Kita memerlukan tirakat kebangsaan yang ekstra ketat. Tirakat adalah terma di dalam khazanah spiritualisme yang menekankan pentingnya menahan diri secara optimal, sehingga hal-hal yang sangat buruk, terutama yang datang dari diri kita pribadi, bisa lenyap begitu saja.
Ilmu dan lelaku tirakat ini dipraktikkan sejak lama oleh orang-orang kuno yang memiliki tingkat spiritualisme tinggi. Tidak terkecuali adalah para Nabi dan orang-orang saleh. Mereka mengalami proses spiritualisasi melalui tirakat yang luar biasa, sehingga terjadi transformasi di dalam jiwa yang kemudian juga berdampak secara sosial, politik dan kultural.
Nabi Zakaria misalnya, bertirakat dengan cara membisu tiga hari tiga malam. Maryam mengasingkan diri di tempat yang tak terjamah oleh khalayak ramai dan bahkan keluarganya. Yunus bertapa di dalam perut ikan raksasa. Musa berlatih kebijaksanaan kepada sosok misterius, Khidr. Nabi Muhammad Saw harus ber-tahannuts di dalam gua Hira untuk menerima wahyu pertama dari Jibril. Masih banyak cerita mengenai tirakat ini yang kemudian menjadi pelajaran penting bagi kita semua.
Pada intinya, tirakat adalah kunci perubahan menuju kepada kondisi yang lebih baik. Namun perubahan itu bukan dalam bentuk gerak ofensif, justru dalam bentuk upaya defensif. Secara aktif menggerakkan diri atau mempertahankan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang destruktif, maka akan memanen kebaikan-kebaikan yang berlimpah ruah.
Tirakat dalam Konteks Kebangsaan
Dalam konteks kebangsaan, tirakat ini bermakna menahan diri untuk tidak terlibat dalam ketegangan, perselisihan dan konflik. Lebih dari itu, tirakat kebangsaan berarti menahan diri dari segala tindak laku yang berpotensi mendorong timbulnya disintegrasi sentral. Disintegrasi sentral adalah perpecahan dari dalam, di tengah-tengah jantung persaudaraan kebangsaan; Bhinneka Tunggal Ika.
Hal ini bisa ditimbulkan oleh faktor perbedaan cara pandang, ideologi, maupun pragmatisme yang terkait erat dengan perhitungan untung-rugi atau masalah ekonomi. Atau, kombinasi di antara keduanya, yang satu sama lain saling memberikan dampak pada intensitas yang dihasilkan.
Di ujung timur Jawa Timur, kota Banyuwangi, terdapat lagu etnis yang bertajuk “Usum Layangan” karangan Catur Arum. Di awal liriknya disebutkan, “Usum, usum, usum layangan. Bolak digelas, dienggo bendetan.” Maknanya adalah “Musim permainan layang-layang, benangnya dipoles untuk persiapan pertarungan.” Ini menarik sekali. Karena sebenarnya lirik lagu ini tampaknya sangat cocok digunakan untuk memahami kontestasi politik atau pemilu. Partai-partai politik mempersiapkan calon terbaiknya dan kemudian berkampanye untuk memenangkan pertarungan elektoral.
Di tengah-tengah liriknya, disebutkan bahwa, “Ana abang, ana kuning, ana ijo, ana putih, macem-macem kelire.” Maknanya adalah “Ada merah, ada kuning, ada hijau, ada putih, macam-macam warnanya.” Hal ini menunjukkan betapa beragamnya kontestan politik dalam pesta demokrasi yang dihelat.
Pada puncaknya, di akhir lirik lagu ini tertuang bahwa, “Pedhote layangan sing dadi paran, tapi ojo sampek pedhot seduluran.” Artinya, “Putusnya layang-layang tidak memberikan faedah apapun kecuali kekalahan semata, tapi jangan sampai putus pula tali persaudaraan.” Inilah pelajaran terpenting dari pertarungan elektoral yang dimaksud.
Kita punya pengalaman yang muram pada Pemilu 2019 lalu. Setelah pemenang kontestasi politik diumumkan, pihak-pihak yang kalah dan juga para pendukungnya menciptakan huru-hara yang menyebabkan meninggalnya 6 orang dan 200 orang mengalami luka-luka. Tampak sekilas ada pula yang menambahkan “nuansa keagamaan” pada proses konflik yang berlangsung. Orang-orang yang tidak puas dengan hasil Pemilu, bukan sekedar menyalahkan KPU sebagai penyelenggara, tapi juga mencap “curang” terhadap pemenangnya. Dalam terma-terma keagamaan yang digunakan, KPU dan pemenang telah melakukan sesuatu yang keji dan diharamkan, sehingga berimplikasi pada adanya perbuatan dosa. Karena itu, harus dimakzulkan.
Lebih jauh sebelum itu semua terjadi, pada proses kontestasi politik, pembelahan sosial terjadi. Seolah-olah pemilih pro-Islam dan pribumi diperhadapkan dengan pro-kebhinnekaan dan pihak asing. Bahkan di jagat maya, terdapat sebutan khas bagi masyarakat yang terbelah ini, yakni cebong, kampret, dan kadrun.
Pembelahan sosial tersebut secara lebih mendalam sebenarnya berakar pada ketidakpuasan yang menyejarah (sejak zaman Orde Lama), yang mengatasnamakan mayoritas. Kemudian, diperberat dengan adanya tekanan psikologis (dan sosial) sehingga merasa bahwa mereka adalah “korban” dari ketidakadilan dan marginalisasi yang dilakukan oleh dua kelompok penting: penguasa dan liyan (menunjuk kepada minoritas, yang terkadang disebut asing, terkadang pula aseng, tergantung konteksnya). Mereka mengalami deprivasi relatif, sehingga mengidentifikasi sebagai kelompok yang tersingkirkan.
Langkah yang dimulai oleh para tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, terutama melalui KH Yahya Cholil Staquf dan Prof. Dr. Haedar Nashir, bisa menjadi inspirasi untuk melakukan tirakat kebangsaan yang lebih massif. Mereka mengajak kita semua agar mencermati betul apa yang terjadi, sehingga ketika proses kontestasi politik elektoral berlangsung, hal itu tidak menyebabkan polarisasi di tengah-tengah umat.
Di tahun 2023 ini, di mana tampaknya situasi adem, ayem, aman, dan tentram (kecuali akrobat politik yang ditampilkan partai-partai), justru kita semua harus senantiasa “eling lan waspada” (ingat dan waspada). Yang kita ingat adalah harga persatuan, kesatuan dan integrasi bangsa, jauh lebih mahal tak terkira dibandingkan dengan kelihaian politik elektoral yang hanya berebut kursi kekuasaan politik. Hal terjauh yang dijangkau oleh elit politik dari kontestasi ini, sejauh yang kami perhatikan dan kami klaim, hanyalah akses terhadap sumber-sumber kekayaan, bukan suatu proses demokratisasi substansial yang menjunjung pentingnya nilai-nilai kemerdekaan yang berkeadaban.
Mudah-mudahan dengan pertarungan yang ada kali ini, hingga tuntas nanti dan berakhir dengan pengumuman pemenang Pemilu, kita tetap menjaga keutuhan bangsa. Kita bukanlah kayu bakar, apalagi bara yang siap membumi-hanguskan integrasi bangsa. Setelah Pemilu, tidak perlu sakit hati, mengumbar amarah dan menumpahkan darah. Mari kita ber-nawaitu dengan sekuat tenaga untuk memulai tirakat kebangsaan ini.
Editor: Soleh