Riset

Bukan “Jazirah Arab”, tapi “Syibhu Jazirah Arab”

5 Mins read

Sebutan “Jazirah Arab” dalam buku-buku pelajaran Tarikh maupun literatur-literatur sejarah umat Islam masih tetap dipakai hingga kini. Hingga akhirnya muncul pertanyaan menggelitik: benarkah sebutan “Jazirah Arab”? 

Selama ini banyak kalangan masih menyebut kawasan Arab dengan sebutan “Jazirah.” Dalam hal ini, nama atau penyebutan “Jazirah” untuk wilayah Arab memang agak kurang tepat. Istilah “Jazirah” dalam bahasa Arab lebih tepat diartikan sebagai “pulau” atau dapat pula berarti “anak benua.”

Rupanya, bangsa Arab lebih suka menyebut tanah air mereka sebagai “pulau” (jazirah), walaupun sebenarnya tidak seperti dalam pengertian pulau pada umumnya. Karena kawasan ini banyak dikelilingi oleh perairan dari segala penjuru sehingga seolah-olah tanah Arab menyerupai sebuah anak benua (Syibh Al-Jazirah Al-‘Arabiyah).   

Nah, membayangkan Jazirah Arab pada saat ini jelas amat berbeda dengan kondisi pada sekitar Millenium Ketiga Sebelum Masehi (SM). Sekitar 6000 tahun yang silam, di tengah-tengah cuaca panas dan gersang serta keadaan ekonomi yang amat susah mendorong suku-suku Arab melakukan ekspansi secara besar-besaran ke tepi Laut Tengah.  

Kondisi Jazirah Arab 6000 tahun yang silam jelas berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Apalagi setelah ditemukan sumber atau ladang minyak di kawasan gersang dan tandus ini. Sumur-sumur pengeboran minyak terbesar di dunia telah mengubah kawasan ini secara besar-besaran dari peradaban gurun pasir tandus hingga berubah menjadi kota-kota metropolitan. Perekonomian di kawasan ini langsung terangkat. Penduduknya pun tidak lagi hidup sebagai bangsa pengembara. 

Secara sosiologis-kultural, Jazirah Arab memang telah banyak berubah. Suku-suku padang pasir sudah membangun kota-kota besar dengan sistem kebudayaan yang mapan. Tetapi, sekalipun Jazirah Arab telah banyak mengalami perubahan, namun secara geogafis sejak 6000 tahun yang silam hingga saat ini tetaplah sama. Jazirah Arab tetap saja berupa padang bebatuan dan gurun pasir yang amat tandus dan gersang.     

Adapun nama Arab berarti “suatu kawasan tandus.” Kata Arab juga berarti “padang pasir” atau “gurun.” Oleh karena itu, untuk menyebut suku-suku yang bermukim di kawasan ini disebut A’rab (orang-orang gurun) (Syafiq Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam” : 11). Pada akhirnya, kata Arab ditujukan kepada sekelompok manusia dengan sistem sosial dan kebudayaan tertentu yang berbasis di lingkungan gurun pasir atau padang tandus. 

Baca Juga  Islam Fundamentalis: Siapa dan Bagaimana Mereka Muncul?

***

Struktur geografis Jazirah Arab memang amat strategis. Kawasan ini dikelilingi oleh lautan dari tiga jurusan, yaitu: Laut Merah di sebelah barat, Samudera Hindia di sebelah selatan, dan Teluk Persia di sebelah timur. Dengan diapit oleh tiga lautan tersebut, kawasan ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Apalagi sungai Furat (Euphrat) dan Dajlah (Tigris) merupakan jalur perdagangan dunia. Letak Jazirah Arab amat menguntungkan bagi masyarakat yang mendiami kawasan ini (bangsa Arab). Sejak zaman kekuasaan Persia dan Romawi, kawasan ini menjadi salah satu tujuan perdagangan (Hasan Ibrahim Hasan, 2002: 5). 

Setelah bangsa Arab mengenal sarana transportasi dengan teknologi yang sangat maju, kawasan ini berubah menjadi jalur perdagangan regional, bahkan internasional. Saat ini, bangsa Arab telah menikmati keuntungan dari letak geografis yang sangat strategis tersebut. Secara politik, yang termasuk dalam kategori bangsa Arab saat ini adalah negara-negara seperti: Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain.   

Iklim geografis di Jazirah Arab tidak sama. Tidak semua kawasan Jazirah Arab berupa padang pasir. Juga tidak semuanya berupa pegunungan tandus yang gersang. Beberapa kawasan ternyata memiliki iklim yang baik untuk pertanian. Para sejarawan membagi kawasan Jazirah Arab menjadi tiga bagian berdasarkan jenis iklim yang berbeda. Ketiganya yaitu: Arab Petra (pegunungan tandus dan rata-rata terdiri atas tanah bebatuan), Arab Deserta (padang pasir yang panas), dan Arab Felix (kawasan subur). 

Arab Petra merupakan kawasan tadus yang terdiri atas pegunungan dan tanah bebatuan. Iklimnya panas menyengat. Untuk bagian Arab Deserta berupa padang pasir berdebu yang panas dan kering. Adapun Arab Felix lebih masyhur disebut dengan “Green Land” (Bumi Hijau). Kawasan ini merupakan bagian dari Negeri Yaman. Disebut “Bumi Hijau” karena Yaman terkenal dengan kesuburan tanahnya. Letaknya di selatan Hijaz. 

Umumnya, daratan Jazirah Arab terdiri dari gurun pasir dan padang tandus berdebu. Iklim Jazirah Arab kurang menguntungkan. Hanya beberapa kawasan saja yang memiliki iklim yang baik. Daerah yang boleh dikatakan subur, seperti Negeri Yaman (Arab Felix) dan sebagian di kawasan Bahrain. Karena kondisi iklim yang kurang menguntungkan, pada sekitar Millenium Ketiga Sebelum Masehi suku-suku Arab banyak yang hijrah ke kawasan tepi Laut Tengah.

Baca Juga  Pandemi Memaksa Muhammadiyah Maksimalkan Teknologi

Pada akhirnya, suku-suku Arab yang berhasil melakukan ekspansi ke belahan bumi lain dapat menaklukkan bangsa Sumeria di kawasan subur di antara dua sungai, Furat dan Dajlah, yaitu kawasan yang amat masyhur dikenal dengan Mesopotamia. Orang-orang keturunan suku-suku Arab yang berhasil membangun peradaban di Mesopotamia adalah bangsa Akkad. 

Adapun suku-suku yang memilih tetap tinggal di Jazirah Arab mereka membangun peradaban di atas tanah gurun yang gersang. Mereka hidup berkelompok membentuk masyarakat yang tidak pernah terorganisasi secara rapih. Karakteristik sistem sosial mereka dibangun di atas perasaan solidaritas antarklan.  

***

Kondisi geografis yang berbeda-beda mempengaruhi pembentukan watak dan sistem sosial-budaya yang berbeda-beda pula. Misalnya, kawasan yang terdiri atas padang pasir tandus (Deserta) atau pegunungan bebatuan (Petra) jelas mempengaruhi watak dan tradisi suku-suku yang hidup di dalamnya dibanding dengan mereka yang hidup di kawasan Felix

Para sejarawan Muslim kemudian membagi kawasan Jazirah Arab secara lebih terperinci menjadi lima kategori wilayah: Tihamah, wilayah yang berada di sepanjang Laut Merah mulai dari Yanbu’ sampai Najran (Yaman); Hijaz, kawasan yang terletak di sebelah utara Yaman dan sebelah timur Tihamah; Nejd, wilayah yang membentang di antara Yaman di sebelah selatan dengan sahara As-Samarah di sebelah utara hingga wilayah Al-‘Arudh dengan perbatasan Irak; Yaman, wilayah yang membentang dari Nejd sampai Samudera Hindia di sebelah selatan dan Laut Merah di sebelah Barat; Al-‘Arudh, wilayah yang meliputi Yamamah, Oman, dan Bahrain.

Masing-masing wilayah memiliki iklim dan kondisi geografis yang berbeda. Seperti kawasan Tihamah beriklim panas (menyengat) dan berangin lemah. Kita dapat membayangkan jika suatu tempat beriklim panas, tetapi hanya sedikit anginnya yang berhembus. Sudah dapat dipastikan kawasan tersebut amat panas menyengat. Secara geografis kawasan ini lebih rendah dibanding wilayah Nejd. Kemudian wilayah Hijaz (Arab Utara) berupa padang pasir dan pegunungan tandus.

Baca Juga  Meretas Mitos Agama VS Sains

Di kawasan ini, yakni di lembah Bakkah, terdapat sebuah “Kuil Tua” (Bait Al-‘Atiq) yang kemudian dikenal dengan nama Ka’bah. Kuil Tua yang disakralkan ini dibangun pertama kali pada masa Nabi Adam as. dan kemudian ditinggikan kembali pondasinya pada masa Nabi Ibrahim as. (Muqaddimah: 406). 

Pada masa pra Kenabian, Kuil Tua ini berkali-kali mengalami kerusakan. Baik karena diterjang banjir besar maupun disebabkan oleh ulah tangan manusia sendiri. Pada masa Nabi Muhammad saw. berusia 35 tahun, Kuil Tua nan suci ini direnovasi setelah sebelumnya mengalami kerusakan karena diterjang banjir (Muhammad Khudlari Bek, Nur Al-Yaqin Fi Sirah Sayyid Al-Mursalin: 12). 

Wilayah Nejd berupa dataran tinggi atau jalur pegunungan. Kemudian kawasan Yaman memiliki iklim yang cukup baik. Bahkan, di kawasan ini, sebelum masa kedatangan Islam, yakni pada sekitar tahun 1000 SM pernah lahir Peradaban Ma’rib (Negeri Saba’). Peradaban Ma’rib yang terkenal dengan bendungannya (Sadd Al-Ma’rib) merupakan peradaban orang-orang keturunan Arab Qathan. Adapun wilayah ‘Arudh berupa kawasan padang (Padang Pasir Sahara) yang amat gersang serta ditandai dengan udara yang panas menyengat. (Bersambung)

***

*)Tulisan ini merupakan seri pertama dari serial Legasi Arab Pra Islam. Serial ini merupakan serial lanjutan dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.

Baca juga Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah

Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash

Seri 4 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban

Seri 5 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Seri 6 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan

Seri 7 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Relasi Kebudayaan dan Kekuasaan

Seri 8 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Persia di Timur Tengah

Seri 9 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kepercayaan Majusi bagi Bangsa Arab

Seri 10 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Editor: Yusuf

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *