diambil pusing dan cukup menjadi “rahasia umum”. Karena cukup sulit membuktikan kebenarannya selain berdasarkan testimoni getok tular, dari mulut ke mulut, dari twit ke twit.

Baca Juga  Belajar Filsafat, Siapa Takut!

Tapi apa boleh buat. Memang begitulah kelakuan warganet. Saya cukup nyimak bahasan yang ada saja. Twitter pada akhirnya menjadi arena pelampiasan yang sangat tepat. Warganet bisa menghakimi dan melampiaskan kekesalannya tanpa khawatir. Hal ini bisa dibilang bentuk kritik yang dilengkapi dengan kejengkelan pribadi.

Di satu sisi, orang-orang berseragam bisa dibilang merupakan profesi yang pasti. Gaji cukup besar, kenaikan pangkat jelas, dan memiliki gengsi tinggi di mata masyarakat luas, terutama orang tua. Apalagi titel abdi negara menjadi kehormatan yang dikenal secara umum. Singkatnya, orang berseragam bisa dibilang memenuhi kriteria “mapan”.

Namun, di sisi lain, karena terlanjur kesal, warganet dengan cara dan pengalaman pribadi masing-masing saling berbagi. Lalu perhatian lebih terfokus pada cerita-cerita yang “sepertinya benar” dan “banyak dipercaya” tentang aparat: arogan, mudah mendekati banyak perempuan, dan sarat dengan budaya serta ujaran patriarkis.

***

Muaranya, sepertinya di masa depan anak muda berseberangan dengan generasi orang tua. Jika orang tua merasa terhormat mendapatkan menantu orang “berseragam”, sebaliknya anak muda tidak suka dan menghindarinya. Sepertinya anak muda zaman sekarang cenderung nggak suka dijodohin sama orang berseragam.

20 posts

About author
Mahasiswa UGM. CEO IBTimes.ID
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds