Dalam satu percakapan dengan kolega di LIPI, seorang teman memberikan masukan kepada saya. “Mas, aku lihat tulisanmu sudah kuat secara data, tapi sangat lemah untuk persoalan teori dan perspektif”, ujarnya bicara kepada saya pada tahun 2012. Saya tidak bisa membantah pendapat itu, apalagi marah. Saya menerima dengan sangat baik. Setelah omongan itu, saya berusaha keras untuk terus membaca dan membaca hingga saat ini. Karena membaca bukan sesuatu yang mengasyikkan, membaca adalah pangkal kebodohan.
Membaca 200 Halaman Setiap Hari
Saat membaca teks bahasa Inggris jangan dikira saya lancar untuk memahami dan kemudian mengerti isinya, khususnya poin-poin yang diucapkan oleh penulisnya. Sebaliknya, sejak awal, saya benar-benar merasa kesulitan. Ini karena, setiap satu halaman saya selalu membuka kamus. Begitu juga sebaliknya. Akibatnya, satu bagian (chapter) buku bisa saya habiskan dalam satu hari karena fokus untuk tahu artinya. Semakin ke sini, saya bukan paham dan bisa membaca tenang teks-teks berbahasa Inggris dengan baik, tapi masih sama seperti sebelumnya; membuka kamus lagi.
Namun, layaknya orang belajar, membuka kamus tidak lagi pekerjaan sulit tapi menjadi kebiasaan. Kondisi ini dipermudah dengan adanya kamus online, yang bisa saya cek langsung ketika saya memegang telepon genggam. Kebiasaan melihat kamus ini ternyata sangat berguna untuk saya. Setidaknya, saya jadi tahu sejumlah perbendarahaan kata yang digunakan dengan macam variasinya. Tidak berhenti disitu, saya juga jadi mulai mengerti bagaimana menggunakan satu kata dalam kalimat tertentu agar terlihat lebih pas.
Target membaca harian ini pun lalu saya tingkatkan. Sebelumnya, saya menargetkan satu artikel jurnal dan satu book chapter dalam satu hari. Jika sedang membikin paper, saya bisa membaca 50 halaman per hari. Namun, karena ada tiga aktivitas yang berjalan seiring, sejak pekan lalu, saya menaikkan level bacaan. Sebelumnya, saya membaca 50 halaman dalam waktu sehari, lalu saya mengubah targetnya menjadi 200 halaman. Hitungannya sederhana, selain membaca sebagai tuntutan nyantri, mengerjakan sisa paper yang proses revisi, saya memiliki hobi untuk membaca isu-isu lain. Ketiga hal itulah yang memaksa saya harus meningkatkan bacaan ke level lebih tinggi.
Membaca adalah Pangkal Kebodohan!
Dengan meningkatkan durasi waktu membaca yang ditandai dengan halaman bacaan, ada banyak gizi pengetahuan yang dapatkan sekaligus juga perspektif. Meskipun demikian, efeknya, saya jadi MENWA (Mencret Wae) beberapa hari ini, yang saya tidak tahu penyebabnya apa. Karena kondisi itu, durasi dan target halaman membaca pun saya kurangi setengahnya setiap hari menjadi 100 halaman. Target yang saya kira realistis di tengah kegiatan membantu anak-anak belajar dari rumah. Ya, di rumah, saya bukan seorang sarjana, tapi adalah ayah untuk anak-anak dan suami untuk istri. Jadi, kami berdua harus saling bahu-membahu untuk menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan domestik yang seringkali memang tidak mudah.
Meskipun, ya, harus diakui, target 100 halaman yang realistis itu sebenarnya tidak cukup di tengah kemunculan artikel jurnal baru yang memberikan pembaharuan perspektif dan buku baru dengan gagasan yang segar sekaligus juga book chapter baru yang membuat saya merenung. Ya, setiap hari saya mengecek sejumlah artikel jurnal, terbitan buku, sekaligus juga situs-situs yang relevan dengan isu saya di bidang ilmu sosial dan humaniora. Setiap mengetahui itu, hati saya jadi ciut, merasa apa yang saya pikirkan sudah ditulis oleh orang lain. Di tengah itu, hati saya juga tiba-tiba berbunga karena mendapatkan percikan ide untuk menuliskan hal lain yang memiliki irisan dengan tulisan sebelumnya.
Ya, membaca adalah pekerjaan menjemukan dan sangat melelahkan. Semua orang sadar akan hal ini. Saya tidak percaya kalau membaca adalah aktivitas yang sangat mengasyikkan. Namun, ini satu-satunya cara untuk mengucapkan kebodohan diri terus-menerus ketika melihat sebuah tulisan yang sangat bagus, sambil mengutuk dan mempertanyakan diri, “Ya Allah, ini kok orang nulisnya jadi keren gini. Gimana caranya ya kok dia bisa menulis seperti ini? Anjay, yang gue pikirin udah ditulis, Wah enggak kepikiran ada yang menulis seperti ini”. Respon itu juga bagian dari bentuk sadar diri bahwasanya kebodohan diri itu justru tidak kita temukaan saat kita bicara, apalagi menulis, tapi saat kita membaca karya-karya orang lain.
Di sini, saya percaya pernyataan baru bahwasanya membaca tidak membuat seseorang pintar. Sebaliknya membaca adalah bagian dari pangkal kebodohan! Semakin banyak membaca, semakin orang itu akan semakin mengetahui tingkat kebodohannya.
***
Pangkal kebodohan ini juga yang dialami oleh Bill Gates, di mana dalam sebulan ia menyisihkan waktu untuk menyepi di pinggiran danau dengan membaca buku-buku yang relevan untuk dirinya. Ya ini level Bill Gates yang sudah kaya melintir bin tajir, gimana saya yang masih kelas prekariat? Ya, saya kembali membaca lagi saja kalau begitu. Selain saya bukan Bill Gates, saya juga bukan siapa-siapa.
Editor: Nabhan