Israel dan Musa
Pada sekitar Abad ke-12 SM, Nabi Musa berhasil menyelamatkan kaumnya (bangsa Yahudi/Bani Israel) terkepung oleh pasukan Fir’aun. Nabi Musa membawa kaumnya keluar dari Mesir (exodus) untuk menghindari kejaran pasukan Fir’aun.
Kisah Nabi Musa
Kisah Nabi Musa bermula ketika dia berkelahi dengan orang Mesir karena membela seorang Yahudi. Rasa kebangsaannya membuat Musa membela kaumnya sendiri. Setelah terjadi perkelahian sengit, Musa berhasil membunuh orang Mesir tersebut. Konon, Musa langsung menyesali perbuatannya. Dalam keyakinannya, membunuh manusia merupakan dosa besar. Ia lantas memohon ampun kepada Tuhannya atas dosa yang telah dilakukannya (Qs. Al-Qashash [28]: 14-16).
Musa memiliki keyakinan yang berbeda dengan bangsa Mesir pada umumnya. Berdasarkan sumber-sumber literatur Islam, keyakinan Musa merupakan mata rantai kenabian samawi yang menganut monoteisme absolut. Sementara menurut sumber-sumber biblikal, keyakinan Musa merupakan pengaruh dari sistem kepercayaan yang hampir punah di Mesir. Pharaoh Amenhotep IV salah seorang penguasa di Mesir yang menggagas monoteisme pertama. Amenhotep IV mengubah namanya menjadi “Akhnaton” yang berarti “Kemegahan Ruh Aton.” Nama ini secara khusus didedikasikan oleh Amenhotep IV kepada wujud “Tuhan Yang Maha Esa” (Rodney Stark, 2003: 45).
Menurut sejarawan EH. Weach, ketuhanan Akhnaton yang berbasis monoteisme menjadi inspirasi Nabi Musa untuk mengenalkan kepercayaan monoteisme samawi yang otentik. Sebagaimana keyakinan Ibrahim yang monoteis, Nabi Musa memperkenalkannya dengan konsep yang lebih jelas dengan mengambil inspirasi kepercayaan Akhnaton (Ahmad Syalabi, 2006: 149-150).
Pasca tragedi pembunuhan tersebut, Musa merasa kesulitan untuk tetap tinggal di Mesir. Apalagi sekelompok pejabat Mesir telah merencanakan pembalasan atas tragedi pembunuhan yang dilakukan oleh Musa. Untuk menghindari bahaya yang tengah mengancam, Musa melarikan diri melewati negeri Madyan.
Kota Madyan ialah sebuah kota di tepi pantai Teluk Aqabah, Arabia Barat Laut. Penduduk Madyan merupakan keturunan Midian, salah seorang putra Nabi Ibrahim dari istrinya yang bernama Qaturah binti Yaqtan. Dari Qaturah binti Yaqtan, Nabi Ibrahim memiliki anak: Zimran, Yoksan, Medan, Midian, Ishbak, Shu’ah, dan Basar. Dengan demikian, kaum Madyan merupakan bagian dari keturunan bangsa Semitik (Jerald F. Dirk, 2006: 296).
Di Madyan, Musa bertemu dengan seorang bijak bernama Syu’aib. Selama tinggal dengan Syu’aib, Musa menceritakan permasalahnya sewaktu menetap di Mesir. Mendengar cerita kehidupan Musa, Syu’aib meyakini bahwa pemuda yang telah menolong kedua anaknya merupakan calon utusan tuhan (Nurcholish Madjid, 2000: 49-50).
Musa dikawinkan dengan sepasang kakak-beradik puteri-puteri Syu’aib setelah membayar mas kawin dalam bentuk kontrak kerja menggembalakan kambing. Mas kawin masing-masing putrid Syu’aib dihitung delapan tahun. Dengan demikian, Musa harus melunasi mas kawin atau memenuhi kontrak kerja dengan Syu’aib selama 16 tahun (Qs. Al-Qashash [28]: 27).
Setelah menyelesaikan kontrak kerja atau melunasi mas kawinnya, Musa mengajak kedua istrinya kembali ke Mesir. Di tengah perjalanan, sewaktu malam yang dingin, tanpa disengaja Musa melihat cahaya yang datang dari kobaran api. Musa bermaksud mendatangi cahaya tersebut, dengan harapan bisa bertanya kepada orang pembawa obor api mengenai rute jalan ke Mesir. Tetapi setelah mendekati sebuah lembah bukit Sinai, terdengar suara menyerunya.
Mendengar suara tanpa wujud menyerunya, Musa langsung kaget dan merasa takut. Pada saat itulah, Tuhan menyeru Musa dan menjadikannya sebagai seorang utusan (rasul). Tetapi, Musa menyadari bahwa lidahnya tidak terlalu fasih, maka dia memohon kepada Tuhanya supaya menjadikan Harun, saudaranya, sebagai pembantu yang akan menjalankan misi kenabiannya. Tuhan mengabulkan permohonan tersebut dan menjadikan Musa dan Harun sebagai utusan untuk mengingatkan Ramses II yang telah bertindak tiranik (Qs. al-Qashash [28]: 28-35).
Di Mesir, raja Ramses II (Fir’aun) semakin bertindak sewenang-wenang. Kekuasaannya makin tiranik. Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa rezim Ramses II (Fir’aun) telah banyak menyiksa Bani Israel. Anak-anak keturunan Nabi Ya’qub (Bani Israel) dibunuh dengan cara disembelih. Sementara istri-istri mereka dipermalukan lewat perbuatan yang tidak senonoh. Raja Ramses II sudah bertindak di luar batas kemanusiaan. Dengan kekuasaannya, dia menindas bangsa Yahudi. Dalam pengakuannya, Ramses II secara terang-terangan telah mengklaim dirinya sebagai “tuhan” (Qs. Al-Qashash [28]: 38).
Tuhan memberikan amanat kepada Nabi Musa untuk menyadarkan Ramses II. Tetapi, Nabi Musa gagal menyadarkan keangkuhan Fir’aun, meskipun dia telah melakukan diplomasi yang sangat persuasif. Bahkan, dia telah memperlihatkan mukjizat besar di depan matanya. Sejarah telah mencatat bahwa mukjizat tersebut berupa tongkat Nabi Musa yang seketika berubah menjadi “ular besar” dan tangannya bercahaya terang untuk mengalahkan sihir para kaki-tangan Ramses II.
Dalam kisah ini, para penyihir kaki-tangan Raja Fir’aun mengakui bahwa mukjizat Nabi Musa merupakan kebenaran. Bukan sihir juga bukan sulap. Sebab, mereka para tukang sihir kaki-tangan Raja Fir’aun jelas telah mengetahui hakekat ilmu sihir. Sementara mukjizat yang dibawa oleh Nabi Musa tidaklah sama dengan ilmu sihir yang mereka pelajari.
Eksodus (Hijrah)
Kegagalan misi diplomatik Nabi Musa dan Harun menyebabkan nasib kaumnya makin tidak jelas. Pada saat itulah, Fir’aun memberikan ultimatum kepada Nabi Musa supaya keluar dari Mesir. Pada saat itulah Nabi Musa memerintahkan kaumnya untuk pindah ke Kanaan (Qs. Al-Maidah [5]: 21).
Sesungguhnya, Fir’aun sudah memberi izin kepada Bani Israel supaya meninggalkan Mesir. Akan tetapi, watak buruk Bani Israel, terutama dari kalangan wanitanya, menyebabkan mereka menghadapi kesulitan. Sebelum keluar dari tanah Mesir, para wanita Israel mencuri perhiasan dan barang-barang berharga milik para wanita Mesir, sehingga kejadian ini mengundang kemarahan Fir’aun. Sewaktu Bani Israel melakukan hijrah (eksodus) dari Mesir ke tanah Palestina, Fir’aun dan pasukannya melakukan pengejaran sampai tepi Laut Merah.
Dalam perjalanan keluar dari Mesir, mereka terhalang oleh hamparan lautan. Laut Merah menghadang di depan mata mereka. Pada saat genting itulah, Nabi Musa mendapat perintah dari Tuhan supaya memukulkan tongkatnya ke laut. Tiba-tiba lautan di depan mereka terbelah sehingga Bani Israel dapat melewatinya untuk menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Mesir.
Ketika Fir’aun terus mengejar menelusuri lautan yang telah terbelah, Tuhan menutup kembali lautan itu. Fir’aun tenggelam bersama pasukannya (Qs. Asy-Syu’ara [26]: 61-66). Sekalipun kemudian Fir’aun mengakui kebenaran yang dibawa oleh Musa, tetapi tobat di saat maut menjemput sudah tidak berguna lagi. Dalam peristiwa mukjizat ini, orang-orang Yahudi telah diselamatkan sementara penguasa Mesir tersebut dibinasakan.
Sumber-sumber biblikal menyebutkan bahwa Fir’aun yang menghadapi mukjizat Nabi Musa berbeda dengan Fir’aun pada masa eksodus. Informasi berdasarkan sumber-sumber biblikal ini terbukti keliru karena beberapa penelitian arkeologis telah membantahnya.
Fir’aun yang dilukiskan bertindak tiranik adalah Ramses II (1279-1212 SM), sementara penggantinya adalah Merneptah (1212-1202 SM). Padahal, al-Qur’an sama sekali tidak mengisahkan karakteristik yang berbeda antara Fir’aun yang menghadapi mukjizat Nabi Musa dengan Fir’aun pada masa eksodus. Abdul Wahhab an-Najjar dan Maurice Bucaille termasuk di antara dua sejarawan muslim yang menggunakan sumber-sumber biblikl dalam memahami sejarah Fir’aun ini. Akan tetapi, beberapa penelitian arkeologis berhasil membantah pandangan ini. Berdasarkan hasil penelitian para arkeolog, justru Fir’aun yang menghadapi mukjizat Nabi Musa dan Fir’aun pada masa eksodus merupakan sosok yang tunggal. Artinya, Ramses II merupakan raja Mesir yang berkuasa cukup lama (Louay Fathoohi, Shetha al-Dargazelli, 2007: 167-171).
Bukti-bukti yang menjelaskan sosok Ramses II berdasarkan informasi al-Qur’an cukup logis. Jika memang Ramses II yang berbuat keburukan, seandainya mengikuti informasi berdasarkan sumber-sumber biblikal, mengapa yang harus menanggung perbuatan tersebut justru anaknya? Ramses II yang berbuat, mengapa hukuman justru harus ditanggung oleh Merneptah? Al-Qur’an sama sekali tidak memuat aturan logika semacam ini.
Pasca mukjizat terbelahnya Laut Merah, Nabi Musa bersama kaumnya bergerak menuju ke Palestina sebagai tanah yang telah dijanjikan kepada mereka (Qs. Al-Maidah [5]: 21). Akan tetapi, pada waktu itu, Palestina dikuasai orang-orang kuat (bangsa Fenisia). Sementara kita tahu, Bani Israel adalah bangsa nomaden. Mereka tidak memiliki peradaban yang tangguh. Ketika bertemu dengan bangsa Palestina yang memiliki peradaban maju, mereka justru diliputi perasaan inferior. Ketakutan dan rendah diri menyelimuti hati mereka.
Nabi Musa terus menyemangati kaumnya agar berani menyeberangi Sungai Jordan untuk melawan pasukan Palestina. Tetapi, Bani Israel adalah orang-orang yang selalu diselimuti rasa hina dan berjiwa kerdil. Mereka tetap saja tidak bernyali menghadapi pasukan Palestina. Mereka memilih untuk berdiam diri. Malah, Bani Israel menyuruh Nabi Musa supaya memerangi pasukan Palestina bersama Tuhannya (Qs. Al-Maidah [5]: 22-24).
Nabi Musa sendiri tidak mampu mempengaruhi kaumnya untuk memasuki tanah Palestina. Dia mengadu kepada tuhannya supaya memisahkan antara dirinya dengan orang-orang yang fasik (Qs. Al-Maidah [5]: 25). Ketika itulah, tuhan memutuskan untuk membatalkan perjanjian-Nya dengan Bani Israel disebabkan karena sikap mereka yang fasik. Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu”(Qs. Al-Maidah [5]: 26).
Pada akhirnya, Bani Israel hanya berhenti di kawasan Tih selama 40 tahun. Situasi yang demikian terus berlanjut sampai Nabi Musa meninggal dunia. Mereka tetap tidak memiliki nyali sedikitpun untuk menyeberangi Sungai Jordan. Nabi Musa meninggal dan dimakamkan di Katsib Ahmar. Sedang Harun, saudaranya, meninggal dunia dan dimakamkan di gunung Hur. Dalam perspektif sosio-kultural, setelah membaca sejarah perjalanan Nabi Musa, kita dapat menilai bahwa hijrah yang dilakukan oleh ini telah gagal. Ini disebabkan karena faktor mentalitas manusia pelaku hijrah tersebut yang tidak mendukung. Bani Israel mengidap mental inferior menghadapi bangsa lain yang lebih maju peradabannya. Faktor inilah yang kemudian menyebabkan kegagalan hijrah Bani Israel ke Palestina. ”Tanah yang dijanjikan” oleh Tuhan tidak pernah bisa diraih oleh Bani Israel.