Perspektif

Kenapa Puasa Tak Sebatas Ibadah Ritual Individual?

4 Mins read

Bulan Ramadan adalah momen sakral bagi umat Muslim di seluruh dunia. Setiap individu Muslim yang telah memenuhi syarat keagamaan (mukallaf) diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa (farḍ ‘ain). Puasa di bulan ini tidak hanya menuntut penahanan diri dari aktivitas biologis seperti makan, minum, dan hubungan seksual sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, tetapi juga menuntut pengendalian diri dari perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan sosial.

Puasa: Lebih dari Sekadar Menahan Lapar dan Dahaga

Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga serta ibadah, puasa bertujuan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap keadaan sekitar dan perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Tariq Ramadan, puasa mengajarkan umat Muslim untuk memahami hubungan mereka dengan kekayaan, konsumsi, serta pertumbuhan kemanusiaan, baik secara individual maupun komunal. Dalam konteks Indonesia, Ramadan tahun ini dilalui dengan berbagai tantangan sosial dan ekonomi.

Ketimpangan yang semakin tajam, dipicu oleh kebijakan publik yang kurang berpihak pada keadilan, memperparah kondisi sebagian besar masyarakat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada September 2024 mencapai angka 8,57%. Walaupun angka ini menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, faktanya masih ada sekitar 24 juta penduduk yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Oleh karenanya, perlu ada sebuah revolusi melalui momentum puasa yang dapat menjadi madrasah ruhani dan tirakat sosial.

Keadaan ini semakin diperparah dengan berbagai fenomena sosial seperti penggusuran terhadap rakyat kecil, penebangan hutan yang merusak ekosistem, dan semakin maraknya praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme. Semua ini menjadi potret ketimpangan sosial yang nyata.

Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah puasa hanya sekadar ritual spiritual yang bersifat individual. Ataukah ia juga memiliki dimensi sosial yang mampu menumbuhkan kepekaan terhadap ketimpangan dan penderitaan sesama? Apakah puasa bisa menjadi jembatan untuk membangun solidaritas sosial dan empati terhadap mereka yang terpinggirkan oleh sistem sosial dan politik? Termasuk di dalamnya perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan dan ketimpangan.

Baca Juga  Pokoknya, Menolak Damai dengan Korona!

Tulisan ini bertujuan untuk memperluas pemaknaan terhadap ibadah puasa, dengan meninjau penghayatan para cendekiawan Muslim Indonesia. Pandangan-pandangan ini menjadi dasar argumen bahwa puasa tidak hanya bertujuan meningkatkan spiritualitas pribadi, tetapi juga menumbuhkan kepekaan sosial demi mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan beradab. Sehingga puasa mampu menjadi kesempatan untuk melawan segala ketidakadilan dan ketimpangan sosial.

Puasa Menghapus Ketimpangan

Menurut Quraish Shihab, kesempurnaan ibadah puasa tidak hanya terletak pada menahan lapar dan dahaga, tetapi juga pada usaha meneladani sifat-sifat Tuhan seperti al-Raḥmān (Maha Pengasih), al-Quddūs (Maha Suci), dan al-‘Adl (Maha Adil).

Ia mengatakan, puasa bukan hanya menuntut seseorang untuk menahan diri secara lahiriah, tetapi juga untuk membersihkan hati dan pikiran, menumbuhkan kasih sayang terhadap sesama, serta menegakkan keadilan dalam setiap aspek kehidupan. Kesempurnaan puasa tercermin dari sejauh mana seseorang mampu meneladani sifat-sifat Tuhan dalam tindakan dan perilakunya sehari-hari.

Mukti Ali menambahkan bahwa puasa merupakan proses internalisasi kehadiran Tuhan dalam keseharian manusia. Ia menilai bahwa puasa adalah ibadah yang paling efektif dalam menumbuhkan kesadaran spiritual, sebab di saat seseorang menahan diri dari hal-hal yang diperbolehkan pada hari-hari biasa. Ia belajar untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupannya. Puasa menuntut kedisiplinan, ketulusan, dan kejujuran, karena hanya Tuhan yang benar-benar mengetahui apakah seseorang benar-benar menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya.

Jalaluddin Rakhmat (2022) menegaskan pentingnya pendidikan spiritual dalam membentuk manusia seutuhnya. Ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari dimensi jasmani dan rohani, sehingga pendidikan yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan kedua dimensi tersebut. Dalam konteks ini, puasa menjadi “madrasah ruhani” yang mendidik manusia agar tidak hanya cerdas secara intelektual. Tetapi juga memiliki ketenteraman batin, keikhlasan, dan kesadaran spiritual yang tinggi, sehingga bisa menjadi perlawanan dan menghapus ketidakadilan dan ketimpangan.

Baca Juga  Tantangan Guru Madrasah, dari Dituduh Radikal hingga Tuntutan Skill yang Tinggi

Puasa dan Tirakat Sosial

Takwa merupakan tujuan utama puasa. Takwa bukan sekadar sikap takut kepada Tuhan, melainkan kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan manusia. Nurcholish Madjid menegaskan bahwa puasa mendidik seseorang untuk jujur terhadap diri sendiri dan Tuhan. Ia menekankan bahwa kejujuran yang tertanam melalui puasa bukan hanya bentuk pengabdian kepada Tuhan, tetapi juga menjadi landasan bagi pembentukan karakter dan moral yang luhur.

Dalam konteks pengendalian diri, Mukti Ali menyebutkan bahwa puasa adalah sarana yang sangat efektif untuk mengontrol dorongan-dorongan biologis dan amarah. Seseorang yang berpuasa dilatih untuk mengendalikan keinginannya dan menahan diri dari tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sejalan dengan itu, Quraish Shihab menegaskan bahwa inti dari puasa adalah pengendalian diri, baik dalam bentuk tindakan, ucapan, maupun pikiran.

Pesan moral dari ibadah puasa juga ditekankan oleh Nabi Muhammad. Beliau menegaskan bahwa puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menuntut pengendalian diri dari perbuatan tercela seperti berkata dusta, melakukan perbuatan keji, dan perbuatan amoral lainnya yang menyebabkan ketimpangan. Nabi juga mengingatkan bahwa orang yang berpuasa tetapi tidak mampu menahan diri dari perilaku buruk, sejatinya tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.

Puasa Membangun Solidaritas Sosial

Menurut Moeslim Abdurrahman, kelaparan merupakan ungkapan tragis dari kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa puasa seharusnya mendorong umat Muslim untuk lebih peduli terhadap penderitaan orang lain. Rasa lapar yang dirasakan saat berpuasa menjadi pengingat akan kondisi orang-orang yang setiap harinya bergulat dengan kelaparan dan kemiskinan. Oleh karena itu, puasa bukan hanya pengalaman spiritual, tetapi juga pengalaman sosial (tirakat sosial) yang menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap sesama.

Baca Juga  Pedagogi Generasi Z: Meretas Arus Dehumanisasi

Nabi Muhammad memberikan contoh melalui kedermawanannya yang meningkat selama bulan Ramadan. Beliau gemar bersedekah, membebaskan budak, dan membantu kaum fakir miskin. Ini menunjukkan bahwa puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menuntut sikap peduli dan tindakan nyata dalam membantu sesama. Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa puasa seharusnya melahirkan kebajikan sosial yang berujung pada terciptanya masyarakat yang lebih adil dan harmonis.

Dengan demikian, puasa bukan hanya ritual individual, tetapi juga jembatan untuk membangun kepekaan terhadap realitas sosial yang sarat ketimpangan. Puasa juga sebagai momentum perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan. Penghayatan yang mendalam terhadap ibadah puasa dapat menjadi instrumen transformasi sosial, yang mendorong terbentuknya masyarakat yang lebih manusiawi dan berkeadilan.

Editor: Assalimi

Fakhri Afif
1 posts

About author
Peneliti di Odyssey Centre for Philosophy, Minat Kajian: Tafsir, Hermeneutika, dan Etika
Articles
Related posts
Perspektif

Zoroaster: Agama Samawi dan Ahlul Kitab yang Terlupakan

5 Mins read
Zoroaster atau Zoroastrianisme adalah agama yang dipraktikan oleh bangsa Persia sebelum Islam masuk ke daerah tersebut. Zoroastrianisme dinamakan demikian karena pengikutnya menganggap…
Perspektif

Baitul Al-Maqdisi: Tanah yang Dijaga Allah

2 Mins read
Beberapa waktu yang lalu, saya diminta oleh salah satu senior saya di Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Tarjih), Gus…
Perspektif

Kartini Bukan Tentang Kebaya, Tapi Tentang Cara Kita Berpikir

2 Mins read
Di tengah riuh peringatan Hari Kartini setiap tahunnya, kita seringkali terjebak dalam perayaan yang bersifat seremonial. Kebaya, lomba fashion show, dan pidato-pidato…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *