Riset

Dinamika Ide Monoteisme Agama Ibrahim

4 Mins read

Pada sekitar tahun 2091 SM, ketika Ibrahim dan kaumnya diusir oleh penduduk Syria dan Jordania, mereka melanjutkan pengembaraan (ekspansi) sampai ke Palestina. Di Palestina, Ibrahim dan kaumnya sempat tinggal selama beberapa waktu lamanya.
Palestina kuno dihuni oleh bangsa Kanaan (Fenisia) dan Amor.

Dari segi kebudayaan, mereka banyak meniru bangsa Akkad (pagan). Tetapi bangsa Palestina kuno memiliki dewa-dewa tersendiri. Mereka tidak menyembah Shamash, Sin, ataupun Ishtar di Mesopotamia. Berbeda dengan penduduk kota Ur, bangsa Palestina kuno memiliki tiga dewa utama: El, Baal, dan Yam. Selain ketiga dewa ini, bangsa Palestina kuno juga mengenal dewa Yah (Yahoo).

El adalah ayah para dewa. El memiliki istri bernama Asherah dan melahirkan sebanyak 70 dewa. Di antara sekian banyak putra El terdapat Baal dan Yam. Dewa Baal yang dilukiskan secara antropopatis berseteru dengan Yam. Kemenangan pada Dewa Yam dan dia ditunjuk oleh Dewa El sebagai raja para dewa.

Perlu dicatat dalam hal ini bahwa pada masa kehidupan Nabi Ibrahim, nama tuhan yang selalu disembahnya tidak teridentifikasi nama-Nya. Ibrahim tidak pernah mengetahui secara eksplisit siapa nama tuhannya. Namun dalam keyakinannya telah terpatri bahwa tuhannya adalah “maha tunggal”, bersifat imanen dan transenden.”

Baru setelah Ibrahim menetap di Kanaan, dia menyeru tuhannya dengan sebutan “El”. Namun sekali-kali perlu diingat, nama El, dalam tradisi bangsa Kanaan adalah sebutan untuk salah satu dewa mereka. El adalah “Dewa Ayah” bagi bangsa Kanaan.

Tampaknya, Ibrahim sedang membuat asosiasi bahwa nama tuhannya, El, berada di atas segala dewa. Sebab El adalah “Dewa Ayah” yang secara hirarkhis dalam sistem kekeluargaan dianggap sebagai pemimpin atau sosok yang memiliki otoritas tertinggi.

Sekalipun Ibrahim telah mengadopsi nama pagan untuk menyebut tuhannya, tetapi secara subtantif dia terus membangun makna tuhan yang hakiki berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya. Tidak masalah nama tuhan mengunakan nama pagan, tetapi sifat-sifat Dzat-Nya tidak dapat diserupakan dengan makhluk.

Baca Juga  Tiga Syarat Percepatan Digitalisasi Muhammadiyah

Fenomena unik monoteisme ini memang dapat dipahami. Orang-orang Ibrani pada masa kehidupan Nabi Ibrahim memang tidak memiliki bahasa yang dapat diungkapkan dengan tulisan. Bahasa mereka tidak berkembang, karena hanya sebatas bahasa dalam bentuk “ujaran.” Sebagai bangsa nomaden, mereka jelas tidak dapat mengembangkan seni bahasa sehingga tertinggal jauh oleh bangsa-bangsa yang menetap.

Dalam rumpun bahasa-bahasa Smitik, termasuk di dalamnya bahasa Arab, nama Tuhan diungkapkan dengan kata “Ilah,” “Il,” dan “El” (Nurcholish Madjid, 1992: xxii). Kata Ilah jelas menunjukkan arti “sesuatu yang disembah” (tuhan). Begitu juga dengan Il dan El (Ibrani: Elohim). Misalnya, nama putra Ibrahim adalah Ismail (Isma-El) yang sesungguhnya berasal dari kata “Isma” dan “El” (Il). Artinya, “Tuhan telah mendengar.”

Ibrahim telah berdoa kepada tuhannya supaya segera dikaruniai keturunan. Sebab, usianya makin uzur. Begitu juga dengan Sarah yang tidak kunjung hamil. Pada saat Ibrahim telah diberi izin oleh Sarah untuk menikahi Hajar, maka Tuhan menganugerahkan seorang anak kepadanya. Anak tersebut kemudian diberi nama Ismail (Isma-El).

Sekalipun Ibrahim mengadopsi konsep kepercayaan Pagan bangsa Palestina kuno tentang nama El, tetapi dia tidak menyerupakan tuhannya dengan benda-benda dan tidak menyifatinya dengan sifat-sifat manusia. Baginya, tuhan melebihi segala-galanya. Inilah sejarah penggunaan nama El atau Ilah.

Sejarawan Israel Wilson menyebut rombongan hijrah Ibrahim dan kaumnya dengan sebutan “orang-orang Ibrani” (Hebrew). Sebab, mereka telah menyeberangi sungai Euphrat dan Jordan. Oleh para sejarawan, peristiwa penyeberangan sungai Euphrat dan Jordan yang dilakukan oleh Ibrahim as. dan kaumnya dijadikan sebagai bukti untuk penamaan atas bangsa ini sebagai “Bangsa Ibrani.” Karena secara kebahasaan, kata “Ibrani” berarti “menyeberang.”

Dalam proses menetap di Kanaan ini, kaum Ibrahim as. mengalami keterasingan. Sebab, kaum Ibrahim as. pada dasarnya adalah bangsa nomaden yang tidak memiliki peradaban. Secara psikologis mereka sulit berbaur dan berinteraksi dengan penduduk setempat.

Baca Juga  Berpikir Kritis ala Imam Ghazali

Apalagi telah jelas bahwa penduduk setempat memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Nabi Ibrahim as. Penduduk setempat menganut keyakinan Paganisme dengan menjadikan dewa-dewa (El, Baal, dan Yam) sebagai sesembahan. Sementara ajaran Nabi Ibrahim as. menyembah Tuhan Yang Satu, yang tidak terlihat dan tidak dapat dipersepsi secara antropomorphis.

Mempromosikan Monoteisme

Pada sekitar 2091 SM, Ibrahim dan kaumnya melanjutkan pengembaraan menuju Shikem (sekarang Nablus). Di tempat ini, Ibrahim menjalankan misinya, yakni menyebarkan ajaran monoteisme. Mulai di Shikem ini, Ibrahim mengubah konsep dakwahnya.

Dakwah tidak bisa hanya dilakukan secara lisan, tetapi juga harus lewat keteladanan personal. Karena itu, atas dasar ini, Ibrahim membangun sebuah “altar pemujaan” untuk menyebut nama Tuhannya dan melakukan kurban. Tujuannya agar penduduk setempat mengetahui model peribadatannya.

Tampaknya, inilah awal sejarah misionaris dalam agama-agama samawi. Ibrahim yang menetap sebentar di Shikem mengubah model dakwahnya dari konsep seruan-seruan secara lisan menjadi model keteladanan personal. Pada setiap penduduk setempat, Ibrahim memberikan keteladanan moral yang luhur.

Kita perlu mengetahui bahwa sosok Ibrahim, di samping sebagai sosok yang kokoh pada pendirian, juga tergolong orang yang lemah lembut, berbudi luhur, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Semua orang sudah tahu dengan karakteristik sosok Nabi Ibrahim ini. Tetapi, dia merasa kesulitan untuk memperkenalkan tuhannya kepada penduduk setempat. Oleh karena itu, dia membangun “altar pemujaan” di Shikem. Di depan altar Ibrahim melakukan ritual menyebut nama tuhannya dan berkurban binatang sembelihan.

Apa yang dilakukan oleh Ibrahim ini tidak lain dalam rangka memperkenalkan tuhannya kepada penduduk setempat. Ibrahim seakan-akan sedang berbicara lewat simbol pemujaan di depan altar, bahwa seluruh hidupnya, segala kebaikan yang dimilikinya, hanya didedikasikan kepada tuhannya. Dengan cara demikian, penduduk setempat lebih mudah memahami bahwa tuhan yang disembah oleh Ibrahim memang sangat menghendaki budi luhur.

Baca Juga  Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Setelah menetap di Shikem beberapa lama, Ibrahim dan kaumnya terus bergerak melanjutkan pengembaraan hingga sampai di Betel. Seperti biasa, Ibrahim membangun kembali “altar pemujaan” untuk menunjukkan model peribadatan baru, monoteisme, yang berbeda dengan peribadatan penduduk setempat. Nama “Betel” jika diunut berdasarkan asal katanya dalam bahasa Ibrani hampir sama seperti kata Bait Allah dalam bahasa Arab. Kata Betel dalam bahasa Ibrani berasal dari kata “Bet” berarti “Rumah” dan “El” berarti “Tuhan.” Sama seperti dalam bahasa Arab untuk kata “Bait Allah.” (Bersambung)

***

*Tulisan Dinamika Ide Monoteisme Agama Ibrahim ini merupakan tulisan keenam dari serial Legasi Arab Pra Islam. Serial ini merupakan serial lanjutan dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.

Baca juga Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah

Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash

Seri 4 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban

Seri 5 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Seri 6 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan

Seri 7 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Relasi Kebudayaan dan Kekuasaan

Seri 8 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Persia di Timur Tengah

Seri 9 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kepercayaan Majusi bagi Bangsa Arab

Seri 10 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Seri 1 Legasi Arab Pra Islam: Bukan “Jazirah Arab”, tapi “Syibhu Jazirah Arab”

Seri 2 Legasi Arab Pra Islam: Siapakah Bangsa Arab Itu?

Seri 3 Legasi Arab Pra Islam: Nenek Moyang Bangsa Arab

Seri 4 Legasi Arab Pra Islam: Perkembangan Ide Monoteisme Agama Ibrahim

Editor: Yusuf

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds