Perspektif

Desakralisasi Al-Maun ala Kiai Dahlan

4 Mins read

Oleh: Nizam Zulfa*

Secara naluri, suatu organisasi tidak bisa lepas dari worldview pendirinya. Karena seorang pendiri organisasi lazimnya menaruh pandangan-pandangannya dalam orientasi organisasi yang ia dirikan itu guna menyelaraskan arah organisasi dan gagasannya. Inilah yang terjadi di dalam Muhammadiyah.

Sebagai organisasi Sosial-keagamaan yang sudah mapan seperti sekarang ini Muhammadiyah tidak bisa lepas dari ide pikiran pendirinya yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Salah satu bukti konkretnya adalah bahwa Kiai Dahlan yang merupakan seorang yang dikenal sebagai manusia amal kini menjelma dalam pribadi Muhammadiyah. Organisasi yang sampai dengan saat ini yang masih eksis bergerak dan memiliki amal-amal usaha yang kian terus bertambah. Mulai dari rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, dan banyak lagi.

Mengamalkan Kandungan Al-Quran

Pada masa Kiai Dahlan, kejumudan Islam di Yogyakarta khususnya di Kauman masih membudaya. Ketika seorang muslim melihat Al-Quran, maka ia hanya akan mengamalkan isi kandungan tersebut sebagai prosesi ibadah yang hanya bertalian antara dirinya dan Rabb-Nya. Melihat ayat tentang salat, zakat, atau puasa ya ia hanya akan melakukan ibadah itu. Apabila ibadah sudah ia lakukan ya kewajibanku uwes rampung, artinya urusanku dan Rabbku sudah selesai.

Sebagai seorang yang oleh Zuly Qodir disebut dengan Abduhism dan Ridhaism juga Wahabisme (Qodir, 2010: 53), Kiai Dahlan memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat hal tersebut. Ini dapat dilihat ketika ia berulangkali mengajarkan tafsir ayat Al-Maun kepada para muridnya. Sampai salah seorang muridnya yang bernama Sujak bertanya mengapa itu saja yang terus diajarkan padahal mereka sudah hafal surat Al-Maun itu dan menjadikan murid-muridnya merasa bosan.

Ternyata, Kiai Dahlan menghendaki agar ketika seseorang belajar dan menghafal Al-Quran hendaknya ia tak sebatas cukup menghafal dan faham. Tetapi ia juga harus mengamalkan isi kandungannya (Sairin, 1995: 50). Tak sampai itu saja, bahkan enam tahun setelah Muhammadiyah berdiri, dalam menerjemahkan Surah Al-Maun tersebut Kiai Dahlan mendirikan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). Dimaksudkan untuk membantu orang-orang miskin di Yogyakarta, hingga PKO menjadi bagian yang khusus dari Muhammadiyah tahun 1921 (Sairin, 1995: 54).

Baca Juga  Jangan Sampai Kita Jadi Demagog Agama

Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk menguraikan salah satu dari banyaknya gagasan-gagasan Kiai Dahlan yang menurut penulis cukup menarik untuk di bahas, salah satunya mengenai Desakralisasi Al-Maun. Yaitu penggeseran nilai sakral dari Surah Al-Maun menuju sesuatu yang lebih profan dalam kehidupan pada saat itu, yaitu organisasi PKO (Penolong Kesengsaran Oemoem).

Sakral dan Profan

Sakral dan profan merupakan dua term cukup terkenal dalam kajian sosiologi agama. Sebagaimana yang pernah dikaji oleh dua ilmuwan barat masyhur di masa lampau, yaitu Emile Durkheim seorang sosiolog dengan Teori Masyarakat Sakral dan Masyarakat Profan, juga Mircea Eliade seorang filsuf dan ahli sejarah agama-agama (Kusumawati, 2013: 147) dengan konsep Sakral dan Profan dalam beragama.

Meskipun dalam lansiran SINDONEWS.com, menurut salah seorang Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat bahwa kedua term tersebut lazim pula dijumpai dalam kajian ilmu-ilmu lain seperti filsafat dan agama.

Mircea Eliade dalam bukunya The Sacred and Profan (1957) mengemukakan banyak definisi tentang sakral dan profan. Diantaranya yaitu bahwa yang sakral adalah wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan, penting, abadi dan penuh substansi. Sementara yang profan disebutnya sebagai wilayah urusan setiap hari, hal-hal yang biasa, arena urusan manusia, dan dapat berubah-ubah (Pals, 1996: 163-164).

Dalam kajiannya tentang sakral dan profan, Eliade yang kemudian mengaitkan dengan teori yang ia kemukakan selanjutnya, yaitu tentang konsep simbol agama. Dia menyebut ka’bah sebagai representasi dari yang sakral. Karena ka’bah merupakan seonggok bangunan yang memiliki nilai supernatural bagi orang Islam (Kusumawati, 2013: 151).

Definisi ala Eliade juga hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh pendahulunya yaitu Emile Durkheim (Inyak Ridwan Muzir, 2003: 85) bahwa menurutnya hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.

Baca Juga  Memajukan Ranting dan Cabang

Dari pendefinisian dua tokoh tersebut, maka hal tersebut senada dengan apa yang di tulis di dalam KBBI bahwa yang dimaksud sakral adalah suci, keramat. Sedangkan Profan adalah tidak bersangkutan dengan agama, tidak suci, duniawi.

Wujud dari yang profan maupun yang sakral itu apa saja, dapat berupa suatu benda, kegiatan, dll. Adapun contoh dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai seorang muslim yang termasuk sakral yaitu, shalat, masjid, tasbih, dll. Dan yang profan diantaranya yaitu, kendaraan, perabotan, teman, dll. Meski pada kelanjutannya setiap yang sakral itu dapat menjelma menjadi profan (desakralisasi) atau sebaliknya.

Komaruddin Hidayat dalam laman SINDONEWS.com juga memberi contoh dari yang sakral dan profan adalah gerakan salat dan senam. Keduanya sama-sama gerak tubuh secara teratur dan terstruktur, tetapi salat diposisikan sebagai yang sakral dan bernilai transeden. Karena salat itu merupakan perintah agama, sedangkan senam tubuh diposisikan sebagai budaya yang bersifat profan.

Desakralisasi Al-Maun

Al-Quran merupakan suatu yang sakral, karena di dalamnya memuat firman Ilahi yang memiliki nilai transeden. Selain itu, Al-Qur’an sebagai kitab pedoman bagi umat Islam juga memiliki kedudukan suci, keramat dan penuh substansi bagi setiap muslim. Pasalnya dari apa yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk hidup bagi mereka di dunia dan akhirat. Juga setiap muslim bahkan bisa dikatakan mungkar jika tidak mau mengakui dan menyelisihi mukjizat agung nabi Muhammad saw ini.

Al-Maun merupakan bagian dari Al-Quran yang sakral itu. Dalam sistematika penyusunannya ia menjadi surah urutan ke-107 dan berada di juz ke-30 dari Al-Quran. Isi kandungan surah ini adalah bahwa Allah swt menjelaskan tanda-tanda orang yang mendustakan agama.

Surah berisikan 7 ayat inilah yang pernah Kiai Dahlan ajarkan dengan tafsirnya kepada para muridnya secara berulang-ulang agar dihafalkan dan diamalkan sebagaimana tersebut dalam kisah diatas sampai dengan didirikannya PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) olehnya.

Baca Juga  Kalau Anda Mau Sehat, Mulailah Menulis

Maka rasanya bukan hal berlebihan jika penulis beranggapan bahwa kesakralan amal-amal individual yang berdimensi nilai ibadah dalam isi kandungan Al-Maun, yang diantaranya; tidak menghardik anak yatim, memberi makan fakir miskin, dan menolong sesama telah mampu direalisasikan oleh Kiai Dahlan melalui sebuah lembaga sosial (profan) yaitu PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). Melalui desakralisasi ini, Kiai Dahlan lewat Muhammadiyah berusaha membangun rumah sakit untuk menolong masyarakat yang menderita sakit serta membangun rumah miskin dan rumah yatim (Mu’thi dkk., 2015: 205) juga tanpa mengurangi esensi nilai ibadah dalam pelaksanaannya.

Desakralisasi yang dilakukan oleh Kiai Dahlan ini akhirnya bedampak besar bagi umat dan memunculkan spirit al-Maun bagi warga Muhammadiyah sampai detik ini.

*) Alumni Pondok Modern Muhammadiyah Darul Arqom Patean, Kendal

Editor: Nabhan

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *