Review

Fakta Perjuangan Umat Islam Akar Rumput dalam Revolusi Indonesia (1945-1949)

9 Mins read

Buku yang ditulis oleh Kevin W. Fogg—Direktur Carolina Asia Center, Universitas Carolina Utara, Chapel Hill, Amerika Serikat— ini menyajikan banyak fakta sejarah umat Islam di Indonesia dalam membangun spirit perjuangan dalam melawan penjajahan yang belum sama sekali terpublikasi. Secara garis besar buku ini mendaras watak Islam di Indonesia dan perkembangan-perkembangan masyarakat Muslim Indonesia pada paruh awal abad ke-20 M.

Keunikan buku ini ialah tidak hanya menyajikan sejarah perjuangan umat Islam dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, melainkan terdapat sudut pandang baru dalam menyajikan fakta sejarah perjuangan umat Islam, yaitu keikutsertaan kaum Muslimin lokal dalam mempertahankan kemerdekaan, pembentukan laskar kemerdekaan hingga peran-peran spiritual (magis) dalam mempertahankan kemerdekaan.

Buku ini disajikan dengan gaya bahasa yang ringan, akademis dan publikatif. Namun, perlu kemudian dipahami bahwa buku yang bermula dengan judul Indonesia’s Islamic Revolution, terbitan Cambridge University Press, 2020 dan kini menjadi Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia, tidak lepas akan peran penting penerjemah ke dalam bahasa Indonesia yang mudah dipahami. Apalagi konteks yang disajikan dalam buku ini ialah sejarah, yang pasti penerjemah membutuhkan kosa kata yang tidak sedikit dalam menjamah setiap maksud-maksud yang diuraikan penulis.

***

Namun, setelah membaca buku ini, penggunaan bahasanya ternyata mudah dipahami oleh pembaca, terutama kalangan akademisi dan pegiat sejarah. Terlepas dari penyampaian maksud yang mudah dipahami, buku ini telah mewartakan sejumlah peristiwa sejarah masyarakat Islam di Indonesia dari akar rumput sampai ke permukaan (sosio-politis), dari mulai peran perjuangan individu hingga perjuangan yang terorganisir.

Dalam resume kali ini, penulis hanya sedikit mendaras ulang saja terkait perjuangan masyarakat Islam Indonesia dalam menuju kemerdekaan 1945, baik tujuan kemanusiaan maupun kebangsaan (bangsa-negara).

Dalam sejarah revolusi Indonesia (1945-1949) yang sedikit banyak kita ketahui bahwa panggung sejarah menampilkan peran-peran penguasa besar dalam mewujudkan kenasionalisan. Artinya, yang membangun nasionalisme sering diketemukan ialah mereka yang memiliki peran besar bagi Indonesia.

Namun, Fogg menyorot jauh lebih detail ke akar rumput untuk melihat kiprah dan peran umat Islam khususnya dalam turut serta memperjuangan dan membangun nasionalisme yang masih berumur jagung, dan yang pasti terlepas dari peristiwa proklamasi, Indonesia masih dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa konflik yang belum usai.

Islam dan Seruan Aksi Kemerdekaan

Seruan aksi massa Islam dalam mempertahankan kemerdekaan juga turut digemakan oleh masyarakat Islam dalam arus bawah. Seruan aksi muncul ketika resolusi jihad yang difatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya, bahkan seruan aksi ini memicu munculnya aksi dan fatwa jihad di berbagai daerah penjuru negeri. Lebih dari itu, fatwa resolusi jihad dalam mempertahankan NKRI ini bukan semata-mata karena negara, melainkan atas dasar komitmen Islam dan kebangsaan.

Secara penanggalan, kemungkinan terdapat beberapa ulama yang lebih dulu memfatwakan jihad tersebut sebelum fatwa resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari yang memantik semangat hingga penjuru negeri. Antara lain seruan-seruan tersebut, ialah fatwa jihad di berbagai negeri, pembentukan lasykar-lasykar jihad, dan kekuatan magis dalam perjuangan kemerdekaan.

***

Pertama, fatwa jihad di berbagai negeri. Seruan para ulama lokal hanya satu jenis dari sekian banyak seruan Islam untuk aksi selama revolusi Indonesia. Seruan-seruan untuk aksi ini beragam, mulai dari pekik dan slogan-slogan sebaris sampai esai-esai nan panjang dan rumit, dan kadang-kadang tak terucapkan, seperti anjuran tersirat yang disebabkan oleh serangan Belanda terhadap sasaran Islam.

Jenis seruan yang paling jelas dan banyak adalah fatwa atau putusan hukum Islam yang membagi-bagi perbuatan dalam hukum Islam sebagai wajib, haram, atau sesuatu di antara keduanya.

Banyak fatwa dikeluarkan di seluruh negeri dan sepanjang masa revolusi Indonesia yang menyerukan kaum Muslim untuk berjuang, sering mewajibkan mereka berpartisipasi sebagai kewajiban agama dan menjelaskan kepada mereka mengapa perjuangan itu perlu, bahkan suci.

Seruan-seruan Islam untuk aksi ini merupakan tempat memulai yang natural karena menyediakan jendela untuk memasuki pemahaman Muslim tentang revolusi. Tentu saja, tidak ada satu ideologi seragam untuk semua Muslim—ada juga yang bervariasi dalam penjelasan-penjelasan teologi tentang perlunya memerangi Belanda.

Baca Juga  Utamakan Sedekah daripada Kurban: Mengapa Muhammadiyah Begitu?

Namun, jelas bahwa banyak Muslim mengklaim revolusi melawan Belanda sebagai perang agama, atau jihad fi sabilillah. Mobilisasi itu, dalam pandangan mereka, bukan hanya menjunjung tinggi kemerdekaan Indonesia, melainkan juga untuk membela agama Islam.

Ulama percaya bahwa kemerdekaan adalah benteng penting untuk mendukung kemajuan Islam, sehingga mereka menitahkan kaum Muslim wajib turut serta dalam memerangi Belanda. Seruan-seruan Islam untuk aksi mewarnai cara kaum Muslim memandang dan memahami pertisipasi mereka dalam revolusi serta hasil yang diharapkan dari perjuangan.

***

Sejak permulaan revolusi di seluruh Nusantara, kaum Muslim akar rumput tidak hanya menyebarkan slogan-slogan mereka sendiri tentang agama dan perjuangan Indonesia. Tapi mereka juga mendengar keputusan-keputusan dari ulama tentang perang.

Dalam istilah Islam, keputusan-keputusan itu dikeluarkan sebagai fatwa. Fatwa-fatwa yang diputuskan membahas seputar perjuangan fi sabillah atau jihad fi sabillah. Dengan demikian, fatwa merupakan jendela yang berguna untuk memahami pemikiran para sarjana Islam tentang revolusi Indonesia.

Salah satu fatwa besar tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI ialah fatwa yang diterbitkan oleh masyarakat Islam Aceh, yaitu pada 15 Oktober 1945. Teks dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin itu mengumumkan akhir Perang Dunia II dan memperingatkan bahaya rekolonisasi Belanda:

Mereka akan memperboedakkan rakjat Indonesia mendjadi hambanja kembali dan mendjalankan oesaha oentoek menghapoes agama Islam kita jang soetji serta menindis dan menghambat kemoeliaan dan kemakmoeran bangsa Indonesia… Maka pertjajalah wahai bangsakoe, bahwa perdjoeangan ini adalah sebagai samboengan perdjoeangan dahoeloe di Atjeh jang dipimpin oleh almarhoem Tgk. Tjhi’ di Tiro dan pahlawan2 kebangsaan jang lain. Dari sebab itoe, bangoenlah wahai bangsakoe sekalian, bersatoe padoe menjoesoen bahoe mengangkat langkah madjoe kemoeka oentoek mengikoet djedjak perdjoeangan nenek kita dahoeloe. Toendoekanlah dengan patoeh akan segala perintah2 pemimpin kita oentoek keselamatan Tanah Air, Agama, dan bangsa.

***

Kemudian juga terdapat fatwa lain yang ditulis dengan bahasa Jawi pegon (Indonesia dengan huruf Arab). Menariknya fatwa ini cukup berbau Islam yang lebih militan, dan dibacakan ketika khutbah-khutbah Jumat dan diajarkan di sekolah-sekolah Islam, dan naskahnya pun tak terjangkau oleh pemerintah pada waktu itu. Fatwa ini dikeluarkan dengan tanggal yang sama, tapi dengan pesan yang lebih religius:

Bismillah nasihat kepada sekalian Muslimin. Alhamdulillah….

Diharap kepada sekalian saudara Muslimin bahwa sekalian kita bersambung dengan nikmat Allah yaitu kemerdekaan negeri kita Indonesia. Hendaklah sekalian kita memberi Syukur kepada Allah atas nikmat…dan lain-lain nikmat pun hendaklah kita berapit-apit bersama-sama atas atas menghampiran Tentara Mujahid bahwa berkat agama Allah dan meninggi kalimat Allah dan mengukuh aturan Islam. Wajiblah atas kita bersambung-sambung atas melawan musuh Allah dan musuh Rasul dan mengikuti…. Muslimin jangan mengikuti penjajah kafir atau yang miring kepada mereka itu yang hendak menjajah kembali Indonesia, wajiblah atas kita kasih dan jinak kepada Allah dan Rasulnya dan hendaklah kamu mengorbankan jiwa dan harta-harta kita pada menulang agama Allah dan kerajaan yang sah.

Fatwa-fatwa Aceh, keputusan Islam besar pertama yang dipublikasikan selama revolusi, mengatur pola keputusan-keputusan Islam pada kemudian hari, dengan menegaskan logika Islam yang jelas untuk melawan Belanda, dengan mewajibkan kaum Muslim ikut berperang, dan dengan menentang secara tajam proklamasi pemerintahan sekular yang dikeluarkan pada saat yang sama. Elemen-elemen ini kemudian mengilhami perjuangan semangat masyarakat Islam di Jawa.

***

Fatwa paling terkenal muncul dalam mendukung revolusi dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama di Jawa Timur. Berkumpulah para ulama dan pejuang kemerdekaan Surabaya pada malam 21 Oktober 1945, di bawah kepemimpinan KH. Wahab Hasbullah, dan atas sepengetahuan pemimpin tertinggi KH. Hasyim Asy’ari, para pemikir Islam tradisionalis terkemuka di wilayah itu membahas situasi militer dan politik dalam lingkup kewajiban agama. Pada bagi buta tanggal 22 Oktober 1945, mereka menuntaskan dan memutuskan sebagai berikut:

  1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, wajib dipertahankan.
  2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa.
  3. Musuh-musuh Republik Indonesia terutama Belanda yang datang menbonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Amerika, Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
  4. Umat Islam terutama warga Nahdlatul Ulama, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
  5. Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardhu ‘ain) yang berada dalam jarak radius 95 km, (yakni jarak saat umat Islam boleh sembahyang jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudara yang berada dalam jarak radius 95 km tersebut.

Tidak hanya fatwa resolusi jihad besar di atas, KH. Hasyim Asy’ari juga melarang umat Islam untuk pergi haji pada 1946 untuk sementara waktu saja. Karena kondisi itu, Belanda juga memanfaatkan haji untuk memperdaya umat Islam Indonesia. Maksud pelarangan sementara waktu itu ialah supaya seluruh umat Islam terlibat dalam perjuangan dan memperlemah upaya-upaya Belanda mengakomodasi Islam.

Baca Juga  Fikih Akbar: Membumikan Islam Rahmah

Di Sumatera Utara, organisasi Jam’iyatul Washliyah malah jauh lebih keras dalam mendukung perjuangan revolusi, sampai pada titik menyatakan “siapa penghianat tanah air halal darahnya” di dalam dekritnya. Resolusi Washliyah itu menyatakan bahwa mereka yang tidak berperang untuk Indonesia tergolong murtad. Antara lain, hal ini memungkinkan para pengikut Muslim untuk membunuh para pemimpin foedal setempat mereka dan Muslim lainnya dengan penuh kesadaran.

***

Kedua, pembentukan lasykar-lasykar jihad. Perwujudan partisipasi Islam yang paling menonjol dalam perjuangan kemerdekaan adalah lasykar-lasykar Islam yang diorganisasi oleh partai politik Islam nasional Masyumi, yaitu Hizbullah dan Sabilillah. Karena awalnya Partai Masyumi lebih dari sebagai payung untuk organisasi-organisasi Islam pada masa Jepang, kemudian lasykar-lasykar ini sering berfungsi sebagai cabang dari Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.

Hizbullah yang mengambil bahasa Arab yang berarti “Faksi Allah” dibentuk pada 1944 ketika Jepang ingin melatih kaum Muslim dalam rangka mobilisasi perang mereka. Lasykar Hizbullah, paling tidak secara teoritis, dilatih dan dipersenjatai oleh Jepang saat pendudukan, sehingga sudah siap ketika pertempuran meletus setelah Jepang menyerah.

Sedangkan Sabilillah yang berarti “Jalan Allah” dimaksudkan sebagai pasukan tidak tetap; semua laki-laki Muslim termasuk perempuan yang dalam kondisi fisik siap berperang bisa dipanggil bergabung dengan unit Sabilillah ketika daerah membutuhkannya.

Di seluruh Indonesia, terutama Jawa dan Sumatra, para ulama lokal yang berwawasan organisasi sering mendorong murid-murid mereka yang sudah mencapai usia berperang menjadi anggota Hizbullah di bawah kepemimpinan mereka. Syaikh Kiai Yahya dari Muara Enim, Sumatra Selatan, mendorong pemuda binaannya bergabung dengan satu divisi Hizbullah. KH. Noer Alie di Bekasi, Jawa Barat, juga memasukkan para muridnya ke kesatuan Hizbullah.

Tidak hanya dalam perlakuan, perbedaan juga tampak pada perekrutan. Di banyak daerah, kesalehan penduduk lokal membuat mereka bergabung dengan lasykar-lasykar Hizbullah, ini yang terjadi di Tegal dan Brebes. Di Bekayang, Kalimantan Barat, Hizbullah menjadi kelompok lasykar utama di wilayah tersebut yang didirikan oleh Kapten Bambang Ismoyo dari Jawa.

Semangat perjuangan tidak hanya bagi kaum laki-laki Muslim, kelompok perempuan pun turut mendukung perjuangan kemerdekaan sebagai sayap-sayap perjuangan. Ini terbukti dengan terbentuknya Sabilillah Muslimaat. Mereka meneladani kaum perempuan yang mengikuti Rasulullah Saw, dan para sahabatnya ketika terjun ke medan perang, yaitu menyediakan air minum dan merawat tentara yang terluka.

Fokus awal adalah palang merah dan aktivitas dapur umum. Sebagian lagi melakukan upaya-upaya membantu keluarga para tentara yang syahid dan memberikan pakaian untuk tentara jika keadaan setempat mengizinkan.  

***

Ketiga, kekuatan magis dalam perjuangan kemerdekaan. Kekuatan magis menggunakan agama pada mulanya merupakan bagian dari upaya memikat pemeluk baru Islam di Asia Tenggara. Tentu saja, tokoh-tokoh terkenal dan bagian dari legenda, Wali Songo, yang membuat seseorang pindah agama di Jawa pun dihubungkan dengan berbagai aksi magis.

Sejak sebelum menyebarnya senjata menggunakan bubuk mesiu, jimat-jimat untuk kekebalan dipandang sebagai persiapan paling penting untuk peperangan. Namun, jimat tidak terbatas pada masa-masa perang; pada abad ke-19 penguasa Muslim di seluruh Nusantara menggunakan stempel jimat perlindungan saat berkorespondensi dan membuat pengumuman, mencerminkan kebiasaan umumnya kaum Muslim di wilayah-wilayah lain. Banyak pelaku magi adalah Muslim taat, dan penerapannya dibuat dengan elemen-elemen Islam, seperti ayat-ayat al-Quran dan doa-doa.

Baca Juga  Aksi Bela Islam yang Diteladankan Nabi Saw

Selama era kolonial Belanda, banyak laporan mengenai munculnya magi Islami sebagai bagian dari pemberontakan antikolonial, sering dengan karakter yang sudah berusia ribuat tahun. Maka, kita melihat jimat dan mantra kekebalan dalam Perang Jawa, Pemberontakan 1888 di Banten, pemberontakan anti pajak di Sumatera Barat, Perang Aceh dan lainnya.

Dalam banyak kasus, magi kekebalan (entah disalurkan melalui jimat atau tidak) ditarik dari teks Islam. Pada abad ke-19 banyak naskah-naskah Islam berfokus pada seni magi. Sebuah kidung yang berjudul “Kidung Nabi” yang mana isinya penuh dengan mantra-mantra untuk menangkal penyakit, ilmu hitam, kebakaran, pencurian, racun, hama tanaman, dan bahaya-bahaya serta kejahatan-kejahatan bahkan sampai ada mantra untuk mendapatkan cinta orang lain.

Ilmu kekebalan dengan penggunaan jimat menjadi salah satu cara bagi kelompok lokal kala itu dalam mempertahankan tanah air ini. Tidak terbatas masa perang, bahkan di masa damai, kiai lokal sering menyediakan ajian khusus bagi santrinya.

***

Meski demikian, revolusi Indonesia adalah masa ketika banyak Muslim berpaling ke jimat dan mantra kekebalan sebagai pelindung terbesar mereka. Penggunaan jimat sendiri pun beragam, kadang ada yang digunakan agar tidak kelihatan oleh musuh ketia berperang.

Dalam kasus lain, jimat digunakan untuk memperkuat senjata atau bahkan senjata juga dipandang jimat. Kaum Muslim Jawa memiliki keyakinan yang sudah lama dipegang tentang kekuatan spiritual seperti, keris.

Memang, senjata-senjata tradisional ini akan dibawa atau dikeluarkan pada saat perang untuk memberi kekuatan pada pasukan yang berjuang demi kemerdekaan, tapi tidak setiap pejuang mempunyai akses pada keris yang langka dan digdaya.

Mantra-mantra Islam bisa sama diterapkan untuk senjata revolusi istimewa: bambu runcing. Dalam kasus bambu runcing misalnya, dibuat dengan cara diruwat dan ditahbiskan, terkadang diberi panji kecil dari kain putih dengan tulisan ayat-ayat Al-Quran yang diikatkan diujungnya. Ketika senjata tersebut digabung dengan ritual yang tepat, dipercaya dapat mengakibatkan kerusakan lebih besar pada pihak lawan.

Makna Historis-Filosofis

Memaknai Islam dan Indonesia memang secara istilah memiliki arti dan makna yang berbeda. Namun, keduanya seperti tidak bisa dipisahkan dalam membangun bangsa-negara ini.

Keyakinan yang sudah melekat sebagai bangsa yang memiliki keragaman dan dibangun dalam wajah ideologi masa wali songo dan ulama moderat lainnya bahwa Indonesia ialah tanah perjuangan, bukan tanah hijrah semata. Maka, Islam dan Indonesia wajar saja selalu beriringan dalam pembangunan bangsa ini.

Akan tetapi bangsa ini tidak mengabaikan perjuangan dari agama lain yang turut serta mempertahankan kemerdekaan baik secara fisik maupun diplomasi. Maka, hal yang tepat, sejarah besar bangsa ini yang dibangun dan ditulis ialah Sejarah Indonesia, bukan sejarah agama. Karena dengan penggunaan Indonesia dan kebangsaan ialah modal dalam membangun keselarasan pemikiran hari ini dan kedepan dalam membangun bangsa Indonesia.

***

Seluruh umat meyakini bahwa di dalam sejarah Indonesia ialah terdapat pula sejarah agama-agama, dalam hal ini ialah perjuangan umat agama di lokal yang juga turut serta dalam memperjuangan kemerdekaan serta mempertahankan kemerdekaan.

Berdirinya bangsa ini juga tidak menggunakan sistem agama atau sistem sekular, karena Indonesia bukan negara yang memiliki satu agama, dan Indonesia juga bukan negara yang tidak mengakui ketuhanan. Maka, Indonesia memaknai konsep historis secara filosofis lokal-internasional religion.

Oleh sebab itu, menafsir kebangsaan Indonesia, ialah mempertegas perjuangan agama sekaligus perjuangan bangsa Indonesia. Keselarasan itu wajib dihargai sebagai bagian dari ikatan dalam membangun keharmonisan seluruh umat bangsa di Indonesia.  

Daftar Buku

Judul          : Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia

Penulis       : Kevin W. Fogg

Penerbit     : Noura Books, Jakarta

Tahun         : 2020

Editor: Soleh

Ahmad Zainuri
24 posts

About author
Ahmad Zainuri, lahir di Jember, 19 Desember 1997. Suka nulis, sejak SMA dan hingga kuliah. Hobi, sepak bola, menulis, makan. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *