Oleh: Akhmad Idris*
Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) Kementerian Kesehatan di tahun 2018 menunjukkan hasil bahwa jumlah warga Negara Indonesia yang terdiagnosis depresi dan berujung bunuh diri adalah 6,1 % alias sebelas juta orang (WNI yang berumur 15 tahun ke atas). Fakta ini semakin memperkuat asumsi yang beredar di masyarakat bahwa depresi membuat seseorang kehilangan jati diri, lalu mati.
Memang beberapa orang yang terdiagnosis depresi berujung bunuh diri, tetapi bukan berarti hal tersebut tidak bisa dihindari. Baek Se Hee, seorang perempuan dari Seoul yang telah divonis mengidap Distimia (depresi jangka panjang) berhasil membuktikan bahwa seseorang tetap dapat berprestasi meskipun telah didiagnosis mengidap depresi.
Baek Se Hee dan Psikiater
Baek Se Hee selama lebih dari sepuluh tahun, divonis menderita distimia dan gangguan kecemasan. Ia berusaha berobat pada psikiater, hingga akhirnya di tahun 2017 ia menemukan rumah sakit yang cocok dan menjalani pengobatan tersebut hingga saat ini. Selanjutnya, Baek Se Hee memutuskan untuk melambaikan tangannya kepada orang lain dan berharap mereka menyadari keberadaannya lewat bukunya yang berjudul “I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki”.
Rupanya, keputusannya berbuah manis. Bukunya menjadi salah satu bacaan yang berpredikat Best Seller di Korea Selatan di tahun 2018. Oleh sebab itu, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hyacinta Louisa dan diterbitkan oleh Penerbit Haru dengan judul yang sama di bulan Agustus tahun 2019. Baek Se Hee lewat bukunya ingin menunjukkan bahwa setiap manusia perlu menerima dan mencintai dirinya sendiri, sebab manusia adalah makhluk yang sangat spesial. Buktinya adalah hanya ada satu ‘aku’ di dunia ini dan manusia berhak berbangga diri atas keistimewaan tersebut.
Buku “I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki” bagi saya adalah esai yang ‘bukan esai’, sebab isinya berbeda dengan esai pada umumnya. Jika pada umumnya esai lebih menonjolkan kesan teoretis, intelektualitas, keilmiahan, atau gaya bahasa populer yang bias imajiner; maka gaya penulisan esai dalam buku “I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki” lebih terkesan apa adanya tentang pengalaman hidup keseharian yang didominasi oleh dialog antara penulis dan psikiater.
Gangguan mental yang disebut distimia yang dialami oleh penulis menjadi lebih mudah dipahami karena tidak hanya dijelaskan lewat kata-kata. Melainkan juga dirasakan lewat pengalaman-pengalaman yang diceritakan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog di bawah ini:
Psikiater : Apa yang membuat anda datang ke sini?
Aku (penulis) : Hmm. Bagaimana ya. Saya hanya merasa depresi. Apakah saya harus menjelaskannya dengan lebih detail?
Psikiater : Kalau anda bisa menjelaskannya dengan lebih detail tentu akan lebih baik.
Aku : (membuka catatan yang ada di ponselku dan mengatakan apa yang selama ini telah aku tulis) Saya sering sekali membandingkan diri saya dengan orang lain. Akibatnya, saya sering memperlakukan diri saya dengan kurang baik. Kemudian rasa percaya diri saya sangat rendah. (Hal. 18)
Membuka Sisi Gelap
Masalah depresi yang sedang melanda penulis adalah masalah kita semua. Di antara kita, mungkin pernah merasa tidak percaya diri, pernah membandingkan diri dengan orang lain, atau bahkan pernah menyiksa diri sendiri dengan cara mengunggah ‘kehidupan palsu’ di media sosial agar terlihat bahagia dan baik-baik saja.
Pengalaman-pengalaman nyata inilah yang membuat buku ini menyentuh hati para pembaca yang merasakan hal seperti yang dialami oleh penulis. Bahasa sederhana yang lekat dengan kehidupan sehari-hari menjadikan buku ini mudah diterima oleh pembaca yang tidak memahami istilah-istilah kesehatan mental sekalipun.
Skema tanya-jawab yang disajikan penulis juga menjadi keunggulan tersendiri. Pertanyaan-pertanyaan tentang masalah keluarga, persahabatan, percintaan, hingga masalah pekerjaan yang diungkapkan secara blak-blakan oleh penulis; mampu dijawab dengan jawaban yang solutif dan kooperatif tanpa unsur paksaan maupun tekanan. Berikut contoh kutipan dialognya
Aku : Kenapa saya bisa seperti ini (memaksa orang lain memiliki standar seperti saya) ya, Dok?
Psikiater : Karena anda adalah orang yang baik.
Aku : Bahkan, saya sudah mencoba sengaja membuang sampah sembarangan di jalan dan menelepon dengan suara keras di dalam bus. Tapi, rasanya saya tidak nyaman. Meskipun begitu, saya merasakan sedikit sensasi kebebasan.
Psikiater : Jika anda merasa tidak nyaman, anda tidak perlu sengaja melakukan hal-hal seperti itu. (Hal. 29)
Baek Se Hee mampu membuat kalimat yang terkesan natural, tanpa beban, dan seakan-akan ia mengingat setiap detail ucapan psikiater padanya. Hal ini adalah fakta (bukan ‘seakan-akan mengingat detailnya’), sebab Baek Se Hee merekam setiap percakapannya dengan Psikiater ketika melakukan konsultasi.
Baek Se Hee juga tidak merasa bermasalah ketika mengungkapkan sisi gelap dalam dirinya. Sebab bagi Baek Se Hee mengungkapkan sisi gelap dalam dirinya sama normalnya dengan mengungkapkan sisi terang dari dalam dirinya.
Akhir Cerita
Buku “I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki” juga dapat dijadikan solusi bagi siapapun yang mengalami gangguan mental, tetapi ‘malu’ atau enggan untuk menemui psikiater. Dengan membaca buku ini, pembaca akan menyadari bahwa menemui psikiater adalah hal yang lumrah, wajar, dan tidak salah.
Sebagian besar orang dapat dipastikan pernah merasa tertekan, merasa tidak berharga dan bersalah, atau merasa tidak memiliki harapan serta tujuan hidup. Lalu, satu di antara cara untuk menyelesaikan masalah di atas adalah berbagi cerita dan rasa pada orang yang tepat. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Baek Se Hee, “Sebenarnya, rasa takut terasa lebih besar ketika hanya anda sendiri yang mengetahui dan memendamnya. Daripada anda menderita sendirian, akan lebih baik jika anda menuangkannya dan menceritakannya pada orang lain seperti sekarang ini” (Hal. 153).
Satu-satunya hal yang tidak saya sukai dari buku ini adalah kejutan di akhir ceritanya. Setiap halaman yang saya buka, membuat saya penasaran tentang akhir dari pengobatan yang dijalani oleh Baek Se Hee. Akhirnya; ketika sampai di penghujung buku, terdapat sebuah kejutan yang tidak saya sukai. Apakah hal itu?
Sungguh saya akan merasa sangat berdosa jika mengungkapkan hal tersebut dalam tulisan ini. Oleh sebab itu; jika kalian ingin mengetahui, bacalah esai unik yang mendapatkan predikat best seller #1 di Korea Selatan ini.
Keterangan Buku
Judul Buku : I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
Pengarang : Baek Se Hee
Penerjemah : Hyacinta Louisa
Penerbit : PT. Haru Media Sejahtera
Cetakan : Cetakan kelima, Januari 2020
Tebal Buku : 236 halaman; 19 cm
ISBN : 978-623-7351-03-0
*) Penulis. Alumnus Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Editor: Nabhan