Perspektif

Demokrasi Feodalistik di Negeri Anarkis

4 Mins read
Oleh: Aba Doni Abdullah*

 

Negara indonesia dibangun dengan sistem demokrasi Pancasila. Rakyat memiliki hak penuh atas kebebasan berbangsa dan bernegara. Bebas berpendapat, bebas menentukan pilihan, menuangkan pikirinnya, juga mengkritik pemerintah. Selain itu, dalam haknya berdemokrasi harus disertai dengan tanggung jawab terhadap Tuhan yang Maha Esa. Tak lupa juga menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Namun, kenyataan berkata lain, demokrasi Indonesia adalah demokrasi feodalistik di negeri anarkis.

Sebenarnya, demokrasi diarahkan untuk menjamin persatuan dan kesatuan bangsa, mengutamakan musyawarah mufakat. Harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Karena tujuan demokrasi adalah menciptakan masyarakat terbuka, transparansi, kesejahteraan, sistem keadilan tidak memihak, dan memastikan hak asasi manusia terjamin. Semua berdiri pada prinsip “oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat“.

Demokrasi Feodalistik di Negeri Anarkis

Agar demokrasi berjalan dengan baik, maka seorang pemimpin harus siap menerima kritikan, dan masukan dari rakyatnya. Namun, demokrasi yang diimpikan sudah mulai hilang. Mulai dari lembaga eksekutif (Presiden), legsilatif (DPR/MPR) dan yudikatif, tidak lagi mendukung kepentingan rakyatnya. Kekuasaan, dan jabatan telah membutakan mata hatinya, sehingga ucapan janji manis kepada rakyat sudah dilupakan.

Ibarat kata, kekuasaan merupakan tempat permainan baru. Pesonanya telah menyilaukan tujuan sejatinya. Kekuasaan adalah orang ketiga yang telah memberikan kenyamanan dan kenikmatan. Kekuasaan adalah tempat perselingkuhan bagi yang memiliki jabatan. Rakyat dijadikan orang ketiga dan dikhianati. Tidak ada lagi kenyamanan baginya.

Ketika kekuasaan itu diperoleh, maka, pemerintah memiliki segalanya, memiliki senjata, penegak hukum, dan media. Sehingga apabila kekuasaan itu disalahgunakan, yang menjadi korban adalah rakyat. Semua kepentingan dibatasi dengan hukum dan media. Kekuasaan tertingi milik rakyat, karena suara rakyat maka ada presiden dan DPR. Tanpa itu semua negeri ini tidak memiliki apa-apa. Ada hak untuk menyuarakan kebenaran.

Baca Juga  Jangan Pacaran, Apalagi Zina

Setiap tindakan dan keputusan yang dibuat telah melukai hati rakyat, tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Bahkan disikapi secara anarkis. Undang-undang yang dibuat cenderung mementingkan kekuasaan dan kelompok tertentu.

Ini menunjukan munculnya kepemimpinan yang berkarakter feodal. Ciri kepemimpinan feodal adalah semua kepentingan politik yang tidak berpihak pada rakyat, aspirasi rakyat dibatasi, dengan berbagai bentuk. Undang-undang dibuat untuk memenuhi kepentingan dan pesanan, sekiranya dapat mendatangan kepentingan memperkya diri.

Semua Bersepakat dalam Kebohongan

Kepemimpinan yang berasaskan demokrasi pancasila bergeser menjadi kepemimpinan feodalisme. Salah satu ciri kepemimpinan feodalisme adalah pengabdian bukan pada masyarakat. Melainkan kepada struktur atau orang-orang yang dia anggap memiliki kekuasan yang lebih besar.

Faham feodalisme ini kemudian digunakan untuk melancarkan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Sehingga hubungan antar lembaga pemerintahan tidak lagi sebagai cek dan ricek. Namun hubungan yang dibangun adalah sistem jual-beli jabatan.

Presiden dilindungi, media dikebiri dan dianggap melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Kasus pelaporan majalah Tempo, yang mengilustrasikan Jokowi sebagai Pinokio adalah ciri nyata pemerintahan feodalistik sudah berada di negeri ini. Padahal apa yang dilakukan media hanya sekedar mengungkap fakta selama pemerintahannya. Nyatanya apa yang dilakukan belum maksimal dan sebagian besar hanya cerita omong kosong dan pencitraan.

Kasus RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga merupakan produk neo-kapitalisme dan neo-feodalisme. Pasal-pasalnya telah mengebiri pemberantasan korupsi dan membatasi ruang gerak KPK. Dari tujuh perubahan undang-undang KPK semuanya berpihak pada keinginan penguasa. Yang paling menyedihkan, terdapat pula pasal pasal mengurangi hukuman bagi koruptor.

Semua undang-undang dirancang sebagai payung hukum untuk melindung kejahatan yang seharusnya diperangi. Namun publik yang mengkritik dipaksa mengikuti keinginan pemerintah, dibungkam pemikiran dan pembicaraanya. Tidak ada lagi kekuatan yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Baca Juga  Masa Depan Pendidikan Tinggi yang Terbuka untuk Semua

Baik Presiden maupun DPR telah bersepakat dalam kebohongan, dan bersepakat terhadap kekuasaan. Kapitalisme dan feodalisme merupakan teman baru penguasa, mereka tidak lagi berteman dengan rakyat. Mengumpulkan kekuatan untuk menyerang rakyat.

Pada akhirnya, Pemberantasan korupsi tidak lagi berdasarkan indepedensi. namun berdasarkan pesanan, berdasarkan suka tidak suka. Tetapi pemalak uang-uang rakyat memperkaya diri tanpa sadar akan keberadaannya. Menutupi dirinya dengan selimut kesombongan.

Wajah KPK didandani seolah-olah sebagai pahlawan yang menyelamatkan negara ini dari tindakan korupsi. Namun semua itu sebagai tipu daya bahwa penangkapan pelaku koruptor hanya semata didasarkan pada oknum-oknum yang  berseberangan dengan pemerintah.

Islam Hanya Sebagai Baju

Indonesia dengan jumlah umat Islam terbanyak belum mampu menjaga label keislamannya. Islam ibaratnya baju. Hanya pada saat dibutuhkan, kemudian dikenakan. Padahal, agama seharusnya dapat berperan lebih dari itu.

Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila mengambarkan bahwa negara ini didesain dengan nilai-nilai agama dan spiritualisme. Mengutip apa yang dikatakan oleh Imam Putra Sidin, “agama itu akan sangat membantu kerja negara”. Agama sebagai pelindung, sehingga manusia tidak berbuat sesuatu berlebihan. Seseorang yang memiliki pelindung yang kuat, pasti tidak akan berbuat semaunya.

Pancasila adalah sebuah nilai yang sangat sarat akan nilai keagamaan dan kebangsaan. Nilai keagamaan ditunjukan dengan kebebasan setiap orang untuk memiliki agama tanpa diskriminatif, dan paksaan. Kemudian nilai kebangsaan ditunjukan dengan persatuan dan kesatuan yang disatukan melalui nusantara, semua adat, budaya, bahasa, dan keragaman disatukan melalui Pancasila.

Kehidupan manusia di zaman sekarang telah memasuki tantangan yang berat. Manusia senantiasa diselimuti dengan keindahan kehidupan dunia yang mempesona. Paradigma cara pandang kehidupan ikut berubah. Nilai kehidupan diukur dengan apa yang bisa dilihat. Kerasnya dorongan mempertahankan keberlangsungan kehidupan menyeret manusia hingga lupa diri dengan tujuan penciptaan dirinya.

Baca Juga  Menimbang Kebijakan Afirmasi Bagi Kelompok Minoritas Keagamaan

Pancasila dan Agama Dikalahkan Sikap Feodalistik

Saat ini, pemerintah sudah kehilangan perlindungan. Baju-baju agama sudah tidak digunakan. Jelas sekali bahwa pemerintah berlindung di balik paham-paham kapitalistik dan feodalistik. Akibatnya adalah tidak lagi memahami keadilan dan kesejahteran yang sesungguhnya.

Keadilan hanya diperuntukan bagi orang-orang yang berkuasa saja. Kesejahteraan juga hanya diperuntukan bagi sekelompok orang. Memandang suku dan tingkat kedudukan di masyarakat.

Berdasarkan keadaan di atas, mahasiswa adalah solusi terakhir untuk melakukan manuver terhadap kinerja pemerintahan. Melalui analisis masalah yang tepat, kekuatan mahasiswa akan menjadi kekuatan baru dalam mengimbangi permasalahan negara ini. Namun, nyatanya pemerintah juga masih tidak mau memberikan kebebasan kepada aliansi mahasiswa untuk mencoba mengkritik pemerintah. Negara justru menyatakan perlawan terhadap aksi-aksi yang dilakukan.

 

***

 

Keadaan teraktual bangsa menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi menjadi pelayan. Saat ini, perbuatan menyimpang para pejabat negara menjadi tontonan sehari-hari. Hampir setiap saat kita diperlihatkan dengan jelas fakta bahwa pejabat Negara merampok uang dengan mudahnya dan tanpa ada penyesalan di wajah mereka.

Mereka sesungguhnya dipilih oleh rakyat, namun tidak ada rasa tangungjawab sedikitpun. Akibatnya, kemarahan rakyat mulai memuncak. Semua disebabkan aspirasi-aspirasi yang disampaikan tidak diperhatikan.

Oleh sebab itu, saat ini Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang berpikir visioner. Lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan bersama, bukan sekadar kelompok tertentu, juga berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan baru.

Selama ini para pemimpin kita masih terjebak dalam kepentingan politik sesaat. mengumbar janji-janji sesaat, memanfaatkan masyarakat hanya sebagai objek keuntungan. Menegaskan bahwa Indonesia adalah gambaran nyata demokrasi feodalistik di negeri anarkis.

 

*) Alumni Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UM Surakarta

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *