Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read

Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak memujinya. Kalaupun mengkritik, saya menggunakan medium opini dan artikel jurnal untuk mengkritiknya. Bagi saya, sejelek dan seburuk apapun sebuah tulisan, ada rangkaian proses panjang hingga kemudian diterbitkan. Proses panjang ini yang seringkali diabaikan begitu saja. 

Jikalaupun harus mengkritik, saya biasanya akan cerita kepada kolega, terkait dengan tulisan Si A dan B yang terbit di jurnal ini dan tulisan C yang terbit di jurnal itu secara oral. Dengan begitu, saya bisa menceritakan kelemahan dari tulisan seseorang. Itu dilakukan bukan mencari celah kejelekan, melainkan medium belajar untuk saya pribadi. Bagi saya, dunia akademik merupakan jalan panjang dan terjal sekaligus sangat sulit untuk digapai. Kalaupun sudah digapai, apreasinya sangat buruk sekali di Indonesia.

Saya sebut sulit karena saya mengalami hal tersebut. Berkali-kali paper saya ditolak oleh sebuah jurnal setelah penantian yang sangat panjang. Kondisi kesulitan ini membuat saya sadar bahwasanya saya bukan apa-apa. Ada banyak persiapan sekaligus kuda-kuda yang saya siapkan agar bisa tembus untuk jurnal internasional. Proses ini membenturkan ego saya untuk lebih belajar rendah hati dalam proses belajar di dunia akademik.

Jikalaupun ada yang bermain curang sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Profesor di kampus Jakarta, bagi saya itu karena memang cerminan dari pemegang kebijakan sekaligus elit politik kita yang percaya jurus sim salabim dalam membangun kualitas dunia akademik kita. Sementara itu, elit politik kita juga ngaco soal integratis etik. Di sisi lain, masyarakat kita memilih jalan instans untuk pelbagai hal. Jadinya, ketika ada kengacoan ya terima saja. Itu bagian dari real politik yang harus kita hadapi.

Baca Juga  Baju Dosen, Tuneeca, dan Nilai Sosial-Emosional

Di sisi lain, saya sebut buruk secara apresiasi, bagi saya, menerbitkan karya akademik itu hanya persyarat utama saja agar tunjangan kinerja tidak dipotong dan tidak ada reward apa pun yang didapatkan. Sementara, untuk terbit sendiri kadang membutuhkan dana yang tidak sedikit; riset sendiri, proses proofread sendiri, dan kemudian menerbitkan sendiri. Selain itu, bagi masyarakat umum, menerbitkan jurnal juga enggak penting-penting amat. Apalagi bagi elit politik. 

Bagi saya menerbitkan karya akademik itu, apapun bentuknya, merupakan laku ibadah saja dengan niat mencari ilmu. Karena diniatkan semacam itu, ketika ada yang salah dengan tulisan yang terbit itu jadi medium belajar. Jika ada kelebihan itu semata-mata ya memang diniatkan untuk jihad dalam mencari ilmu saja. Rasanya terlalu berlebihan kalau karya akademik yang terbit untuk konteks Indonesia untuk peradaban dan eufisme bahasa lainnya. Saya enggak percaya bahasa halus apreasisi yang tong kosong semacam itu.

Lah kok jadi pesimis semacam ini dan diselesaikan lebih personal? Iya, saya dan teman-teman juga pernah melawan; minta audiensi dengan pemegang kebijakan, melakukan demonstrasi, protes ke DPR, dan bahkan langsung protes dengan bikin tulisan di media sosial kemudian viral? Hasilnya, ya enggak ada. Banyak dari elit kekuasaan emang enggak merasa penting kok dunia akademik. Kalaupun penting, itu dilakukan untuk kelihatan cakep aja dengan gelar honoris dan lain-lain di tengah struktur feodal masyarakat yang masih ada.

Lalu gimana yang dahulu seringkali protes di media sosial dan saat ini menjabat kekuasaan? Hadeh, enggak usah ditanya kalau ini mah. Banyak cerita enggak enak dibaliknya. Jadi sekali lagi, saya dan mungkin teman-teman kalau mau saya ajak, niatkan saja menulis untuk mencari ilmu dan keridhoan Allah semata saja. Hal ini karena, menjadi seorang sarjana fatalis itu jauh lebih penting di tengah banalitas akademik yang semua orang masing-masing menyelamatkan dirinya.

Baca Juga  Daeng Munawar Khalil, Kader Cerdas, Tekun, dan Santun itu Telah Berpulang

Menjadi seorang fatalis akademik, bagi saya, ya menulis untuk menulis saja. Jikalaupun terbit ya ucapkan puji syukur. Jikalaupun tidak terbit, terus berusaha untuk terbit sambil memegang prinsip bahwasanya kerja-kerja akademik merupakan cara kita beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Jikalaupun itu terasa sulit, jadikan itu sebagai pegangan untuk anak-anak kita bahwasanya sebuah karya akademik yang terbit itu bisa tetap membuat mereka menjadi biasa-biasa saja, yang tidak kekurangan apapun saat sejumlah tagihan datang menghampiri.

Jikalaupun tagihan itu membuat hidup kita tidak cukup, setidaknya kita sudah belajar menjadi manusia yang berkarya dengan apreasiasi yang seburuk-buruk dan sehina-hinanya. Sebab di mata manusia, karya kita bisa hina dengan minim apresiasi, tapi di mata Tuhan, kita sedang berjuang di jalan Tuhan untuk menghidupi diri dan keluarga agar dimampukan untuk hidup layak saja tinggal di negara yang bernama Indonesia. Tidak lebih.

Editor: Soleh

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds