Tulisan ini tidak hendak membicarakan tentang haram, halal, makruh, sunnah atau bolehnya poligami. Itu sudah banyak. Dan itu hanya akan membuat kita berseteru karena berbeda pendapat tentangnya. Tulisan ini tidak pula berusaha mempertentangkan secara oposisi poligami vs monogamim melainkan hanya mengulas tentang bagaimana pandangan Muhammadiyah tetang poligami dan bagaimana jika dilihat dari tinjauan pemikiran Islam kontemporer.
Poligami Menurut Tarjih Muhammadiyah
Dalam Tuntunan Keluarga Sakinah, Majelis Tarjih memulai dengan penjelasan Islam sebagai agama rahmat. Di sini Majelis Tarjih seakan memberikan fondasi Keluarga Sakinah adalah Keluarga yang didasari rahmat atau belas kasih.
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (2018: 388), bagian ketiga tentang Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-28 membahas khusus tentang “Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah”. Di sana dinyatakan bahwa, setelah menelurusi ayat-ayat al-Quran maupun hadits, pernikahan dalam Islam prinsipnya adalah monogami.
Dalam Putusan Tarjih dijelaskan bila dihadapkan pada permasalahan dan kondisi tertentu dimungkinkan poligami, tentu dengan pertimbangan mampu berlaku adil, mendapat izin dari istri, dan mempertimbangkan pendapat anak-anak. Kemampuan berlaku adil dan hasanah ditetapkan dalam Pengadilan Agama. Namun jika tidak takut tidak berlaku adil, maka lebih maslahat monogami untuk menjaga ketakwaan.
Selanjutnya, menurut Tarjih, dalam hadits-hadits poligami tidak menyebutkan bahwa poligami itu perbuatan sunnah atau dianjurkan. Misalnya Nabi Muhammad Saw malah melarang Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sahabat terdekatnya menunjukkan penegasan prinsip monogami. Nabi meminta Ali memilih poligami atau menceraikan Fatimah (putrinya). Alasan Nabi Saw adalah beliau tidak rela andaikan poligami menyusahkan dan menyakiti putri tercintanya: Fatimah.
Pada kesimpulan paling akhir Muhammadiyah menegaskan prinsip monogami dalam Keluarga Sakinah dengan redaksi sebagai berikut:
“Untuk mewujudkan Keluarga Sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaknya berusaha menjauhkan peluang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya” (HPT, 2018: 239).
Tinjauan Kemaslahatan
Manakah yang lebih maslahat dalam mewujudkan kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan keluarga? Poligami atau monogami? Untuk menjawab ini perlu mempertimbangkan tujuan dari syariah (Maqoshid Syariah) terlebih dahulu.
Jasser Audah Misalnya, dalam bukunya Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law : A Systems Approach (2008) menawarkan pendekatan sistem dalam memahami hukum Islam. Ada enam pendekatan sistem yaitu: (1) melihat persoalan secara utuh (wholeness); (2) selalu terbuka terhadap ilmu lain berbagai kemungkinan perbaikan dan penyempurnaan (Openness); (3) saling keterkaitan antar nilai-nilai (interrelated-hierarchy); (4) melibatkan berbagai dimensi (multi-dimensionality); (5) mengutamakan dan mendahulukan tujuan pokok (purposefulness); (6) ilmu apapun (ilmu agama maupun non-agama) selalu melibatkan kognisi manusia yang bisa saja salah (cognitive).
Bagaimana enam fitur ini bekerja untuk menganalisis poligami? Pertama, openness, kita harus terbuka, bersedia mendengarkan dengan bijak alasan-alasan pentingnya kaitan satu dalil poligami dengan dalil lain. Bersedia membuka pikiran untuk mempertimbangkan antara kemanfaatan dan kemudharatan yang muncul dari praktik poligami.
Kedua, cognitive, al-Qur’an tidak bersuara sendiri, melainkan disuarakan, berarti adanya campur pemahaman seorang mufasir. Artinya maksud sebenarnya dari teks-teks al-Qur’an tidak dapat dijangkau secara pasti dengan satu pemahaman seseorang.
Ketiga, interrelated-hierarchy, tidak berpoligami adalah lebih maslahat untuk istri, anak-anak, maupun untuk institusi keluarga besar. Kemaslahatan itu selalu berhubungan dengan dlaruriat, hajiyyat dan tahsiniyyat. Dimana pun rahan kemaslahatan itu memiliki nilai dan kedudukan yang sama.
Keempat, multidimensionality, tidak hanya melihat dalil kebolehan berpoligami, tetapi bersedia memberikan kesempatan pada mata dan pikiran untuk melihat akibat dari praktik poligami, baik dari segi sosial, ekonomi, psikologis dll.
Kelima, purposefulness, tercapainya kebahagiaan di dalam rumah tangga, terpeliharanya institusi keluarga, kepentingan keluarga pun terlindungi, psikologis keluarga pun tidak terganggu, harkat dan martabat anak-anak dan istru tidak tereksploitasi, sebaliknya kesejahteraan dan keharmonisan keluaga tetap terpeihara dengan baik. Apakah dengan poligami tidak mengganggu kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan keluarga?
Keenam, wholeness, poligami tidak cukup hanya mengutip satu ayat saja, yaitu Surah An-Nisa ayat 4 saja. Tapi harus dikaitkan dan dibandingkan juga dengan ayat–ayat yang lain seperti Surah An-Nisa ayat 129 tentang “ketidak-mungkinan berlaku adil pada istrinya” dan Surah An-Nisa ayat 9 tentang “larangan meninggalkan keturunan yang lemah”. Ini penting untuk menjadi pertimbangan.
Poligami tidak sebatas masalah mampu atau tidak mampu. Bukan masalah berani atau tidak berani. Bukan masalah jumlah perempuan dan laki-laki. Bukan masalah halal atau haram belaka. Bukan masalah urusan kelamin dan seksualitas belaka. Namun hal terpenting adalah mempertimbangkan tujuan syariat yaitu kehidupan yang baik (hayyah thaiyyibah) yaitu: bahagia, sejahtera dan damai.
Apakah dengan poligami keluarga akan lebih baik, lebih harmonis, dan lebih sejahtera dan seterusnya? pendekatan sistem tersebut bisa digunakan suoaya kita berpikir dari berbagai aspek dalam memutuskan poligami atau monogami saja.
Tinjauan Keadilan
Salah satu nilai dasar Islam adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, begitupun dalam hal pernikahan. Sebab keduanya saling membutuhkan dan saling memiliki antara satu dengan lainnya tidak bisa melakukan hak dan kewajibannya, baik kepada Allah maupun kepada masyarakat tanpa adanya kesetaraan di antara keduanya.
Adalah Mahmud Muhammad Thaha dalam bukunya The Second Message of Islam, menawarkan metode nasakh. Teori naskh-nya berbeda dengan yang selama ini dikenal. Selama ini nasakh dipahami sebagai penghapusan atau pembatalan hukum yang sebelumnya. Tetapi Thaha menawarkan konsep baru tentang nasakh sebagai evolusi (tatthawur) syariat dengan melakukan perpindahan dari satu teks (Al-Qur’an) ke teks yang lain, dari satu teks yang pantas untuk mengatur (perilaku umat) abad ke-7 dan telah diterapkan, pada suatu teks yang pada waktu itu terlalu berkemajuan, dan oleh karena itu ditangguhkan.
Dengan teori nasikh, Thaha mengemukakan ketidak-relevannya poligami diterapkan dalam kehidupan modern/kontemporer abad ke-21. Pertama, peralihan dari satu teks ke teks lainnya, tapi masih dalam satu ayat. Kasus ini terdapat dalam ayat yang berbicara mengenai poligami surah An-Nisa ayat 3. Dalam ayat ini pertama-tama diberikan kelonggaran bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan “dua, tiga atau empat perempuan”. Tapi masih dalam ayat yang sama, Allah memberikan syarat, yaitu berlaku adil di antara istri-istrinya. Dari sini dalam ayat ini sudah me-nasakh praktik poligami secara halus, bahwa disarankan satu saja jika takut tidak berbuat adil.
Kedua, peralihan dari satu teks ke teks lain, tidak dalam satu ayat. Kasus ini masih dalam surat yang sama (An-Nisa), Allah telah menyatakan dengan jelas bahwa laki-laki itu sekali-kali tidak akan pernah bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya, sebab hati hanya akan lebih condong kepada salah satu dari istri-istrinya tersebut (Surah An-Nisaa ayat 129). Karena adil tidak mungkin dilakukan, sedangkan syarat poligami adalah berlaku adil, maka praktik poligami tidak mungkin dilakukan.
Maka, jika kembali pada ayat yang sama (Surah An-Nisa ayat 3), Allah berkata dengan tegas “dan jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu orang saja”. Ini jangan diabaikan. Watak keadilan dalam konteks ini dibatasi, sebagaimana kebebasan juga dibatasi. Sebab keadilan merupakan hak, dan hak harus diimbangi dengan kewajiban.
Logika Pembatasan
Konteksnya, wanita pada saat itu sangat banyak, dan tidak berada dalam tataran yang sejajar dengan laki-laki derajat (kehormatannya). Banyak faktor yang menjadikan wanita ditempatkan rendah seperti itu. Munculnya pembatasan bagi wanita (yang boleh dinikahi) merupakan keadilan yang memihak pada kaum wanita pada waktu itu.
Jadi logikanya bukan menikah satu lalu disuruh (dianjurkan) menambah dua, tiga atau menjadi empat. Tetapi logikanya adalah dulu awalnya menikah itu tanpa batas, tapi kemudian Islam membatasi menjadi maksimal empat. Poligami sebagai pembatasan jumlah istri dapat dianggap sebagai peraturan era transisi menuju Islam yang ideal (sejati), yaitu kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan.
Pada saatnya nanti jika zaman sudah berkemajuan, keadilan bagi perempuan dan kesetaraan dengan laki-laki akan tercapai, bahwa keluarga yang ideal adalah monogami, bukan poligami. Jadi poligami itu dulu dilakukan dalam kondisi tidak ideal. Keluarga ideal atau idaman itu monogami. Siapa sekarang yang mau punya Keluarga tidak ideal?
Maka yang poligami hari ini jangan merasa paling bisa mempraktikkan syariat Islam. Justru itu keluarga yang tidak ideal. Jadi poligami itu sifatnya darurat, karena darurat jangan sampai dijadikan impian ideal.
Barangkali itu mengapa di Muhammadiyah jarang atau sulit ditemukan, bahkan nyaris tidak ada praktik poligami. Selain alasan pemahaman itu, munkin juga ada sebab antropologis karena laki-laki dan perempuan sudah relatif setara, sama-sama sibuk, sama-sama bekerja, sama-sama berperan di ruang publik.