Falsafah

Menelaah Syatahat Al-Hallaj

3 Mins read

Sumber Pengetahuan Irfani

Epistemologi irfani adalah salah satu model penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam yang dikembangkan dalam masyarakat sufi. Berbeda dengan epistemologi burhani yang dikembangkan oleh para filosof dan epistemologi bayani yang digunakan dalam keilmuan-keilmuan Islam pada umumnya.

Istilah irfân sendiri berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa, semakna dengan makrifat, yang berarti pengetahuan, tetapi berbeda dengan ilmu (`ilm).

Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan (kasyf) lewat olah ruhani (riyâhlah) (Lihat: Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi {Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1993}, hlm. 251.)

Pengetahuan irfan inilah yang disebut sebagai “pengetahuan yang dihadirkan” (ilm hudluri) yang berbeda dengan pengetahuan rasional yang disebut sebagai “pengetahuan yang dicari” (ilm muktasab).

Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas kekuatan rasional seperti burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks atau keruntutan logika. tetapi berdasarkan atas terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan.

Untuk menerimanya, diperlukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seseorang mampu menerima limpahan pengetahuan secara langsung tersebut dengan menempuh perjalanan spiritual lewat tahapan-tahapan tertentu (maqâm) dan mengalami kondisi-kondisi batin tertentu (hâl).

Validitas Pengetahuan Irfani

Validitas pengetahuan biasanya diuji berdasarkan salah satu dari tiga uji kebenaran. Pertama, korespondensi, yaitu suatu bentuk uji kebenaran yang menyatakan bahwa validitas pengetahuan ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas.

Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan fakta atau kesesuaian antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang dilukiskan oleh pertimbangan tersebut.

Kedua, konsistensi atau keherensi, yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa kebenaran adalah jika suatu pernyataan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah diterima kebenarannya.

Baca Juga  Lima Ayat Epistemologi dalam Al-Qur’an

Pernyataan yang benar adalah pernyataan yang menurut logika koheren dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain yang relevan. Bentuk paling sederhana dari teori koherensi memerlukan konsistensi yang dalam dan formal dalam bentuk sistem yang dipelajari tanpa ada hubungannya dengan interpretasi dengan dunia luar.

Ketiga, pragmatik, yaitu sebuah teori verifikasi yang menyatakan bahwa kebenaran sebuah pengetahuan berkaitan dengan kemanfaatan (utility), kemungkinan dikerjakan (workability), atau memberikan akibat yang memuaskan (satisfactory results).

Charles S. Pierce (1839–1914 M) menyatakan bahwa ujian terbaik untuk kebenaran pengetahuan adalah pertanyaan: jika ia benar, apakah akibatnya pada tindakan kita dalam hidup? Bagi kaum pragmatis, suatu ide atau pengetahuan dinilai benar jika ia dapat dilakukan atau mendatangkan kemanfaatan.

Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas objek eksternal atau runtutan logis, tetapi dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut kasyf.

Oleh karena itu, ia tidak dapat diuji berdasarkan validitas korenspodensi maupun koherensi.

Lebih jauh, objeknya tidak lain hanya bersifat imaterial dan esensial, tetapi sekaligus juga bersifat swaobjektif (self-object-knowledge) sehingga apa yang disebut sebagai objektivitas objek tidak lain bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahui itu sendiri.

Syatahat Al-Hallaj dalam Pandangan Irfani

Syatahat yang menjadi pembahasan ini adalah Ana al-Haqq. Dalam Akhbar al-Hallaj, Anjab al-Bagdadī meriwayatkan dari Ahmad bin Fātik berkata: aku mendengar al-Hallaj berkata:

 أَناَ الْحَقُّ

Artinya: Akulah Tuhan” (Lihat: Ali ibn Anjab al-Bagdadī, Akhbar Al-Hallaj, {Dar al-Thali’ah al-Jadidah, Damaskus 1997}, hlm. 93).

Perlu dicatat bahwa ketika al-Hallaj berkata “Ana al-Haqq” ada seseorang yang mendengar; yakni Ahmad bin Fātik. Al-Hallaj tidak peduli bila dia dihukum mati, dia rela karena kematian akan membawa dirinya bertemu al-Haqq.

Baca Juga  Titik Temu Pemikiran Eksistensialisme Soren Kierkegaard dengan Muhammad Iqbal

Oleh karena itu, tidak dimungkiri ia bisa mengeluarkan pernyataan nyeleneh karena kuatnya ekstase. Sehingga pada waktu sebelum dieksekusi, al-Hallaj mengatakan: “mā ra`aitu syaian illa ra`aitullaha fihi” (Aku tidak melihat sesuatu benda kecuali Allah yang aku lihat pada benda itu).

Dan ketika dalam tafakkur-nya ada seseorang bertanya kepadanya tentang apa yang ada di balik jubahnya, pada saat itu juga al-Hallaj tanpa sadar mengeluarkan kata: “mā fi jubbati illallāhu” (Tidak ada sesuatu di dalam jubahku kecuali Allah).

Ketika seseorang telah mencapai tingkatan spiritual tertentu, ia akan mengalami kesadaran diri (kasyf) sedemikian rupa sehingga mampu melihat dan memahami realitas diri dan hakikat yang ada sedemikian jelas dan gamblang.

Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi, maka tidak semua pengalaman dan pengetahuan yang begitu jelas dan gamblang tersebut dapat diungkapkan. Persoalannya, bagaimana pengalaman dan pengetahuan irfan yang bersifat spiritual tersebut dapat diungkapkan?

Syatahat: Pengungkapan Pengetahuan Irfani

Pengetahuan irfan terkadang diungkapkan dengan apa yang disebut dengan syathahât. Secara terminologi syatahat diartikan sebagai sebuah ungkapan aneh yang keluar dari lisan seorang sufi untuk mengungkapkan perasaan wajd (kegembiraan hati) yang meluap-luap dan menggelora di dalam hatinya karena limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan (irfani).

Seperti ungkapan “Ana al-Haqq” (Akulah Tuhan) yang diucapkan Al-Hallaj. Ungkapan seperti itu keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis ataupun epistemologis tertentu.

Maka dari itu, fenomena syatahat ini sering dihujat dan dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang baku. Meskipun begitu, secara umum, syatahat diterima di kalangan sufi, namun ada juga sekelompok sufi yang lebih memilih membatasi diri dan menjauhi ungkapan syatahat.

Jika ada dari kita yang mendengar ucapan-ucapan yang aneh tersebut, sebaiknya kita menanyakan kepada orang yang benar-benar memahami itu dan memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu tersebut (tasawuf/irfani)  (Lihat: Sarraj at-Tusi. 1960. Al-Lumma’ fi al-Tasawwuf. {Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah}, Hal. 377-380.)

Baca Juga  Apa Epistemologi dari Kajian Islam di Kampus?

Sebab, bila ada orang yang sekedar mendengar, kemudian langsung menghujat dan mengkafirkan mereka, maka akan menimbulkan fitnah dan celaka. Karena pengetahuan ini masuk dalam ranah hakikat. Di mana ilmu hakikat ini sulit untuk diungkapkan dan bersifat rahasia.

Editor: Yahya FR

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswi jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds