Bunyi alarm azan berbunyi dari saku bapak. Kami tengah berada di ruang tunggu Rumah Sakit Siloam. Seminggu yang lalu, Ibu saya menjalani operasi di rumah sakit ini. Bapak saya pensiunan Kepala SMP Muhammadiyah 1 Manado. Ibu, sebentar lagi pensiun sebagai Kepala SMA Muhammadiyah Manado.
Kami adalah keluarga Muhammadiyah. Semua anak-anak dibesarkan dalam “tuntunan Muhammadiyah” lengkap dengan pustaka ala Muhammadiyah, Kitab Himpunan Putusan Tarjih (HPT), langganan rutin majalah Suara Muhammadiyah, Suara Aisyiyah, Kitab Tafsir Al-Azhar, kitab referensi keagamaan yang ditulis ulama tarjih Muhammadiyah, dan banyak lagi. Saya yakin, kekayaan pustaka ini belum ada bandingannya di Manado.
Bapak memang terkenal “boros” dalam urusan belanja buku. Apalagi, terbitan penerbit SM (Suara Muhammadiyah) sudah pasti dibeli. Ia pelanggan setia seorang agen majalah SM, dan belakangan mulai berlangganan secara langsung karena sang agen tidak melanjutkan usahanya.
Saya duduk di samping bapak yang sedang mengipasi Ibu. Saya bilang, “Pak, alarm azannya dimatikan saja”. Jujur saja, itu respon refleks. Bapak melihat saya dan ketawa. “Ini kan toleransi” katanya. Saya tidak mendebat. Saya diam saja. Toh, ini pada awalnya perkara biasa.
***
Kota Manado yang saya alami adalah kota yang sangat luwes dan legowo. Kota ini sangat lunak dan lembut dengan perbedaan kultur. Kota ini juga terkenal mudah diredam andai ada konflik skala kota. Perkelahian antar kampung atau persinggungan etnis dan agama jarang membesar. Semuanya mampu adem berkat sikap menerima dan berorientasi pada pemecahan masalah. Kendati kota ini makin rapuh, Manado tetaplah kenangan toleransi yang paling menawan.
Bapak saya bilang, kawan-kawan pastornya di FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) selalu menanggapi alarm azan itu dengan berkata, “Pak Anwar, sudah waktu salat ya, silakan-silakan pak”. Kenyataannya memang begitu. Ketika lebaran, para pastor biasa mengunjungi rumah sekadar mengucapkan selamat idul fitri.
Tapi bapak tak bisa melakukan hal sebaliknya, dan para koleganya menganggap itu sebagai batas agama yang khas. Hubungan mereka tetap baik-baik saja. Bapak tetap jadi rekan paling solid bersama anggota lainnya di FKUB yang Katholik atau Protestan. Mereka jugalah yang menjadi mitra penting pemerintah lokal untuk memahami aspirasi kelompok beragama di Manado.
Saya yang sudah sepuluh tahun tinggal di Yogyakarta merasakan betul perbedaan kultur ini. Saya jadi sensitif dengan masalah agama karena saya menganggap agama menjadi sangat politis. Tapi itu beda yang terasa di Manado. Agama adalah jembatan bagi pemeluknya. Mereka yakin agama bukan sumber kekerasan. Agama adalah suluh yang sangat personal, menerangi sanubari mereka sebagai manusia, sebagai hamba. Agama justru menjelaskan dan mengomunikasikan perbedaan secara lebih efektif.
Belajar dari relasi bapak dan kawan-kawannya di FKUB, saya sadar bahwa sejauh tidak diubah menjadi senjata mobilisasi massa, agama merupakan jalan tengah ideologi sosial. Agama mengajarkan setiap pemeluknya menghayati dunia dan seisinya sebagai anugerah dan keniscayaan.
Saya tidak tahan untuk berkesimpulan bahwa agama yang berubah destruktif merupakan gejala ekonomi dan politik yang pongah dan egois dalam masyarakat kita. Pembelahan ekonomi dan politik akan membelah apa saja yang dimiliki manusia; inspirasi, simpati, kasih-sayang, apresiasi, dan kemanusiaan.
***
Ketika merenungkan ini, saya ingat guru Kimia saya di SMA Muhammadiyah Manado. Ia seorang Kristen yang taat, dan sudah mengabdi di sekolah kami puluhan tahun. Saat kecil, ketika mampir ke SMA bersama Ibu, ia sering memberi saya vitamin A. Katanya, vitamin itu baik buat anak-anak. Saya suka hadiah itu. Belakangan ketika usia SD sudah hampir kelar, saya tahu ia seorang Kristen. Tak ada dalam benak saya bahwa kami berbeda. Saya mengingat ia sebagai guru Muhammadiyah, bukan seseorang yang beragama Kristen.
Saya sekolah di tengah keragaman keseharian yang praktis. Relasi agama adalah relasi ideologi antar manusia. Begitulah kota ini bagi saya. Kita memang harus mendefinisikan hubungan kita dengan orang lain senyata-nyatanya.