Seorang ulama sekaligus pengarang meringkuk di tahanan, 54 tahun silam (1964). Hanya berbeda pendapat dengan penguasa, dia dituduh makar. Tetapi, dia memang ulama dan pengarang besar yang pernah dimiliki bangsa ini. Sekalipun jasmaninya dikekang di balik jeruji besi, tetapi jiwanya bebas mengembara. Selama di hotel prodeo (1964-1966), justru dia berhasil merampungkan Tafsir Al-Azhar jilid 1. Nah, di sela-sela kesibukannya merampungkan jilid 1 (juz 1-30), pikirannya terusik oleh kehadiran sebuah buku.
Buku itu tebalnya 691 halaman. Cukup mentereng untuk ukuran buku pada era 60-an. Ukurannya 15 X 22 cm. Covernya warna putih. Judul buku dicetak warna merah, diberi blok warna hitam. Tercetak secara menyolok judul buku: Tuanku Rao. Di atas cover terpampang nama pengarangnya: Mangaradja Onggang Parlindungan.
Ulama dan pengarang besar tersebut adalah Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah tetapi panggil saja dia Buya HAMKA. Seorang ulama besar, pengarang, negarawan, sastrawan dan sejarawan masyhur di tanah air ini. Bung Karno—penguasa rezim pada waktu itu yang tidak lain adalah kawan seperjuangannya—menuduhnya berbuat makar.
HAMKA mulai membaca buku Tuanku Rao sejak 1965 atau beberapa waktu sebelum tragedi Gestapu (G30/S/PKI). Dalam situasi kemelut politik di tanah air, dia masih meluangkan waktu untuk membaca buku ini. Mula-mula hatinya belum terterik. Setelah disuguhi ’data-data sejarah baru’ seputar gerakan Padri dan beberapa tokoh Minangkabau, pikirannya mulai terusik. Semakin lama disuguhi ’data-data sejarah baru’ yang ditulis Sam Parlin—panggilan Parlindungan—pikirannya makin terusik. Apa pasal?
Sam Parlin menulis buku ini seakan-akan sedang mengundang Brother from Minang—julukan dari Mangaradja Onggang Parlindungan kepada HAMKA—untuk menanggapinya. Katanya, buku ini ditulis berdasarkan teori Max Webber. Dia menjamin keabsahan kronologi kejadian, waktu, dan tempat yang ditulis dalam buku kontroversial ini. Dengan mendekonstruksi sejarah perang Padri, seakan-akan Sam Parlin sedang menjadi seorang revisionis. Katanya, ’data-data sejarah baru’ itu diperoleh dari Mayor Jenderal Abdulkadir, Vice Consul Pemerintah Hindia Belanda di Jeddah (1950-1955).
Menurut versi Sam Parlin, Haji Piobang bersama sahabat-sahabatnya menimba ilmu di Makkah dan di Universitas Al-Azhar, Cairo. Kemudian terpaksa menjadi tentara Turki dalam Janitsar Cavalry di bawah pimpinan Muhammad Ali Pasha. Haji Piobang ini ”Not to clever di dalam hal agama”, tulisnya. Tapi Haji Sumanik ”bukan ahli agama.” Demikian gaya penulisan Sam Parlin yang sering pakai bahasa Inggris dan kadang dicampur bahasa Belanda. Dengan percaya diri, dia menganggap buku Tuanku Rao sebagai karya ilmiah standard akademik ala Barat.
Namun Sam Parlin ceroboh. Dia berpendapat bahwa kehadiran Haji Piobang ke tanah Minang (1803) sebagai utusan Abdullah bin Saud (Wahhabi). Dia mendapat misi mendirikan Negara Darul Islam di Minangkabau. Berbekal pengetahuan dan pengalaman selama menjadi Janitsar Cavalry di bawah komando Muhammad Ali Pasha, Haji Piobang melatih pasukan kaum Padri.
Setelah membaca buku ini, pikiran HAMKA semakin terusik. Mungkin dia geram, tetapi bukan wataknya untuk mengumbar kemarahan. Apalagi Sam Parlin menuduh kaum Padri melakukan pembantaian terhadap kaum Nasrani di Batak. Tanpa sumber data yang akurat, Sam Parlin menganggap tokoh Tuanku Imam Bonjol tidak bernyali menghadapi kolonial Belanda. Dengan nada sentimen, dia menuduh Tuanku Imam Bonjol sebagai “orang bodoh!”
Justru, Sam Parlin memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Tuanku Tambusai, murid Tuanku Imam Bonjol. Dengan percaya diri, Sam Parlin mengklaim Tuanku Tambusai sebagai putra Batak yang nama aslinya Hamonangan Harahap. Padahal, menurut Muhammad Radjab, Tuanku Tambusai kecil bernama Mohammad Saleh (Faqih Saleh).
Menurut Mahidin Said (1969), seorang putra Tambusai, Faqih Saleh memiliki pertalian etnik dengan suku Kondang Kapuah. Dia putra Tuanku Imam Maulana Kali, guru agama di negeri Rambah, yang menikah dengan perempuan Tambusai. Negeri Rambah adalah salah satu di antara lima negeri otonom yang termasuk dalam wilayah Minangkabau Timur. Tuanku Maulana Kali orang Minang, bukan orang Batak marga Harahap. Karena Rambah dekat dengan Mandailing sehingga dipertalikan oleh daerah Rao.
Di daerah Rao inilah, Sam Parlin mengangkat kisah seorang tokoh keturunan Si Singa Mangaraja X yang kelahirannya yang konon tidak direstui. Mitos-mitos di seputar kelahiran tokoh yang satu ini bertebaran di tanah Batak. Tapi yang jelas tokoh inilah yang kemudian dikenal dengan Tuanku Rao. Menurut Sam Parlin, Tuanku Rao adalah putra Batak yang namanya jauh lebih harum ketimbang Tuanku Imam Bonjol.
Apa yang ditulis Sam Parlin memang telah mengusik pikiran HAMKA. Sehingga dalam Seminar Islam di Minangkabau, 23-26 Juli 1969, HAMKA menantang Sam Parlin supaya membuktikan secara ilmiah buku karangannya. Sam Parlin pun menerima tantangan HAMKA tersebut. Sayangnya, dalam kesempatan emas tersebut Sam Parlin justru tidak mampu mempertahankan pendapatnya.
HAMKA yang telah membaca tuntas karya Sam Parlin itu langsung mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan menggugat. Dari mana dia mendapat sumber data sejarah tentang Haji Piobang, yang katanya mantan tentara Janitsar Cavalry Turki? Bagaimana mungkin Haji Piobang datang ke Minangkabau (1802) sebagai utusan Wahhabi? Padahal, menurut sumber HAMKA, gerakan Wahhabi baru muncul pada tahun 1811. Di sini, Sam Parlin pun hanya diam.
Lalu HAMKA mencecar lagi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Apakah benar kaum Padri melakukan pembantaian terhadap kaum Nasrani di Batak? Benarkan Tuanku Imam Bonjol orang bodoh? Apakah Tuanku Tambusai jauh lebih hebat ketimbang gurunya? Apakah Tuanku Rao keturunan raja Batak? Sayang sekali, Sam Parlin juga tidak mampu menjawab.
Hanya satu jawaban dari Sam Parlin ketika menjawab pertanyaan HAMKA. Ketika ditanya, dari mana data-data sejarah awal gerakan Paderi diperoleh, dia menjawab dari buku-buku dan arsip-arsip koleksi Mayor Jenderal Abdulkadir. Lalu pertanyaan dipertegas, di mana buku-buku dan arsip-arsip tersebut? Dia menjawab: ”Maaf, sudah dibakar!”
Begitu mudahnya jawaban Sam Parlin ini. ”Dibakar” mengandung arti disengaja untuk menyembuyikan informasi penting. Atau memang ia sengaja menyembunyikan fakta lain agar orang lain tidak bisa mengungkap kebenarannya. Namun yang jelas, jawaban Sam Parlin telah mengungkap karakter penulis dan kualitas buku ini. Hilang sudah etika ilmiah. Buku Tuanku Rao sudah habis! Tepatnya 49 tahun yang lalu dalam Seminar di Minangkabau tanggal 23-26 Juli 1969. Pengarangnya sudah tidak bisa mempertanggungjawabkan seluruh data sejarah yang disuguhkan.
Menyadari akan kelemahan dan juga kebohongan informasi dalam buku karya Sam Parlin, HAMKA lantas mengarang sebuah buku untuk membantahnya. Buku dijawab dengan buku: sebuah pertarungan intelektual yang simetris dan beradab.
Kurang lebih setahun pasca Seminar Islam di Minangkabau (1969), HAMKA menulis sebuah buku. HAMKA hendak meluruskan distorsi sejarah ini. Dengan kepiawaiannya dalam mengeksplorasi data-data sejarah, HAMKA mampu membuat karangan Sam Parlin jadi tampak pucat pasi. Buku Tuanku Rao karangan Mangaradja Onggang Parlindungan sudah terbantahkan lewat karangan Buya HAMKA, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1970).
Sayangnya, ingatan kita tidak terlalu kuat untuk mengungkap kembali perdebatan panjang seputar kontroversi buku Tuanku Rao beberapa puluh tahun yang silam. Sekalipun sudah dinyatakan habis, nyatanya buku ini masih diterbitkan kembali oleh salah satu penerbit di Yogyakarta.
Agar para pembaca tidak lagi dibodohi oleh buku yang berisi data-data khayalan ini, maka pemikiran HAMKA jelas perlu diangkat kembali. Setidak-tidaknya, perlu buku pembanding apabila pembaca hendak melahap karya Mangaradja Onggang Parlindungan. Anda yang membaca buku Tuanku Rao harus pula membaca buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao agar tidak terjebak pada informasi-informasi negatif yang sumber-sumbernya ”sudah dibakar!”