Pendahuluan
Mari kita mulai dengan inti dari krisis peradaban Islam hari ini menurut Ali Allawi. Dalam magnum opus-nya, The Crisis of Islamic Civilization (2009) Allawi melihat bahwa akar dari krisis peradaban yang kita alami hari ini adalah keterhalangan kita dari inti peradaban Islam itu sendiri.
Buku Ali Allawi tidak sedang menjelaskan ajaran-ajaran agama Islam dan pemikiran politik Islam. Ali Allawi menilik satu hal yang jauh lebih substansial mengenai Islam sebagai sebuah peradaban. Dan inti peradaban kita yang sangat substansial itu, menurut Ali Allawi, adalah “ideal transcendental”.
Ideal transcendental ini adalah sikap berserah diri (Islam) kepada realitas ilahiah, asal sejati dari seluruh manifestasi peradaban Islam. Ideal transcendental inilah yang menjiwai pelbagai lembaga, politik, hukum, kesenian, dan arsitektur, serta kesusastraan, sains dan kesarjanaan Islam. Itulah yang hilang hari ini. Tentu bukan dalam arti hilang sama sekali, melainkan ia tidak menjadi perhatian utama dari mayoritas Muslim hari ini.
Kritik terhadap Sekularis dan Islamis
Allawi sangat menyayangkan kegagalan umat Islam modern memahami kekuatan utama mereka. Yakni spiritualitas Islam yang dinamis, yang merupakan akar dari jati diri dan kreativitas mereka, dan yang bisa memberi mereka daya survival menghadapi modernisasi dan globalisasi yang menjadi media merasuknya desakralisasi ke dalam kesadaran umat Islam.
Kita bisa melihat bahwa Allawi berusaha jujur dan terang-terangan dalam menyampaikan gagasannya mengenai inti krisis peradaban kita. Terutama sekali karena ia mengalami sendiri – dengan penuh kesadaran – apa yang ia sebut krisis tersebut.
Oleh karena itulah, Allawi mengkritik respons-respons yang sejauh ini muncul (yakni sejak akhir abad 19 hingga abad 21 ini) dari komunitas Muslim dari berbagai belahan dunia, dalam menghadapi perubahan-perubahan historis yang membawa dampak kultural, sosial, dan natural yang tidak kecil terhadap dunia Islam.
Respons modernisasi, liberalisasi, sekularisasi, dan radikalisasi lewat ekspresi-ekspresi sosial dan politiknya terbukti gagal. Pada bagian prolog bukunya, Allawi menyebutkan model-model kegagalan tersebut.
Menurut Allawi, kita tidak bisa hanya menjadi modern dengan mengikuti “cetakan” Barat-sekuler. Begitu juga tidak bisa memilih reformasi-radikal Islamis yang anti dan destruktif terhadap berbagai perubahan.
Bagi Allawi peradaban Islam hanya bisa dibangun di atas porosnya sendiri, yaitu ideal transcendental yang menjadi spirit dinamisme Islam. Nah, poros peradaban Islam inilah yang luput dari benak modernis-sekuler dan Islamis-radikal. Yang sekuler mengira kita bisa meminjam poros sekuler Barat. Sementara yang Islamis mengira nafsu berkuasa kelompok mereka adalah poros tersebut.
Terhalangnya kita untuk menyadari keterkaitan erat antara ideal transcendental sebagai dimensi batiniah (inner), dengan usaha-usaha rasional sebagai dimensi lahiriah (outer), menjadi sebab utama kita tidak mampu menyelesaikan masalah peradaban Islam hingga hari ini.
Spiritualisme Islam dan Kreativitas Peradaban
Dimensi batiniah yang dahulu menginspirasi Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang menginspirasi para ilmuwan Muslim menciptakan berbagai macam inovasi melalui hibrida kebudayaan, yang menginspirasi para masyarakat untuk bertindak etis dan mendahulukan maslahat bersama; itulah yang luput dari kita sekarang.
Spiritualisme Islam yang mengajarkan keterhubungan manusia dengan Tuhan, ketundukan kita pada perintah-Nya dan standar-standar moralitas dari-Nya, keindahan dan keteraturan semesta yang diajarkan oleh-Nya, dan semangat mencari ilmu untuk kemaslahatan individual dan sosial, telah hilang. Digantikan dengan silaunya para sekularis terhadap budaya Barat dan nafsu para Islamis untuk merebut kekuasaan politik.
Menurut Allawi, selama poros peradaban ini tidak didahulukan dan diutamakan dalam upaya revitalisasi peradaban, maka hasilnya sama saja, apakah umat ini dikomandoi oleh modernis-sekuler atau pun Islamis-radikal.
Allawi justru mengingatkan kita, dan kini sudah terbukti, bahwa kekuasaan politik para Islamis adalah batu ujian terakhir peradaban Islam. Itu karena, setelah mereka juga runtuh dan gagal, maka anggapan selama ini bahwa kehidupan dunia Islam bisa menjadi lebih baik di bawah mereka, akan terbukti salah, dan membawa kita ke krisis yang terakhir.
***
Ali Allawi mengidentifikasi sebab krisis peradaban Islam hari ini adalah menurunnya daya kreativitas masyarakat Muslim. Sebelumnya, Allawi juga mematahkan argumentasi kalangan reformis-radikal maupun modernis-sekuler Muslim yang berusaha tampil sebagai jawaban bagi krisis peradaban.
Melalui pembacaan antropologi dan budaya, Allawi mengedepankan fakta temuan bahwa peradaban hanya mampu menjadi “peradaban” dengan karakter kosmopolit dan multikultural apabila nilai-nilai keterbukaan, kemajuan, dan kreativitas hidup di masyarakat.
Islamis-radikal jelas gagal karena anti terhadap nilai kosmopolitan tersebut. Modernis-sekuler juga gagal karena mengira dengan meniru Barat yang sekuler nilai-nilai dimaksud bisa muncul kembali.
Allawi menegaskan, kreativitas Islam berasal dari rahim yang sama sekali berbeda dengan kreativitas sekuler. Daya kreativitas Islam berasal dari spiritualitas-perennial, atau tawhid, sebuah kesadaran ketuhanan dan hubungan langsung antara manusia dengan Tuhan.
Itulah mengapa peradaban Islam tidak akan memunculkan sains semata-mata untuk sains itu sendiri. Juga tidak akan menciptakan teknologi yang semata-mata dipakai untuk kepentingan eksploitasi manusia dan alam demi profit.
Sains dan peradaban Islam, menurut Allawi, berdiri untuk menciptakan maslahat baik bagi dimensi esoterik (spiritual), maupun eksoterik (material) manusia. Untuk itulah, menurut Allawi, penting untuk menyinggung dan mengingat kembali tentang akar-akar kreativitas dalam Islam (Islamic roots of creativity).
Akar Kreativitas Islam
Apa yang Allawi maksud dengan akar kreativitas Islam? Dia tidak memberikan definisi untuknya. Allawi justru menunjukkan bentuk, model, dan representasi daya kreatif Islam, yang secara historis dan budaya, adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kebangkitan peradaban Islam periode awal hingga pertengahan (abad 8 hingga 11).
Ia menyebutnya tradisionalisme Islam, dengan Seyyed Hossein Nasr sebagai orang yang paling aktif saat ini dalam menyuarakannya kembali.
Menurut Nasr, sebagaimana dikutip Allawi, sains dalam peradaban Islam adalah perpaduan antara spiritualitas Al-Qur’an – (dengan begitu, juga jalan hidup Nabi) – dengan ilmu-ilmu yang ada dari berbagai peradaban umat manusia, yang diambil dan diartikulasikan dengan daya spiritual menjadi substansi yang baru.
Menurut Allawi beginilah jalannya sehingga kelas ilmuwan Muslim bisa muncul ketika itu, dan memberikan dampak yang sangat besar bagi kebudayaan manusia secara universal.
Dengan kata lain, kreativitas itu muncul dengan realisasi (tahqiq) atas daya intelektual dan spiritual yang Tuhan tanamkan dalam diri manusia. Yang membuka penyelidikan atas alam semesta demi memahami ayat-ayat Tuhan dan demi kemaslahatan manusia, dan dengan terbuka bekerjasama dengan peradaban lain sebagai wujud kesatuan perennial antar tradisi keagamaan.
Pada bagian akhir bukunya, Ali Allawi kembali menegaskan bahwa peradaban Islam adalah kehidupan yang dibangun oleh sebuah masyarakat dalam terang nilai-nilai Islam. Individu Muslim adalah pihak yang seharusnya paling peka dan sadar untuk membangun peradaban tersebut.
Namun, apakah kita sudah mengerti bagaimana membangunnya? Saya melihat inilah kegelisahan utama Allawi dalam The Crisis of Islamic Civilization. Kegelisahan ini sangat jujur, dan Allawi berusaha melakukan pemetaan mengenai krisis apa yang melanda kita.
Bukan Lewat Jalan Formalisasi Agama
Tentu saja setiap Muslim yang taat memiliki semangat ibadah kepada Allah dalam hidupnya. Secara individual setiap Muslim yang sadar akan berusaha merealisasikan kesalehan (taqwa) tersebut. Tapi, Allawi jeli melihat, bahwa kesalehan individual – atau kesalehan ritual – tidak otomatis akan menghidupkan kembali peradaban Islam.
Apakah Ali Allawi keliru? Menurut saya tidak. Dalam bagian The Last Crisis, Allawi menunjukkan kepada kita bahwa hari ini di dunia Islam praktik kesalehan itu semakin tumbuh subur. Menurutnya, tidak ada masalah dengan komitmen keagamaan kita. Namun, bantah Allawi, kita masih jauh untuk bisa mengatakan bahwa telah ada benih-benih kelahiran kembali peradaban Islam. Hanya karena sebagian besar Muslim masih memperlihatkan komitmen luar biasa terhadap agama mereka secara formalis.
Komitmen keagamaan itu menemukan tempatnya dalam iklim demokrasi yang bebas. Beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara direbut oleh kelompok-kelompok Islamis yang berhasil meraih simpati rakyat karena kegagalan kelompok sekuler dalam menyejahterakan mereka.
Di banyak negara mayoritas Muslim aspirasi legal-formal diajukan untuk menerapkan syariah di ruang publik. Arab Saudi, Iran, dan Pakistan terang-terangan meletakkan kitab suci dan otoritas ulama (ortodoks) sebagai konstitusi.
Di Indonesia kita melihat Islamisasi ruang publik yang sangat massif terjadi setelah reformasi. Allawi melihat kenyataan ini sebagai arena pembuktian apakah para Islamis tersebut akan berhasil membangun peradaban Islam, atau, seperti pendahulu sekulernya, mereka juga akan gagal.
Allawi sudah punya jawabannya. Dalam buku yang ia tulis pada tahun 2009 ini, Allawi mengatakan: “seandaianya berkuasa pun, para Islamis tampaknya tidak mungkin akan menghasilkan suatu dinamika baru dalam peradaban Islam”.
Mengapa begitu? Para Islamis tidak memiliki apa yang Allawi sebut poros peradaban. Penerapan syariah oleh mereka adalah mekanisme demonstrasi bentuk lahiriah kesalehan. Politik yang mereka jalankan adalah semata-mata politik melanggengkan kekuasaan kelompok.
***
Menurut Allawi, mudah saja melarang konsumsi alkohol atau mengubah undang-undang pidana atas nama syariah; tetapi sama sekali hal yang berbeda menciptakan suatu alternatif untuk mengatur kehidupan manusia, atau mengubah secara radikal pendirian masyarakat tentang nilai-nilai.
Apa yang menjadi kegelisahan Allawi seharusnya juga menjadi kegelisahan kita. Seperti diterangkan Allawi sendiri, bahwa aspek lahirah (outer) tidak bisa dipisahkan dari aspek batiniah (inner) dalam Islam.
Inti dari keislaman (ketertundukan kepada Tuhan) dari seorang manusia, dan dari sebuah peradaban, adalah padunya kedua aspek ini, di mana secara ontologis aspek batiniah memiliki sifat lebih utama, karena merupakan akar spiritual bagi pikiran dan tindakan lahiriah.
Merebaknya formalisasi syariat dan aspirasi-aspirasi kesalehan formal di ruang publik, di negara-negara Muslim, yang didorong oleh kalangan Islamis dan Islam politik, hanyalah pendemostrasian dari aspek lahiriah kesalehan. Ia tidak ada hubungannya sama sekali dengan kembalinya spiritualitas dan ideal transcendental ke kesadaran kita.
Penutup
Allawi sangat kritis terhadap para Islamis, sama kritisnya terhadap sekularis. Formalisasi Islam yang para Islamis lakukan – yang notabene adalah antitesa terhadap deislamisasi masyarakat oleh penguasa sekuler sebelumnya – adalah selubung nafsu menguasai negara dan sumber dayanya.
Di negaranya sendiri, Irak, Allawi menyaksikan bagaimana para Islamis tersebut tidak lebih baik ketika berkuasa. Pendidikan etika, moral, dan spiritual masyarakat Muslim tidak dilakukan oleh mereka. Jika pun ada yang mereka dorong, itu hanya terbatas pada menyemarakkan simbol-simbol lahiriah Islam di lembaga-lembaga pendidikan dan di masyarakat.
Allawi menganggap ini bukan caranya menghidupkan peradaban Islam. Hanya dengan memberi nama “Avicenna” pada sebuah bangunan rumah sakit, tidak serta merta membuat kita ingat dan melanjutkan apa yang Ibnu Sina pernah berikan pada peradaban kita.
Editor: Yahya FR