Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, bibit-bibit perpecahan mulai nampak. Saling berebut kursi kekhalifahan pun terjadi diantara golongan muhajirin dan ansar. Selepas diangkatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq, konflik-konflik tersebut mulai mereda. Namun, seiring berjalannya pemerintahan yang dipimpin oleh Abu Bakar, banyak pertentangan dari sekelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah.
Mereka enggan membayar zakat, dan lain sebagainya. Konflik-konflik itu pun terus terjadi. Terlebih lagi ketika masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk meredam konflik politik menjadikan kebijakan tersebut dinilai sebagai bentuk tindakan yang berbau kolusi dan nepotisme.
Begitu juga dengan masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan pun terjadi di mana-mana, terutama dari kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan, yang mencapai puncak pemberontakannya ketika Perang Shiffin. Perang inilah yang menjadi awal dari lahirnya berbagai aliran-aliran dalam Islam. Aliran yang muncul pertama kali adalah aliran Khawarij, lahir sebagai kelompok yang menolak terhadap para pendukung Ali.
Pada masa itu, keadaan umat Islam sangat kacau. Banyak aliran yang tidak menunjukan diri sebagai sebuah perkumpulan atau wadah untuk mengembangkan Islam sacara wajar. Antaraliran saling menjustifikasi satu sama lain.
Masing-masing golongan mengklaim sebagai golongan yang paling benar dan mengalahkan golongan-golongan lain. Disamping terjadinya pertentangan antargolongan, banyak pula pertentangan antardisiplin ilmu, seperti ilmu fikih, yang menampakkan pertentangannya dengan ilmu kalam dan filsafat.
Kondisi ini terjadi bertahun-tahun, sehingga pada suatu saat muncullah seseorang. Dengan kecerdasan intelektual dan kemurnian rohaninya, ia mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan tersebut. Seseorang itu yakni Imam al-Ghazali.
Perjalanan Imam al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Ia dilahirkan di wilayah Khurasan, Persia. Sejak kecil, ia dikenal dengan kepribadian yang suka mencari kebenaran, dan memiliki bakat sebagai seorang pemikir.
Dalam menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, al-Ghazali tidak kenal lelah dalam belajar dan sangat serius dalam memperdalam ilmu. Setelah gurunya wafat, al-Ghazali langsung meninggalkan tempat ia belajar. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan intelektualnya ke daerah kekuasaan Nidzam al-Mulk, yang menjabat sebagai menteri pada Kerajaan Saljuk. Di tempat inilah, al-Ghazali mencapai kesuksesan besar.
Pertama kali ia menginjakkan kakinya di tempat tersebut, ia langsung mencoba untuk mengikuti perdebatan dengan sekumpulan ulama. Dengan kecerdasan yang dimiliki, akhirnya ia pun memenangkan perdebatan tersebut. Sejak itu, nama al-Ghazali menjadi sorotan masyarakat. Sebagai orang baru, ia pun sangat dikagumi banyak orang.
Karena kejadian itu, Menteri Nidzam al-Mulk mengakui kecerdasan yang dimiliki al-Ghazali. Bahkan, ia juga memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjadi pengajar di perguruan tinggi bergengsi di kota Baghdad.
Pada saat menjadi guru besar, ia pun meluangkan waktunya untuk menulis beberapa karya besarnya, seperti al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz, dll. Hari demi hari, kesuksesan-kesuksesan besar telah ia genggam. Reputasinya harum di kalangan masyarakat.
Benarah Kesuksesan Menyebabkannya Bingung dan Terserang Penyakit?
Di mata orang lain, kesuksesan besar yang telah dicapai oleh Imam al-Ghazali adalah tahap terakhir dalam perjalanannya menuntut ilmu. Dalam segi materi pun, ia selalu berada dalam kecukupan.
Namun, tidak dengan Imam al-Ghazali. Ia merasa bahwa kesuksesan dan kehormatan yang telah dicapai justru menjadikannya semakin terjerumus ke dalam kebingungan yang ada di pikirannya. Karena hal inilah, ia merasa kehidupannya menjadi terkurung dan tersiksa dalam lingkaran kebingungan.
Saat itu, al-Ghazali mendadak terserang penyakit aneh. Dokter di berbagai wilayah sudah angkat tangan karena tidak dapat mengobatinya. Al-Ghazali pun mengakui bahwa penyakitnya tersebut tidak bisa disembuhkan dengan berbagai jenis obat-obatan. Hanya dirinya sendirilah yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut.
Mengasingkan Diri dan Mempelajari Banyak Ilmu
Singkat cerita, akhirnya al-Ghazali meninggalkan seluruh kemegahan hidup dan kesuksesan besar yang telah diperolehnya di Baghdad. Ia mengasingkan diri untuk menemukan jawaban-jawaban dari pikiran yang selalu merisaukannya. Ia selalu bertanya, cara apa yang bisa ditempuh untuk mencapai pengetahuan sejati?
Ia menjadi lebih tekun lagi mempelajari ilmu-ilmu yang lain demi mendapatkan kebenaran-kebenaran yang sejati. Beralihlah al-Ghazali, dari ketekunan awalnya, yaitu ilmu kalam (teologi) menjadi ilmu filsafat. Dengan menonjolnya aspek rasional dalam ilmu filsafat, ia mendapatkan sedikit titik pencerahan dari pertanyaan yang selama ini mengacaukannya.
Al-Ghazali mengakui bahwa berbagai ilmu yang telah dipelajari selama ini belumlah menjadi obat dari penyakitnya. Pada akhirnya, ia memilih jalan untuk menekuni ilmu tasawuf. Ia melihat bahwa ilmu tasawuf terdiri dari unsur perasaan yang lebih banyak daripada unsur pengetahuan.
Di sinilah ia mendapatkan suatu kepercayaan bahwa dengan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi yang selama ini ia jalani, dan lari menuju jalan Allah saja, itulah yang bisa mengobati kerisauannya.
Al-Ghazali menyimpulkan bahwa tasawuf adalah jalan para sufi untuk menempuh jalan kepada Allah SWT, dan perjalanan hidup merekalah yang paling baik. Jalan merekalah yang paling benar, dan moral merekalah yang paling bersih. Hal ini disebabkan ajaran-ajaran pada tasawuf bukan hanya sekadar teori dan rumus-rumus, melainkan praktik dan pengamalannya.
Menurut al-Ghazali, langkah utama untuk menyelami ajaran tasawuf adalah dengan cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, seperti kesombongan, keterikatan pada masalah dunia, dan sekumpulan kebiasaan tercela, serta senantiasa mengingat Tuhan secara terus-menerus. Dengan inilah, kebenaran hakiki akan tersingkap dengan sebenarnya.
Editor: Lely N