Inspiring

Mahmud Yunus: Tokoh Muhammadiyah Muassis Sistem Pondok Pesantren Berkemajuan

6 Mins read

Siapakah Mahmud Yunus? Setelah perpulangan seluruh santri dari tempat saya belajar sepekan lalu, karena liburan yang dimajukan dari jadwal normal, kesepian aktivitas benar-benar terasa. Di tengah wabah Covid-19, liburan sekolah ini, memaksa saya tidak boleh kemana-mana. Stay at home.

Saya menulis artikel ini di tengah kondisi di atas. Sebagiannya didorong oleh komitmen dan janji saya kepada ayah dan bunda untuk lebih tekun membaca, menulis dan menambah hafalan serta muraja’ah. Awalnya diniatkan untuk tidak dipublikasikan ke media manapun. Karena—meski sebagai Sekretaris Bidang Pers dan Jurnalistik di Pondok tempatku belajar, dan telah menulis beberapa artikel untuk konsumsi internal (Jurnal Al-Ishlah)—saya belum yakin tulisanku memenuhi syarat published.

Tetapi, ayahku meyakinkan bahwa kalaupun ditolak tidak bisa tayang tidak masalah. “Niatkan saja sebagai belajar dan terus belajar”, demikian ayahku berujar.

Menaati nasehat ayahku, saya mulai berpikir, kira-kira menulis tentang apa di pekan awal liburan dan masa stay at home ini. Setelah seharian berpikir, ingatanku tertuju ke Kamus Bahasa Arab-Indonesia yang biasa dipergunakan di Pondok, juga kitab Mushthalah Hadits yang menjadi buku pegangan di Pondok, juga tentang Pondok.

Inilah ide di pekan awal liburan ini, yaitu tentang Tokoh Muhammadiyah bernama Mahmud Yunus dan kaitannya dengan pembaharuan sistem pendidikan pondok pesantren.

Mahmud Yunus

Saya kira siapapun yang pernah mondok dan mengaji kitab kuning (turats), pasti berhutang budi dengan Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Salah seorang ustadz sharaf di pondok pernah menyampaikan, “Bila kamu tidak tahu makna sebuah kata di dalam kitab klasik, carilah maknanya dari Kamus Bahasa Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus”. Mahmud Yunus diinformasikan memang berniat menyusun kamus tersebut untuk membantu santri-santri pondok agar mengetahui makna kata-kata dalam kitab klasik. Khidmahnya memang untuk memajukan sistem pendidikan di pesantren.

Pada awal berdirinya, pesantren menurut istilah orang Jawa, surau dalam istilah penduduk Sumatera, dan rangkang atau meunasa dalam istilah orang Aceh, menerapkan sistem pengajaran bercorak individual dengan menggunakan metode sorogan atau wetonan. Dalam metode sorogan ini biasanya murid satu-persatu mendatangi guru dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kiai atau guru membacakan kitab yang berbahasa Arab, kata demi kata, dilanjutnya dengan menerjemahkan dan menerangkan maksudnya.

Selanjutnya murid menyimak dan mengulangi bacaan serta makna yang terkandung di dalamnya untuk membuktikan apakah bacaannya itu sudah benar atau belum. Dalam metode sorogan ini belum dikenal adanya sistem kelas. Perubahan terhadap sistem pendidikan dan metode yang diterapkan dalam pesantren ini tentunya tak lepas dari pemikiran Mahmud Yunus.

Pemikiran guru KH. Imam Zarkasyi—salah satu trimurti pertama Pondok Gontor—dalam memajukan pesantren dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: Pertama, memadukan sistem tradisional sorogan/wetonan dengan sistem kelas yang lebih modern. Kedua, pemahaman lebih utama dibandingkan sekedar hafalan. Ketiga, sistem belajar-mengajar secara langsung, atau biasa dikenal dengan al-thariqah al-mubasyirah.

Baca Juga  Abu Hasan Al-Asy'ari, Penganut Mu'tazilah sebelum Mendirikan Asy’ariyah

Dalam kaitan pembaharuan sistem pendidikan, terutama di pondok pesantren ini, gerakan Mahmud Yunus sejalan dengan pembaharuan Islam yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan yang telah terlebih dahulu dimulai . Diinformasikan bahwa Mahmud Yunus termasuk anggota dan tokoh Muhammadiyah di Sumatera Barat, sama dengan Hamka. Oleh karena itu, misalnya, dalam kaitan dengan KH. Imam Zarkasyi muda, setamat dari Normal Islam, Mahmud Yunus menugasinya ke Padang Sidempuan untuk menjadi Direktur Kweekschool Muhammadiyah.

Untuk menjalankan visi-misi sistem pondok pesantren berkemajuan itu, beliau melakukan dua hal, yaitu: Pertama, menyusun beberapa kitab rujukan untuk santri seperti kitab Tafsir al-Qur’an, Mushthalah Hadits (dalam bahasa Arab), Durus al-Lughah al-‘Arabiyah dan kitab-kitab rujukan lainnya. Kedua, mendirikan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI).

Mengenal Lebih Dekat

Mahmud Yunus, lahir di Sungayang Batusangkar, 10 Februari 1899. Ayahnya, Yunus bin Incek, petani biasa sederhana, taat beragama, dan merupakan bekas pelajar surau dengan ilmu agama yang cukup memadai sehingga ia diangkat menjadi Imam Nagari.

Sementara ibunya, Hafsah binti Imam Sami’un adalah seorang buta huruf, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan—padam waktu itu belum ada sekolah desa. Tetapi ia besar di lingkungan keluarga yang islami. Kakek Hafsah merupakan seorang ulama’ yang masyhur dengan nama Tuan Kolok. Nama aslinya Syekh Muhammad Ali.

Berada di lingkungan ibu rupanya menguntungkan masa depan pendidikannya karena keluarga besar ibunya berasal dari kalangan pemuka agama bukan dari kalangan sekuler. Saudara ibunya, Ibrahim, yang membiayai pendidikan Mahmud Yunus sejak kecil hingga besar. Pamannya ini sangat memperhatikan bakat dan kecerdasan yang dimiliki oleh keponakannya.

Sang paman melihat bahwa Mahmud Yunus memiliki kecenderungan di bidang agama. Oleh karena itu, pamannya mendukung serta membiayai pendidikannya sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan, Ibrahim yang telah mendorong Mahmud Yunus untuk menuntut ilmu ke luar negeri.

Setelah mengenyam pendidikan di Madras School, Mahmud Yunus termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke Mesir. Karena tidak mendapatkan visa dari konsul Inggris, niatnya kemudian gagal. Tak disangka, pada tahun 1924 ia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Mesir, kemudian melanjutkan ke Dar al-’Ulum di Kairo dan tercatat sebagai mahasiswa pertama dari Indonesia yang menuntut ilmu di sana. Dua tempat studinya ini yang kemudian melatar-belakangi pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam.

Hikmah di Balik Gagal Kuliah ke Mesir

Ketika Syekh H.M. Thaib jatuh sakit, Mahmud Yunus ditunjuk sebagai penggantinya. Ia pun menghadiri rapat alim ulama’ seluruh Minangkabau tahun 1919, mewakili Syekh H.M. Thaib, yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mendirikan PGAI (Persatuan Guru Agama Islam).

Baca Juga  Haji Fachrodin ke Ponorogo Diancam Bakal Dibunuh

Karena kegiatan-kegiatannya itu, ia termotivasi untuk melanjutkan studinya ke Mesir. Akan tetapi, niatnya harus tertunda karena kegagalannya memperoleh visa dari konsul Inggris. Tak mau berputus-asa, Mahmud Yunus kemudian mengintensifkan dirinya untuk menulis buku-buku di samping mengajar. Ketekunannya membuahkan hasil. Lahirlah karya monumental Mahmud Yunus yang sampai sekarang tetap populer, yakni Tafsir al-Qur’an al-Karim.

Karyanya ini menuai reaksi keras dan aksi protes dari umat Islam secara umum maupun ulama’ terkenal sekalipun. Karena pada saat itu, kegiatan penafsiran dianggap sebagai kegiatan langka yang diharamkan.

Pada tahun 1922, Tafsir al-Qur’an al-Karim berhasil diterbitkan untuk juz pertama, kedua, dan ketiga. Kegiatan penafsiran yang dilakukannya ini sempat terhenti karena kewajibannya menuntut ilmu di al-Azhar, Mesir.

Tapi, satu hal pasti yang ia dapatkan dari studinya di Mesir bahwa kegiatan penafsiran al-Qur’an diperbolehkan. Bahkan bangsa asing yang tidak mengetahui bahasa Arab dapat memahaminya juga. Akhirnya, setelah menyelesaikan studinya di Mesir, ia pun pulang dan melanjutkan penulisan buku Tafsir alQur’an al-Karim.

Mahmud Yunus: Memperbarui Sistem

Kritik Mahmud Yunus terhadap sistem pendidikan lama yang diterapkan pesantren tertuju pada tiga hal, yaitu: pertama, ketiadaan jenjang kelas; kedua, guru hanya menyampaikan materi saja secara monolog; dan ketiga, ketidakfokusan perhatian sistem pembelajaran kepada pemahaman santri.

Pembaharuan Mahmud Yunus fokus pada upaya mengubah sistem pendidikan lama yang biasa disebut halaqah itu. Pembaharuan sistem pendidikan tersebut direalisasikan melalui sekolah yang didirikannya, yakni al-Jami’ah al-Islamiyah dan Normal Islam di Padang, sepulang kuliah dari Mesir tahun 1931.

Realisasi yang dilakukannya berupa penerapan penjenjangan pendidikan berdasarkan usia siswa atau sistem klasikal. Dengan metodenya, metode langsung (al-thariqah al-mubasyarah) yaitu suatu metode pembelajaran secara langsung yang mewajibkan siswa-siswanya bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Dan metode all in one system yang artinya seluruh cabang ilmu bahasa Arab diajarkan secara integral sampai mempraktekkan dalam percakapan harian.

Program pendidikan dilakukan selama 12 tahun dengan jenjang ibtadaiyah, tsanawiyah, dan aliyah yang masing-masing berlangsung selama 4 tahun. Sistem yang ia terapkan ini hampir mirip dengan sistem yang berlaku di tempat ia menempuh jalan ilmu, yaitu: Universitas Al-Azhar dan Dar al-’Ulum. Diskriminasi yang pada masa kolonial Belanda berlakupun dihapusnya. Semua siswa dari kalangan mana saja diperbolehkan sekolah asalkan beragama Islam.

Selain itu, sebagai upayanya dalam menaruh perhatian khusus pada kualitas pemahaman murid, Mahmud Yunus memperhatikan empat aspek yang melekat pada diri murid. Yakni, pertama, aspek psikologis siswa sesuai dengan sistem pertumbuhan dan perkembangan anak serta penanaman moral. Kedua, aspek kognitif yang menekankan pada pendalaman materi sehingga anak menjadi kritis.

Ketiga, aspek psikomotorik yang menekankan pada pengembangan semaksimal mungkin kecakapan murid sehingga ia terampil dalam mempraktekkan ilmunya; dan keempat, aspek afektif dalam kegiatan belajar-mengajar, agar guru mampu menanamkan moralitas praktis pada murid.

Baca Juga  MT Arifin dan Keris: Melihat Muhammadiyah dari Luar

Di dua sekolah ini pula ia memadukan ilmu agama dengan ilmu umum. Lagi-lagi hal ini juga dilator-belakangi oleh pengalaman studinya di Mesir. Pada saat itu Mahmud Yunus merasakan salah satu karakteristik pembaharuan, yaitu bangkitnya kesadaran umat Islam terhadap pentingnya mempelajari pengetahuan umum di samping pengetahuan agama.

Perjuangan Mahmud Yunus yang hampir dilupakan oleh sejarah bangsa Indonesia adalah perjuangannya untuk memasukkan pelajaran agama Islam dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah. Perjuangannya itu dilakukan sejak masa kolonial Belanda. Saat itu ia mewakili Majelis Islam Tinggi (MIT) sebagai penasihat residen (Syu-Cho-Kan) di Padang. Keadaan tersebut ia manfaatkan untuk mewujudkan gagasannya, yang akhirnya diterima dan direstui oleh Jepang. Sejak saat itu pelajaran agama ditambahkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah.

Tak berhenti di situ, perjuangannya juga berlanjut setelah kemerdekaan. Setelah melalui proses panjang, keluarlah peraturan tentang pendidikan agama Islam yang masuk secara resmi ke sekolah-sekolah negeri dan juga berlaku untuk sekolah partikelir.  

KMI (Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah)

Untuk lebih memantapkan gagasan pembaharuan sistem pendidikan pesantren, Mahmud Yunus mengenalkan KMI pada tahun 1931. KMI ini diharapkan menjadi wadah dan media kaderisasi untuk mendidik calon guru yang intelektualitas dan keterampilan mengajarnya senafas dengan pembaharuan sistem pendidikan pesantren yang digaungkannya.

Pelaksanaan pengajaran KMI dilakukan di kelas-kelas dengan jadwal dan kurikulum yang sudah ditetapkan. Jenjang kelas pun diatur, yakni kelas satu sampai kelas enam setingkat dengan SD/ SLTP. Kitab-kitab lama diganti dengan bahan-bahan yang sudah diolah sesuai dengan silabus, di antaranya berupa buku atau diktat yang ditulis oleh Mahmud Yunus sendiri, seperti karya-karyanya yang disebutkan di atas. Pelajaran umum dimasukkan seimbang dengan pelajaran agama. Murid-murid diharuskan berbicara dengan bahasa Arab.

Nama Jalan dan Jalan Abadi Ilmu Pengetahuan

Sebagai bentuk penghargaan atas besarnya kiprah Mahmud Yunus terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, namanya diabadikan sebagai nama jalanan menuju kampus IAIN Lubuk Lintah dan pernah menjadi nama lanoratorium di IAIN Lubuk Lintah. Gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu pendidikan tarbiyah juga ia dapatkan dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagai kalam penutup artikel ini, ijinkan saya menyampaikan perasaan saya tentang betapa inspiring-nya pembaharuan pemikiran Mahmud Yunus tentang sistem pendidikan Pesantren. Saya merasa sebagai santri memiliki tantangan dan tanggung-jawab besar bagaimana turut berjihad dalam jalan abadi ilmu pengetahuan dalam mewujudkan cita-cita pembaharuan pemikiran Mahmud Yunus tersebut. Sebagai bagian dari pesantren, saya ingin belajar meniru semangat belajar Mahmud Yunus, sehingga pesantren dapat terus tetap melahirkan generasi hebat yang siap berkiprah di segala zaman. Wallahu a’lam.

Editor: Yahya FR
Avatar
15 posts

About author
Sekretaris Bidang Pers dan Jurnalistik Badan Eksekutif Siswa Madrasah Aliyah Al-Ishlah (BESMA), 2019/2020; Santri Pondok Pesantren Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan Jawa Timur
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds